Teladan Istri Kasman Singodimedjo

DI BALIK kepahlawanan Kasman Singodimedjo (1904-1982) ada sosok wanita tegar yang perlu diungkap yaitu istri tercintanya: Soepinah Isti Kasiyati. Beliau adalah perempuan yang setia dan membersamai suami dalam suka maupun duka. Dalam kehidupan sosial beliau dikenal berpembawaan tenang, aktif kegiatan sosial, mengobati orang sakit dan mendidik keluarga yang sudah berumah tangga.

Sekelumit kisah istri tercintanya bisa dibaca dalam buku “Hidup itu Berjuang Kasman Singodimedjo 75 Tahun” (1982: 15-20).

Awal pertemuan Bu Soepinah dengan Pak Kasman adalah dalam permainan sulap. Waktu itu Pak Kasman diajak main sulap oleh temannya yang bernama Soeparno, yang di kemudian hari menjadi seorang dokter. Itulah pertama kali Soepinah melihat Kasman saat diajak temannya melihat permainannya.

Saat itu ia adalah gadis muda yang masih sekolah di HIS Kutoarjo. Saat melihat sulap, ia belum tahu mana yang bernama Kasman Singodimedjo. Hanya saja, saat pulang, karena tidak ada teman, maka Kasmanlah yang mengantarnya pulang. Sejak saat itu, perkenalan dengan Kasman semakin intensif hingga nantinya mengarah ke jenjang yang lebih serius.

Saat pindah ke Jakarta untuk melanjutkan ke sekolah MULO pun, Kasman muda rajin menemui Soepinah. Lama ke lamaan keduanya semakin ada kecocokan. Sehingga Kasman pada suatu ketika Soepinah sekolah di Frobel Kweetschool (FKS) Bandung.

Ia diminta Kasman –melalui telegram– untuk pergi ke Jakarta. Waktu itu, andai ia tahu kalau ke Jakarta diajak nikah, pasti akan menolak karena peraturan di sekolahnya melarang siswa-siswi menikah.

Pucuk dicinta ulam pun tiba. Kasman berhasil meyakinkan Soepinah. Ia mantap untuk menikahi gadis kesayangannya karena banyaknya godaan wanita yang saat itu menjadi murid pengajiannya. Kasman tidak mau hal itu mengganggu dirinya seperti yang terjadi pada temannya, sehingga dia lebih memilih jalur halal.

Kasman berjanji pernikahan itu dirahasiakan supaya sang istri bisa tetap sekolah. Akhirnya keduanya pun menikah di Kantor Penghulu Gang Sentiong pada tanggal 17 September 1928.

Bu Soepinah ini, sejak muda terkenal sebagai figur organisatoris. Beliau aktif di berbagai organisasi seperti di JIBDA, organisasi pemuda Islam JIB bagian putri. Sedangkan pada waktu Masyumi, aktif dalam Muslimatnya. Selain aktif dalam kegiatan organisasi, mengurus rumah tangga, beliau juga mempunyai aktifitas sebagai pengajar.

Mengenai kehidupan rumah tangganya dengan Kasman, Soepinah bercerita, “Dalam rumah tangga kami suasananya selalu damai dan biasa saja. Sewaktu Pak Kasman aktif di JIB, dia sering pergi ke luar kota sampai beberapa hari, bahkan kadang-kadang sampai beberapa minggu melaksanakan tugas perjuangannya.”

Jika Soepinah tidak memiliki ketegaran jiwa, kebesaran hati untuk mendukung perjuangan suaminya, maka mana mungkin mampu diam dan tabah saat sering di tinggal pergi oleh suaminya. Ini adalah salah satu nilai plus dari Soepinah. Dengan sikap istri seperti ini, Pak Kasman semakin tenang dan semangat dalam menjalani perjuangannya.

Hidup dengan Pak Kasman tak selamanya aman dari ujian dan cobaan. Pada tahun 1940, sang suami pernah dipenjara oleh Pemerintah Kolonial Belanda lantaran berpidato dalam konferensi Muhammadiyah se Jawa Barat di Bogor. Yang menarik, Bu Kasman menghadapinya dengan tenang.

Kata Bu Kasman, “Saya tidak merasa resah, sedih dan lain-lainnya. Saya tetap melaksanakan tugas seperti biasanya.” Sampai-sampai suatu ketika Pak Kadar, mertua Anwar Tjokroaminoto, mempertanyakan sikapnya yang biasa-biasa saja saat suami dipenjara.

“Memang saya tahu,” ujarnya, “ bahwa suami saya ditahan, tapi apalah daya saya sebagai seorang perempuan. Kalau saya pergi pula ke Bogor, kan anak-anak saya bisa tidak makan. Toh Allah akan memeliharanya, karena dia berjuang di jalan kebenaran, dan ummat tentu tidak akan membiarkannya!”

Perhatikan jawaban beliau yang menggambarkan ketegara, kesabaran, dan keyakinannya yang kuat kepada Allah bahwa suaminya sedang berjuang dan orang yang berjuang pasti akan ditolong Allah. Adapun kebanyakan wanita ketika suaminya ditahan, pasti akan kebingungan dan resah dalam menghadapinya.

Pada zaman Nasakom, tepatnya 1963, Kasman juga pernah dipenjara. Dalam tahanan itu beliau sempat menulis buku yang berjudul “Renungan dari Tahanan” yang pertama kali terbit tahun 1967. Dalam catatan pendahuluan Kasman menulis dalam saat awal mula menulis renungannya dengan perasaan haru karena meninggalkan istri sebelum pamit dan belum sempat memberi nafkah. Banyangkan betapa susahnya kondisi Bu Soepinah pada waktu itu. Namun semua bisa dijalani dengan tegar.

Tak heran jika Kasman begitu menyayangi dan mencintai istrinya. Saat beliau sudah menjadi Jaksa Agung, Kepala Pengadilan Militer dan menteri Kehakiman, hampir kemana pun pergi, istrinya selalu diajak bahkan sampai ibadah haji sekalipun.

Dari sang istri, Kasman Singodimedjo dikaruniai lima anak. Pada tahun 1980 Soepinah sang istri tercinta akhirnya wafat terlebih dahulu setelah bersama mengalami suka duka dengan tokoh yang dikenal sebagai “Singa Podium” itu.

Kata yang dikenal oleh kebanyakan orang dari Kasman “Leiden is lijden!” (memimpin adalah menderita) benar-benar dirasakan oleh Soepinah. Karena dalam perjuangan mendampingi sang suami, segala penderitaan yang dialami suami sebagai pemimpin juga dirasakannya. Namun, ia tidak pernah menyerah dengan keadaan. Dia tetap berjalan, berjuang melakukan tugasnya sebagai seorang ibu, pendidik dan istri. Tanpa dramatisasi, tapi tetap teguh, tegar dan setia menemani suaminya hingga ia dipanggil Allah Ta’ala. Tidak berlebihan jika ada ungkapan di balik laki-laki besar, ada wanita besar di baliknya. Rahimahumallah rahmatan wasi’ah.*/Mahmud Budi Setiawan

Rep: Admin Hidcom
Editor: -

No comments: