Mandrasah Pertama yang Menggodok Keilmuan Imam Syafi'i

Mandrasah Pertama yang Menggodok Keilmuan Imam Syafii
Seorang ibu adalah madrasah pertama bagi anak-anaknya. Kesalehan ibu dan ayahnya, maka dapat mewujudkan anak-anak yang saleh pula. Foto ilustrasi/ist
Ketokohan dan kepakaran Abu Abdullah Muhammad Idris Asy syafi’i atau dikenal Imam Asy-Syafi'i sudah sangat tersohor di dunia. Ia adalah pendiri mazhab fikih dan ahli di segala bidang keilmuan . Karya-karyanya diakui dan menjadi rujukan utama dalam dunia Islam. Namun, tahukah Anda bahwa kehebatan sang tokoh tak terlepas dari peran ibundanya, yakni Fatimah binti Ubaidillah Azdiyah. 

Bagi Imam Syafi'i, Fatimahlah, madrasah pertamanya . Dan ia adalah seorang ibu yang cerdas dan saleha. Tak heran, jika sekolah pertamanya mendidik ketakwaan dan kesalehan, maka InsyaAllah anak-anaknya juga menjadi anak-anak yang saleh dan salehah.

Al Qur'an telah menentukan karakter seorang ibu yang baik dan salehah, dalam firman Allah SWT

فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ ۚ

” Maka wanita yang shalihah ialah yang taat kepada Allah lagi menjaga diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah menjaga mereka.” (QS. an Nisa : 34).

Siapakah Fatimah binti Ubaidillah Azdiyah ini? Dirangkum dari berbagai sumber inilah kisah hidup Fatimah binti Ubaidillah Asdiyah ini. Dijelaskan Al-Baihaqi, nasab Fatimah sampai ke suku Al-Azd di Yaman. Sedangkan menurut sejarawan lain, Fatimah adalah Ahlul Bait atau keturunan Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam dari jalur Ubaidillah bin Hasan bin Husein bin Ali bin Abi Thalib.

Sejak Imam Syafi'i berumur dua tahun, Fatimah terpaksa harus membesarkan buah hatinya itu sendirian. Ini lantaran sang suami, Idris bin Abbas bin Usman bin Syafi’i, meninggal di Gaza.

Fatimah dikenal cerdas dan taat beribadah. Ia adalah sosok yang tegar dan tidak pernah mengeluh. Ketika suaminya wafat, tak sedikit pun harta ia warisi. Dengan kondisi serba kekurangan, ia berjuang untuk memberikan yang terbaik bagi anak semata wayangnya itu. Keinginannya satu, kelak buah hatinya tersebut menjadi figur hebat dan bermanfaat bagi semua.

Mereka pun berpindah ke Makkah. Kota suci itu dipilih agar Fatimah bisa mempertemukan Syafi’i dengan keluarga besarnya dari Suku Quraisy.

Imam Syafi’i pernah berujar, langkah ini ditempuh ibundanya karena ia khawatir hidup dirinya sia-sia. “Ibuku ingin agar aku seperti keluarga di Makkah. Ibuku takut aku kehilangan nama besar keluargaku bila tetap tinggal dan besar di luar Makkah.”

Tak hanya itu, Fatimah ingin anaknya belajar bahasa Arab langsung dari Suku Hudzail. Konon kabilah ini terkenal dengan kefasihan bahasa. Ajaran ini kelak membekas. Imam Syafi’i bukan hanya dikenal sebagai ahli fikih, melainkan pakar seni sastra dengan kumpulan puisi gubahannya.

Imam Asymal (pakar bahasa Arab) berkata, “Aku membaca syair-syair dari Suku Hudzail di depan pemuda dari Quraisy yang bernama Muhammad bin Idris (nama Imam Syafi’i).” Selain bahasa, di Makkah banyak bertaburan guru-guru agama.

Di Makkah, Fatimah tinggal bersama Syafi’i kecil di Kampung Al-Khaif. Nasab boleh tinggi dan terhormat, tetapi taraf ekonomi mereka di level bawah. Syafi’i menuturkan sendiri tentang kondisi ibunya yang miskin.

