Ketentuan Allah Ta'ala Tentang Musibah, Hikmah atau Akibat Dosa?
Setiap insan muslim wajib memahami bahwa Allah Subhanahu wa ta’ala memiliki banyak hikmah dalam pengaturan makhluk-Nya. Hikmah Allah Ta'ala tersamarkan dari pemahaman kebanyakan manusia, baik dari kalangan para ulama, lebih-lebih orang awam.
Allah Ta'ala memiliki hikmah sesuai dengan keluasan ilmu-Nya yang mutlak. Bahkan, dalam setiap musibah yang menimpa seorang hamba, pada hakikatnya Allah mengirim sinyal-sinyal agar muslimin mengambil hikmah di dalamnya.
Hikmah dari akibat musibah dan bencana bagi manusia sering kali dirahasiakan oleh-Nya. Oleh karena itu, manusia terkadang bisa menangkap satu hikmah, tetapi tersamarkan baginya sekian banyak hikmah yang lain.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu :
مَا يُصِيبُ الْمُسْلِمَ مِنْ نَصَبٍ وَلَا وَصَبٍ وَلَا هَمٍّ وَلَا حُزْنٍ وَلَا أَذًى وَلَا غَمٍّ حَتَّى الشَّوْكَةِ يُشَاكُهَا إِلَّا كَفَّرَ اللهُ بِهَا مِنْ خَطَايَاهُ
“Tiadalah seorang muslim yang ditimpa musibah dalam bentuk kelelahan, sakit, kesusahan, kesedihan, gangguan, dan kecemasan, melainkan Allah menghapuskan darinya segala kesalahan dan dosa, hingga duri yang menusuknya juga menjadi penghapus dosa.” (HR. al-Bukhari)
Kebanyakan manusia lalai mengharapkan pahala ketika mereka tertimpa musibah-musibah kecil seperti tertusuk duri, terkena sakit ringan (flu, batuk ), atau ketika mereka lelah karena bekerja seharian misalnya, baik seorang Ayah yang bekerja di luar rumah ataupun Ibu yang mengerjakan pekerjaan rumah tangga kesehariannya dan juga hal-hal lainnya sebagaimana yang disebutkan pada hadits di atas.
Padahal dalam semua hal tersebut, mereka memiliki peluang untuk mendapatkan kebaikan selain kepastian dihapuskannya kesalahan-kesalahan mereka. Sudah selayaknya bagi seorang Muslim agar selalu menghadirkan niat & mengharapkan pahala di Setiap musibah yang ia alami, baik kecil maupun besar.
Namun, musibah disebabkan oleh perbuatan manusia sendiri. Muslimin patut menyimak sebuah kabar dari Allah Ta’ala :
وَما أَصابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِما كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُوا عَنْ كَثِيرٍ
“Dan segala musibah yang menimpa kalian adalah disebabkan oleh perbuatan tangan kalian. Dan Allah memaafkan banyak (dari kesalahan kalian)” (QS. Asy-Syuuraa: 30).
Dalam kitab tafsirnya (Tafisr As-Sa'di), Syaikh Abdur Rahman As-Sa’di rahimahullah menafsirkan ayat di atas, bahwa Allah Ta’ala memberitahukan bahwa tidak ada satupun musibah yang menimpa hamba-hamba-Nya, baik musibah yang menimpa tubuh, harta, anak, dan menimpa sesuatu yang mereka cintai serta (musibah tersebut) berat mereka rasakan, kecuali (semua musibah itu terjadi) karena perbuatan dosa yang telah mereka lakukan dan bahwa dosa-dosa (mereka) yang Allah ampuni lebih banyak.
Karena Allah tidak menganiaya hamba-hamba-Nya, namun merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri. Dan kalau sekiranya Allah menyiksa manusia disebabkan perbuatannya, niscaya Dia tidak akan meninggalkan di atas permukaan bumi suatu mahluk yang melatapun, dan menunda siksa itu bukan karena Dia teledor dan lemah.”.
Sementara, di dalam Tafsir Al-Baghawi, Syaikh Al-Baghawi rahimahullah menukilkan perkataan seorang tabi’in pakar tafsir Ikrimah rahimahullah :
ما من نكبة أصابت عبدا فما فوقها إلا بذنب لم يكن الله ليغفر له إلا بها، أو درجة لم يكن الله ليبلغها إلا بها .
“Tidak ada satupun musibah yang menimpa seorang hamba, demikian pula musibah yang lebih besar (dan luas) darinya, kecuali karena sebab dosa yang Allah mengampuninya hanya dengan (cara menimpakan) musibah tersebut (kepadanya) atau Allah hendak mengangkat derajatnya (kepada suatu derajat kemuliaan) hanya dengan (cara menimpakan) musibah tersebut (kepadanya).
Terkadang musibah menimpa orang-orang yang saleh dan paling mulia di antara manusia. Akan tetapi, di balik musibah tersebut terdapat pengaruh dan hikmah yang berbeda bagi yang tertimpa. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman tentang para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,
وَلَنَبۡلُوَنَّكُم بِشَيۡءٍ مِّنَ ٱلۡخَوۡفِ وَٱلۡجُوعِ وَنَقۡصٍ مِّنَ ٱلۡأَمۡوَٰلِ وَٱلۡأَنفُسِ وَٱلثَّمَرَٰتِۗ وَبَشِّرِ ٱلصَّٰبِرِينَ ١٥٥ ٱلَّذِينَ إِذَآ أَصَٰبَتۡهُم مُّصِيبَةٌ قَالُوٓاْ إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّآ إِلَيۡهِ رَٰجِعُونَ
“Sungguh, akan Kami berikan cobaan kepadamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar, (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa oleh musibah, mereka mengucapkan, ‘Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un’.” (QS al-Baqarah: 155—156)
Abd bin Humaid dan Ibnu Jarir meriwayatkan dari Atha yang berkata, “(Orang yang dimaksud dalam ayat ini) adalah para sahabat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.”
Ayat ini mengandung peringatan dan pengajaran bagi kaum muslimin bahwa kesempurnaan nikmat dan kemuliaan derajat di sisi Allah subhanahu wa ta’ala tidak menjadi penghalang antara mereka dan musibah dunia yang akan menimpa. Adakalanya seseorang terkena musibah, sedangkan orang lain yang lebih besar dosanya selamat.
Adakalanya seseorang terkena musibah juga, tetapi lebih ringan. Semua ini berdasarkan hikmah Allah subhanahu wa ta’ala yang bertingkat-tingkat dan tidak sama.
Balasan minimal bagi seorang Muslim yang tertimpa musibah, sekecil apapun musibah tersebut, maka Allah akan menghapuskan kesalahannya. Namun, apabila ia mampu bersabar dan mengharapkan pahala dari musibah tersebut, maka sesungguhnya ia akan mendapatkan tambahan kebaikan.
Wallahu 'Alam
Allah Ta'ala memiliki hikmah sesuai dengan keluasan ilmu-Nya yang mutlak. Bahkan, dalam setiap musibah yang menimpa seorang hamba, pada hakikatnya Allah mengirim sinyal-sinyal agar muslimin mengambil hikmah di dalamnya.
Hikmah dari akibat musibah dan bencana bagi manusia sering kali dirahasiakan oleh-Nya. Oleh karena itu, manusia terkadang bisa menangkap satu hikmah, tetapi tersamarkan baginya sekian banyak hikmah yang lain.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu :
مَا يُصِيبُ الْمُسْلِمَ مِنْ نَصَبٍ وَلَا وَصَبٍ وَلَا هَمٍّ وَلَا حُزْنٍ وَلَا أَذًى وَلَا غَمٍّ حَتَّى الشَّوْكَةِ يُشَاكُهَا إِلَّا كَفَّرَ اللهُ بِهَا مِنْ خَطَايَاهُ
“Tiadalah seorang muslim yang ditimpa musibah dalam bentuk kelelahan, sakit, kesusahan, kesedihan, gangguan, dan kecemasan, melainkan Allah menghapuskan darinya segala kesalahan dan dosa, hingga duri yang menusuknya juga menjadi penghapus dosa.” (HR. al-Bukhari)
Kebanyakan manusia lalai mengharapkan pahala ketika mereka tertimpa musibah-musibah kecil seperti tertusuk duri, terkena sakit ringan (flu, batuk ), atau ketika mereka lelah karena bekerja seharian misalnya, baik seorang Ayah yang bekerja di luar rumah ataupun Ibu yang mengerjakan pekerjaan rumah tangga kesehariannya dan juga hal-hal lainnya sebagaimana yang disebutkan pada hadits di atas.
Padahal dalam semua hal tersebut, mereka memiliki peluang untuk mendapatkan kebaikan selain kepastian dihapuskannya kesalahan-kesalahan mereka. Sudah selayaknya bagi seorang Muslim agar selalu menghadirkan niat & mengharapkan pahala di Setiap musibah yang ia alami, baik kecil maupun besar.
Namun, musibah disebabkan oleh perbuatan manusia sendiri. Muslimin patut menyimak sebuah kabar dari Allah Ta’ala :
وَما أَصابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِما كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُوا عَنْ كَثِيرٍ
“Dan segala musibah yang menimpa kalian adalah disebabkan oleh perbuatan tangan kalian. Dan Allah memaafkan banyak (dari kesalahan kalian)” (QS. Asy-Syuuraa: 30).
Dalam kitab tafsirnya (Tafisr As-Sa'di), Syaikh Abdur Rahman As-Sa’di rahimahullah menafsirkan ayat di atas, bahwa Allah Ta’ala memberitahukan bahwa tidak ada satupun musibah yang menimpa hamba-hamba-Nya, baik musibah yang menimpa tubuh, harta, anak, dan menimpa sesuatu yang mereka cintai serta (musibah tersebut) berat mereka rasakan, kecuali (semua musibah itu terjadi) karena perbuatan dosa yang telah mereka lakukan dan bahwa dosa-dosa (mereka) yang Allah ampuni lebih banyak.
Karena Allah tidak menganiaya hamba-hamba-Nya, namun merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri. Dan kalau sekiranya Allah menyiksa manusia disebabkan perbuatannya, niscaya Dia tidak akan meninggalkan di atas permukaan bumi suatu mahluk yang melatapun, dan menunda siksa itu bukan karena Dia teledor dan lemah.”.
Sementara, di dalam Tafsir Al-Baghawi, Syaikh Al-Baghawi rahimahullah menukilkan perkataan seorang tabi’in pakar tafsir Ikrimah rahimahullah :
ما من نكبة أصابت عبدا فما فوقها إلا بذنب لم يكن الله ليغفر له إلا بها، أو درجة لم يكن الله ليبلغها إلا بها .
“Tidak ada satupun musibah yang menimpa seorang hamba, demikian pula musibah yang lebih besar (dan luas) darinya, kecuali karena sebab dosa yang Allah mengampuninya hanya dengan (cara menimpakan) musibah tersebut (kepadanya) atau Allah hendak mengangkat derajatnya (kepada suatu derajat kemuliaan) hanya dengan (cara menimpakan) musibah tersebut (kepadanya).
Terkadang musibah menimpa orang-orang yang saleh dan paling mulia di antara manusia. Akan tetapi, di balik musibah tersebut terdapat pengaruh dan hikmah yang berbeda bagi yang tertimpa. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman tentang para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,
وَلَنَبۡلُوَنَّكُم بِشَيۡءٍ مِّنَ ٱلۡخَوۡفِ وَٱلۡجُوعِ وَنَقۡصٍ مِّنَ ٱلۡأَمۡوَٰلِ وَٱلۡأَنفُسِ وَٱلثَّمَرَٰتِۗ وَبَشِّرِ ٱلصَّٰبِرِينَ ١٥٥ ٱلَّذِينَ إِذَآ أَصَٰبَتۡهُم مُّصِيبَةٌ قَالُوٓاْ إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّآ إِلَيۡهِ رَٰجِعُونَ
“Sungguh, akan Kami berikan cobaan kepadamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar, (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa oleh musibah, mereka mengucapkan, ‘Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un’.” (QS al-Baqarah: 155—156)
Abd bin Humaid dan Ibnu Jarir meriwayatkan dari Atha yang berkata, “(Orang yang dimaksud dalam ayat ini) adalah para sahabat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.”
Ayat ini mengandung peringatan dan pengajaran bagi kaum muslimin bahwa kesempurnaan nikmat dan kemuliaan derajat di sisi Allah subhanahu wa ta’ala tidak menjadi penghalang antara mereka dan musibah dunia yang akan menimpa. Adakalanya seseorang terkena musibah, sedangkan orang lain yang lebih besar dosanya selamat.
Adakalanya seseorang terkena musibah juga, tetapi lebih ringan. Semua ini berdasarkan hikmah Allah subhanahu wa ta’ala yang bertingkat-tingkat dan tidak sama.
Balasan minimal bagi seorang Muslim yang tertimpa musibah, sekecil apapun musibah tersebut, maka Allah akan menghapuskan kesalahannya. Namun, apabila ia mampu bersabar dan mengharapkan pahala dari musibah tersebut, maka sesungguhnya ia akan mendapatkan tambahan kebaikan.
Wallahu 'Alam
(wid)
Widaningsih
Widaningsih
No comments:
Post a Comment