Abu Sufyan bin Harits (2-Habis): Akhir Sepupu Nabi SAW, Setelah 20 Tahun Memerangi Islam
SELAMA 20 tahun Abu Sufyan bin Harits --bukan Abu Sufyan bin Harb ayah Mu'awiyah-- memerangi Islam dan umat Islam. Sepupu Nabi Muhammad SAW ini sebetulnya hampir saja masuk Islam ketika melihat sesuatu yang mengherankan hatinya ketika perang Badar , yakni sewaktu ia berperang di pihak Quraisy.
Dalam peperangan itu, Abu Lahab tidak ikut serta, dan mengirimkan 'Ash bin Hisyam sebagai gantinya. Dengan hati yang harap-harap cemas, ia menunggu-nunggu berita pertempuran, yang mulai berdatangan menyampaikan kekalahan pahit bagi pihak Quraisy.
Pada suatu hari, ketika Abu Lahab sedang duduk dekat sumur Zamzam bersama beberapa orang Ouraisy, tiba-tiba kelihatan oleh mereka seorang berkuda datang menghampiri. Setelah dekat, ternyata bahwa ia adalah Abu Sufyan bin Harits.
Tanpa bertangguh Abu Lahab memanggilnya. "Mari ke sini hai keponakanku! Pasti kamu membawa berita! Nah, ceritakanlah kepada kami bagaimana kabar di sana," ucap Abu Lahab.
Abu Sufyan bin Harits menjawab, "Demi Allah! Tiada berita, kecuali bahwa kami menemui suatu kaum yang kepada mereka kami serahkan leher-leher kami, hingga mereka sembelih sesuka hati mereka dan mereka tawan kami semau mereka.
Dan Demi Allah! Aku tak dapat menyalahkan orang-orang Quraisy. Kami berhadapan dengan orang-orang serba putih mengendarai kuda hitam belang putih, menyerbu dari antara langit dan bumi, tidak serupa dengan suatu pun dan tidak terhalang oleh suatu pun!"
Yang dimaksud Abu Sufyan dengan mereka ini ialah para malaikat yang ikut bertempur di samping Kaum Muslimin dalam perang Badar.
Baca juga: Dia Muslim Tapi Dalam Perang Badar Jadi Prajurit Kafir Quraisy
Menjadi suatu pertanyaan bagi kita, kenapa ia tidak beriman ketika itu, padahal ia telah menyaksikan apa yang telah disaksikannya?
Miftah H. Yusufpati
.
Jawabannya ialah bahwa keraguan itu merupakan jalan kepada keyakinan. Dan betapa kuatnya keraguan Abu Sufyan bin Harits, demikianlah pula keyakinannya sedemikian kukuh dan kuat jika suatu ketika ia datang nanti. Nah, saat petunjuk dan keyakinan itu telah tiba, dan sebagai kita lihat, ia Islam, menyerahkan dirinya kepada Tuhan Robbul'alamin.
Mulai dari detik-detik keislamannya, Abu Sufyan mengejar dan menghabiskan waktunya dalam beribadat dan berjihad, untuk menghapus bekas-bekas masa lalu dan mengejar ketinggalannya selama ini.
Dalam peperangan-peperangan yang terjadi setelah pempembebasan Mekkah ia selalu ikut bersama Rasulullah SAW. Dan di waktu perang Hunain orang-orang musyrik memasang perangkapnya dan menyiapkan satu pasukan tersembunyi, dan dengan tidak diduga-duga menyerbu Kaum Muslimin hingga barisan mereka porak poranda.
Sebagian besar tentara Islam cerai berai melarikan diri, tetapi Rasulullah tiada beranjak dari kedudukannya, hanya berseru: "Hai manusia ... ! Saya ini Nabi dan tidak dusta. Saya adalah putra Abdul Mutthalib!"
Maka pada saat-saat yang maha genting itu, masih ada beberapa gelintir sahabat yang tidak kehilangan akal disebabkan serangan yang tiba-tiba itu. Dan di antara mereka terdapat Abu Sufyan bin Harits dan putranya Ja'far.
Waktu itu Abu Sufyan sedang memegang kekang kuda Rasulullah. Dan ketika dilihatnya apa yang terjadi, yakinlah ia bahwa kesempatan yang dinanti-nantinya selama ini, yaitu berjuang fi sabilillah sampai menemui syahid dan di hadapan Rasulullah SAW, telah terbuka. Maka sambil tak lepas memegang tali kekang dengan tangan kirinya, ia menebas batang leher musuh dengan tangan kanannya.
Dalam pada itu Kaum Muslimin telah kembali ke medan pertempuran sekeliling Nabi mereka, dan akhirnya Allah memberi mereka kemenangan mutlak.
Tatkala suasana sudah mulai tenang, Rasulullah melihat berkeliling. Kiranya didapatinya seorang mukmin sedang memegang erat-erat tali kekangnya. Sungguh rupanya semenjak berkecamuknya peperangan sampai selesai, orang itu tetap berada di tempat itu dan tak pernah meninggalkannya.
Rasulullah menatapnya lama-lama, lalu tanyanya: "Siapa ini? Oh, saudaraku, Abu Sufyan bin Harits!"
Dan demi didengarnya Rasulullah mengatakan "saudaraku", hatinya bagaikan terbang karena bahagia dan gembira. Maka diratapinya kedua kaki Rasulullah SAW, diciuminya dan dicucinya dengan air matanya.
Ketika itu bangkitlah jiwa penyairnya, maka digubahnya pantun menyatakan kegembiraan atas keberanian dan taufik yang telah dikaruniakan Allah kepadanya:
"Warga Ka'ab dan Amir sama mengetahui
Di pagi hari Hunain ketika barisan telah cerai berai
Bahwa aku adalah seorang ksatria berani mati
Menerjuni api peperangan tak pernah nyali
Semata mengharapkan keridlain Ilahi
Yang Maha Asih dan kepada-Nya sekalian urusan akan kembali".
Abu Sufyan menghadapkan dirinya sepenuhnya kepada ibadat. Dan sepeninggal Rasulullah SAW ruhnya mendambakan kematian agar dapat menemui Rasulullah di kampung akhirat.
Demikianlah walaupun nafasnya masih turun naik, tetapi kematian tetap menjadi tumpuan hidupnya.
Pada suatu hari, orang melihatnya berada di Baqi' sedang menggali lahad, menyiapkan dan mendatarkannya. Tatkala orang-orang menunjukkan keheranan mereka, maka katanya, "Aku sedang menyiapkan kuburku ....".
Dan setelah tiga hari berlalu, tidak lebih, ia terbaring di rumahnya sementara keluarganya berada di sekelilingnya dan sama menangis. Dengan hati puas dan tenteram dibukanya matanya melihat mereka, lalu katanya: "Janganlah daku ditangisi, karena semenjak masuk Islam tidak sedikit pun daku berlumur dosa!"
Dan sebelum kepalanya terkulai di atas dadanya, diangkatkannya sedikit ke atas seolah-olah hendak menyampaikan selamat tinggal kepada dunia fana ini. (Selesai)
(mhy)
No comments:
Post a Comment