“Aku tumbuh sebagai seorang anak yatim di bawah asuhan ibuku, dan tidak ada harta pada beliau yang bisa diberikan kepada guruku. Ketika itu guruku merasa lega apabila aku menggantikannya saat dia pergi,” kenangnya.

Namun, kemiskinan tidak pernah membuat Syafi’i minder. Apalagi patah semangat. Karena sang ibunda selalu berada di sampingnya. Mendoakan, mendampingi, serta memberi semangat.

Imam Syafi’i berkata, “Tidak akan berhasil orang yang menuntut ilmu, kecuali menuntutnya dalam keadaan susah.”

Dari kondisi ini, Fatimah mengajarkan agar anaknya kelak memahami perasaan dan kehidupan masyarakat miskin.

Beruntung, Syafi’i dikaruniai kecerdasan otak. Anugerah ini dimaksimalkan Fatimah. Ia paham betul bahwa daya tangkap anaknya itu sangat luar biasa.

Ia juga turun langsung mengajar dan membimbing hafalan Al-Qur’an buah hatinya itu. Syahdan, Syafi’i sukses menghafalnya di usia tujuh tahun.

Agar lebih berkualitas, Fatimah mengajak anaknya menyetor hafalan ke Syekh Ismail Qusthanthin di Makkah, belajar tafsir dari Abdullah bin Abbas. Setelah itu, Imam Syafi’i mulai menghafal hadis-hadis Rasulullah.

Dedikasi dan kedisiplinan Fatimah mencetak kepribadian dan intelektual sang anak begitu kuat. Sering kali, ia tak membukakan pintu rumah dan menyuruh anaknya itu kembali mencari ilmu.

Perintahkan Menuntut Ilmu

"Nak, pergilah menuntut ilmu untuk jihad di jalan Allah. Kelak kita bertemu di akhirat saja.” Inilah perintah utama Fatimah kepada Imam Syafi’i kepada Imam Syafi’i, sebelum perjalanan Imam Syafi’i menuntut ilmu

Imam Syafi’i pun berangkat dari Makkah ke Madinah belajar dengan Imam Malik bin Anas, kemudian ke Iraq. Di Iraq, Imam Syafi’i cukup lama. Imam Syafi’i tidak berani pulang ke rumah, selalu teringat pesan ibundanya (“Kelak kita bertemu di akhirat saja…”), sehingga sebelum ada izin dari Ibundanya, Imam Syafi’i tidak berani pulang ke rumah.

Imam Syafi’i menjadi ulama’ yang terkenal, muridnya banyak , majelis ilmunya tidak pernah sepi.

Suatu ketika ada halaqoh besar di Masjidil Haram. Makkah, Ada seorang ulama besar dari Iraq dalam perkataanya sering menyebut “Muhammad bin Idris al-Syafi’i berkata begini begini …”. Saat itu ibunda Imam Syafi’i hadir dalam halaqoh tersebut. Lantas Ibunda Syafi’i betanya, “Ya Syaikh, Siapakah Muhammad bin Idris al-Syafi’i itu?,” Sang Ibu bertanya.

Syaikh tersebut menjawab “Dia adalah guruku, seorang yang ‘alim, cerdas, sholeh yang berada di Iraq. Asalnya dari Mekkah sini,”

“Ketahuilah wahai Syaikh, Muhammad bin Idris al-Syafi’i itu adalah anak-ku,” jawab Sang Ibu.

Syaikh itu-pun kaget dan tercengang, seketika rombongan dari Iraq itupun menaruh hormat dan takzim kepada ibundanya Imam Syafi’i.

“Wahai ibu, sepulang dari haji ini kita akan kembali ke Iraq. Apa pesanmu kepada Imam al-Syafi’i?,” Kata Syaikh.

“Pesanku kepada Syafi’i, jikalau sekarang dia ingin pulang, aku mengizininya untuk pulang,” jawab Sang Ibu.
Sepulang dari haji, Syaikh beserta rombongan Iraq itupun menyampaikan pesan tersebut kepada Imam Syafi’i bahwa Ibundanya, telah mengizinkan beliau untuk pulang ke rumah. Mendengar kabar tersebut Imam Syafi’i sangat bahagia. Karena masih berkesempatan bertemu dengan sang Ibunda di dunia ini, walaupun sebelumnya ibundanya berkata “kita bertemu di akhirat saja….”.

Imam al-Syafi’i pun bersiap -siap untuk berangkat ke Makkah menjumpai ibundanya. Mendengar Imam Syafi’i akan ke Makkah, masyarakat yang mencintai dan mengagumi beliau, berbondong- bondong memberi bekal kepada beliau, ada yang memberi Unta, Dinar, dan lainnya. Walhasil, Imam al-Syafi’i pun pulang ke Makkah dengan membawa puluhan unta dan dikawal oleh beberapa murid beliau.

Sesampai di perbatasan kota Mekkah, Imam Syafi’i mengutus seorang muridnya agar mengabarkan kepada Ibundanya bahwa saat ini beliau sudah di perbatasan kota Mekkah. (Hal seperti ini termasuk sunnah, yakni mengabarkan ke rumah ketika seseorang mau pulang supaya pihak rumah mempersiapkan sesuatu, bukan membuat malah kejutan).

Kemudian, murid Imam al-Syafi’i-pun menjumpai Ibundanya Imam Syafi’i, dan mengabarkan bahwa putranya sudah ada diperbatasan kota Makkah.

Ibunda Syafi’i bertanya kepada murid tersebut, “Syafi’i membawa apa?”

“Imam al-Syafi’i pulang dengan membawa puluhan unta dan harta lainya,” Jawab murid tersebut .

Mendengar jawaban murid Imam al-Syafi’i yang lugu itu, Sang Ibu menutup pintunya sambil berkata, “Aku menyuruh Syafi’i ke Iraq bukan untuk mencari dunia! Beritahu kepada Syafi’i bahwa dia tidak boleh pulang ke rumah!”

Murid tersebut kembali kepada Imam Syafi’i dan menceritakan apa yang terjadi.
“Wahai Imam, Ibunda anda marah dan menyuruh anda untuk tidak boleh pulang ke rumah,” jawab santri penuh gemetar.

“Mengapa bisa demikian?,” tanya Imam al-Syafi’i.

“Wahai Imam, Sesungguhnya ibunda anda bertanya, Syafi’i membawa apa? Kemudian aku berkata bahwa Imam al-Syafi’i membawa puluhan unta dan kekayaan lainnya,” jawab santri itu.

“Sungguh kesalahan besar dirimu, jika engkau menganggap Ibundaku akan bahagia dengan harta yang kubawa ini.

“Sekarang bagikan semua unta dan kekayaan lainya pada penduduk Mekah, dan sisakan kitab-ku, setelah itu kabarkan lagi kepada Ibuku,” Perintah Imam al-Syafi’i kepada muridnya.

Murid Imam al-Syafi’i itu pun segera melaksanakan perintah sang guru. Kemudian ia kembali ke rumah Imam al-Syafi’i untuk menemui Sang Ibu. Dan mengabarkan bahwa Imam al-Syafi’i telah membagikan semua unta dan harta yang lainnya, yang dibawa Imam Syafi’i hanya kitab dan ilmu. Mendegar khabar itu, maka sang ibu mengijinkan Imam Syafi’i untuk pulang ke rumah.

Akhirnya Imam Syafi’i bisa berjumpa dengan sang ibu. Dan kebahagiaan pun menyertai mereka berdua.

***

Demikian sepenggal kisah, betapa seorang ibu yang salehah, mendidik anaknya menjadi saleh. Hikmahnya, jika menginginkan anak-anaknya saleh dan salehah, maka dimulai dari kedua orang tuanya. Orang tua yang saleh akan selalu menanamkan, mengajarkan dan memberi contoh untuk patuh dan taat pada Allah dan Rasulullah. Senantiasa senang untuk menuntut ilmu terlebih ilmu agama, yang dengan ilmu agama, kita akan tahu tujuan hidup dan cara menjalani hidup di dunia ini.

Wallahu A'lam
(wid)Widaningsih

No comments: