Kisah KH Hasyim Asy'ari dan KH Ahmad Dahlan, Dua Tokoh Satu Guru

Kisah KH Hasyim Asyari dan KH Ahmad Dahlan, Dua Tokoh Satu Guru
Kisah dua tokoh ulama KH Hasyim Asyari dan KH Ahmad Dahlan perlu diketahui umat muslim di Indonesia. Foto/Ist
Kisah KH Hasyim Asy'ari dan KH Ahmad Dahlan layak untuk diketahui umat muslim di Tanah Air. Kisah dua tokoh ulama ini sangat menginspirasi dan patut diambil iktibar (pelajaran).

Meski tidak sama dalam strategi dakwah, kedua tokoh ini tetap akur dan saling mendukung demi kemajuan umat Islam. Keduanya lahir dari orang-orang besar dan juga berguru pada guru yang sama.

Santri Ponpes Mihajul Muslim Yogyakarta, Najmuddin, dalam catatannya di portal NU Online menceritakan kisah peran kedua tokoh itu di masa penjajahan Belanda. Penyerangan tentara kolonial di awal abad ke-20 kian bergejolak. Indonesia mulai muak dengan tipu daya Belanda selama ratusan tahun.

Perlawanan terhadap penjajah tidak hanya dilakukan oleh tentara dan rakyat biasa, tetapi juga datang dari kalangan kaum santri dan para kiyai. Di antaranya sosok ulama KH Ahmad Dahlan dan KH Hasyim Asy'ari. Lahirnya sosok baru (para Kiyai) dalam upaya merebut kemerdekaan menjadi sorotan para penjajah dalam meningkatkan penyerangan.

Pemerintah Hindia-Belanda sempat menaruh kecurigaan terhadap para haji, mereka diangap sebagai biang keladi terjadinya pemberontakan-pemberontakan sebelumnya. Sehingga, pada akhirnya kebijakan inilah yang membatasi pergerakan Islam kala itu.

KH Ahmad Dahlan, tokoh legendaris yang kita kenal sebagai founding father organisasi Muhammadiyah ini merupakan tokoh yang sangat berjasa dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Lahir pada tahun 1868 M dengan nama Muhammad Darwis, putra dari seorang Khatib Keraton Yogyakarta.

Darwis lahir dari kalangan orang alim, bahkan beberapa sumber menyebutkan bahwa ia merupakan keturunan dari Ki Ageng Gribig (salah satu ulama di zaman Mataram) dan Maulana Ibrahim (Sunan Gresik) di sebuah kampung yang bernama Kauman, dengan lingkungan yang tentram di bawah naungan Sri Sultan Hamengku Buwono VII kala itu. Kauman sendiri saat ini popular sebagai perkampungan yang berdekatan dengan pusat keagamaan di sebuah perkotaan.

Hidup di antara rakyat yang taat pada rajanya, atmosfer keagamaan yang kuat memberikan pengaruh yang luar biasa pada diri KH Ahmad Dahlan. Hingga pada suatu ketika, dimana Sri Sultan Hamengku Buwono VII mengutus Raden Ngabei Ngabdul Darwis yang merupakan panggilan keraton terhadap KH Ahmad Dahlan untuk menuntut ilmu di Arab Saudi.

Kedatangannya ke Arab Saudi inilah yang mempertemukannya dengan sahabat remajanya saat belajar di Madura dan Semarang; KH Hasyim Asy'ari, tokoh besar pembaharu Islam dari kalangan pesantren.
KH Hasyim Asy'ari lahir di Jombang pada tahun 1871 M. Sama halnya dengan KH Ahmad Dahlan, Kiyai Hasyim juga dibesarkan di lingkungan agama. Ayah KH Asy'ari memiliki pondok pesantren di Jombang. Sejak usia 13 tahun, ia dipercaya ayahnya untuk menggantikan jadwal mengajar sang ayah, karena sudah menguasai kitab-kitab islam klasik (kitab kuning).

Awal Mula Kiyai Asy'ari Bertemu Kiyai Dahlan
Di usianya yang ke-15 tahun, ia mulai mengembara ke berbagai pesantren di Jawa untuk memperdalam ilmu agama seperti di Pesantren Wonocolo Jombang, Probolinggo, Pondok Langitan, Trenggilis, dan di Pesantren Kiyai Kholil Bangkalan, Madura. Di sinilah ia awal mula bertemu dengan KH Ahmad Dahlan, keduanya belajar bersama di bawah asuhan Kiyai Kholil Bangkalan.

