Fiksi dan Fakta Asal Nama Sumatra
HAMPIR semua sumber yang bisa kita rujuk termasuk wikipedia.org, menyatakan bahwa nama Sumatra berasal dari kata Samudra. Nama Sumatra seperti yang terdapat dalam hikayat Aceh, dikenal dengan nama Samudra. Profesor al Attas dalam buku beliau “Historical fact and fiction” menantang argumen ini dengan bukti otoritas tulisan-tulisan para sarjana Arab di masa lalu abad kesembilan dan sepuluh dan laporan-laporan China.
Dalam sumber-sumber Arab termasuk laporan Ibnu Batutah, dalam menyebut nama Sumatra, sangat jelas tidak pernah mengejanya dengan ‘dal’. Mereka selalu mengejanya dengan ‘tha’, Sumatra tidak pernah disebut dengan ‘dal’.
Jadi karena bukti teks awal mencerminkan ejaan asli, tidak mungkin tulisan yang ditulis pada abad ke-13 akan berubah dengan sendirinya. Terutama jika orang orientalis, sebagai penyebut utama istilah Samudra, tidak dapat menjelaskan alasan perubahan tersebut. Kecuali jika ada yang mencoba untuk menyisipkan di dalam teks sesuatu yang baru yang tidak ditemukan di awal penulisan. Dalam hal ini istilah Sumatra bukan berasal dari bahasa sansakrit.
Samudra berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti lautan, sehingga banyak digunakan sebagi acuan nama Sumatra. Tetapi Profesor Tatiana Dennisova memiliki bantahan terhadap argumen ini.
Menurutnya, bagi orang-orang yang tinggal di sebuah pulau, bagaimana mereka menganggap lautan adalah asal usulnya sedangkan tanah atau pulau adalah tempat kehidupan manusia dilestarikan? Sebaliknya di masa itu ancaman dan kekacauan dikaitkan dengan lautan. Misalnya, spesies fauna alam Selandia Baru tidak memiliki predator. Tidak ada singa tidak ada harimau tetapi dalam mitologi di sana, mereka mengenal ular besar yang berasal dari laut. Jadi mereka tidak akan pernah menganggap rumah mereka lautan. Jadi karena itu warga kepulauan tidak akan menyebut rumah mereka berasal dari lautan.
Selanjutnya dalam hikayat raja pasai, ketika Malikusaleh hendak mendirikan singgasananya atau memutuskan untuk mendirikan apa yang akan menjadi penerusnya, ia mengatakan bahwa ia memilih tempat itu sebagai ibu kotanya karena ia menemukan seekor semut yang besar. Semut yang ditemukannya seukuran kucing, dan ukuran semut menjelaskan asal usul atau etimologi tempat ini karena digabung dua kata Semut dan Raya dan akan didapati kata Sumatra.
Orientalis Eropa memahami ini sebagai fiksi. Beberapa Orientalis, menurut Syed Muhyuddin al Attas, ketika mereka gagal menemukan asal-usul sejarah sesuatu seperti yang biasa mereka lakukan, mereka akan memasukkan dan menempatkan cerita mitologis sehingga seolah – olah mereka dapat menjelaskannya melalui cerita rakyat. Tapi bagaimana ini lebih merupakan fiksi daripada kisah Samudra? Bukankah cerita orientalis tentang samudra juga lebih banyak memuat fiksinya?
Bukti lainnya ada dalam Kitab Ajaib al-Hind karya Buzurg Ibn Shahriyār menceritakan tentang salah satu Khalifah Abbasiyah antara Khalifah al-Mu’tasim atau mungkin itu Khalifah lain. Mereka suka mengoleksi hewan-hewan eksotis dan inilah ciri-ciri Sang Raja.
Bahkan di zaman modern ini, mereka yang sebenarnya bukan raja, seperti Escobar yang merupakan bandar narkoba, juga gemar membawa beberapa hewan eksotis.
Dalam kisah Buzurg Ibn Shahriyār, dikatakan bahwa mereka para utusan Khalifah Abbasiah menangkap dan mengurung ukuran seekor semut berukuran sebesar kucing yang sangat besar dan hendak membawanya kembali ke Khalifah. Tetapi pada saat mereka mencapai pelabuhan, semut itu mati.
Selanjutnya yang mereka lakukan adalah menggunakan bahan pengawet terbaik di waktu itu, mungkin minyak zaitun atau sesuatu yang biasa digunakan untuk mengawetkan, kemudian mereka menyimpannya sekiranya cukup diberikan untuk Khalifah guna menegaskan bahwa nama Sumatra berasal dari Semut Raya (Besar), sehingga penamaan itu adalah fakta dan bukan fiksi.
Begitu banyaknya artikel sejarah yang masih menyebut nama Sumatra berasal dari Samudra, menandakan bahwa penulisan sejarah kita masih banyak dibayangi oleh sumber – sumber orientalis yang terbukti memuat bebrapa kesalahan dan fiksi.*
Penulis minat pada sejarah Melayu Islam
No comments:
Post a Comment