Sampai pada akhirnya, empat dari murid Kiyai Kholil tamat dari pendidikan keagamaan di Bangkalan, mereka diperintahkan untuk berguru ke Jombang dan Semarang.KH Ahmad Dahlan dan KH Hasyim Asy'ari mendapat perintah untuk berguru kepada Kiyai Sholeh Darat di Semarang. Kiyai Sholeh Darat merupakan ulama tersohor di pesisir utara Jawa kala itu. Bahkan keluarga RA Kartini juga belajar agama kepada Kiyai Sholeh Darat.

Kedua remaja itu sangat menikmati nuansa pendidikan dari Kiyai Sholeh. Adi Hasyim, begitulah panggilan akrab KH Ahmad Dahlan untuk Kiyai Hasyim. Sebaliknya Kiai Hasyim juga memanggil KH Ahmad Dahlan dengan panggilan akrab Mas Darwis. Konon, keduanya juga tinggal sekamar.

Selama kurang lebih dua tahun kedua santri ini mengabdi dan belajar agama pada Kiyai Sholeh Darat dan Darwis mendapat nama yang sampai sekarang dikenal semua orang yaitu Ahmad Dahlan. KH Ahmad Dahlan lebih dahulu meninggalkan pesantren di Semarang dan kembali ke Yogyakarta, sebelum pada akhirnya mereka berdua juga bertemu pada guru yang sama saat menimba ilmu di Arab Saudi.

Setibanya di Makkah inilah yang membuat keduanya mempunyai kecenderungan yang berbeda. Kiyai Hasyim Asy'ari sangat menyukai ilmu hadis dan KH Ahmad Dahlan lebih tertarik pada pemikiran dan gerakan Islam.
Karena keahliannya dalam hadist membuat gurunya Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi memberikan gelar Hadratussyekh kepada Kiyai Hasyim. Sampai pada akhirnya keduanya sama-sama boyong (istilah pulang/tamat dari pondok) dan kembali ke asal masing-masing untuk mengabdi pada tanah air.

Dua orang besar inilah yang memberi ornamen baru untuk kemajuan Islam di Indonesia. Dengan semangat pergerakan islamnya KH Ahmad Dahlan, giat mendirikan lembaga pendidikan Islam yang formal dengan mengadaptasi pada sistem sekolah kolonial. Anak-anak muda Indonesia tidak hanya belajar agama saja, tetapi juga mampu memahami ilmu alam.

Tidak mengherankan jika saat ini kita banyak menemukan sekolah-sekolah, perguruan tinggi dan rumah sakit yang maju milik Muhammadiyah, buah kegigihan dalam berideologi sang pendirinya. Sosok Kiyai Dahlan memang terkenal sedikit bicara, banyak bekerja. Dalam upaya menjawab persoalan ummat, ia bersama dengan orang-orang disekitarnya mendirikan sebuah organisasi yang diberi nama Muhammadiyah yang kemudian hari ini menjadi salah satu ormas besar di Indonesia.

Sedangkan Hadratus Syekh KH Hasyim Asy'ari memang ditugaskan untuk mendirikan Pesantren di Tebuireng, Jombang dan memilih untuk fokus pada kajian salafiyah, kitab-kitab kuning. Santri-santrinya banyak yang berdatangan untuk menimba ilmu. Cita-cita mendirikan jamiyah ulama sangat direspons baik oleh KH Wahab Hasbullah untuk membuat wadah atau organisasi Islam yang moderat dan berasas pada Ahlussunnah wal Jamaah.

Kemudian dibentuklah organisasi Nahdlatul Ulama (NU) sebagai bentuk asosiasi ulama-ulama salafi. Perjalanan keduanya memang sedikit berbeda. KH Ahmad Dahlan cenderung memilih jalur politik dalam mengembangkan gerakan Islamiyah di Yogyakarta. Sedangkan Kiyai Hasyim lebih memilih membesarkan pondok pesantrennya dengan kajian klasik.
Sampai pada suatu saat sang Hadratussyekh menerima sebuah kabar dari santrinya: "Kiyai, ada gerakan yang ingin memurnikan agama, dan membuat badan amal perserikatan di Yogyakarta."

Jawaban Hadratusyekh sangat singkat dan santai. "Oh, itu Mas Darwis. Ayo kita dukung." NU dan Muhammadiyah adalah bentuk modernisasi Islam Nusantara.

Asas kedua organisasi besar inilah yang kemudian menumbuhkan agama Islam di Indonesia sebagai agama yang moderat, toleran, dan progresif. Keduanya memiliki ideologi dan cara pandang Islam berbeda, tetapi pada hakikatnya keduanya sama-sama ingin mencapai tujuan yang satu, yaitu ridha Allah, dan Islam yang Islam yang rahmatan lil 'alamiin.

(rhs) 
Rusman H Siregar

No comments: