Cerita Prof. MH Rasjidi Dikeroyok Orientalis

HM Rasjidi
Bagikan:

BANGSA Indonesia mengenal nama Prof Dr HM Rasjidi. Terkait nama ini ada sebuah kisah menariknya. Saat menjadi dosen di McGill University, ia pernah disidang dalam kampus dan dijadikan semacam terdakwah hanya karena mendebat orientalis kenamaan yaitu Yoseph Schacht.

Alkisah, ketika Prof. Schacht, ahli hukum Islam kaliber internasional, memberi ceramah di McGill, ia menyamakan hukum Islam dengan hukum Arab jahiliyah. Menurutnya hukum yang digunakan pada masa jahiliyah adalah “arbitrage” karena tidak ada hukum tertulis.

Nabi pun juga demikian, menurutnya Schacht, meski beliau memiliki kekuasaan politik dan militer, selalu bertindak sebagai arbitre (penengah). Konsekuensinya, pada zaman Nabi tidak ada hukum. Hukum baru dibuat sejak masa khalifah, sehinga Nabi dianggap tidak pernah mendirikan negara, yang ada hanya kekuasaan agama.

Mendengar statemen tersebut, para guru besar tampak mengamini, puas dan bangga. Sementara itu, para mahasiswa yang kebanyakan muslim terlihat gelisah. Mau bantah pun segan karena kebesaran sang orientalis tersebut.

Lain halnya sikap Prof. Dr Rasjidi. Pada momen itu, ia justru berani mendebat dan mengkritisi pendapat Schacht yang dianggapnya keliru. Rasjidi mengatakan bahwa orientalis ini salah dalam memahami bahasa Arab. Kata hakama dan qadha (memutuskan) dalam al-Qur`an adalah sinonim.

Rupanya, kritik Rasjidi membuat pihak elit kampus kebakaran jenggot. Pada waktu itu, Direktur Institute W.C. Smith sampai meliburkan aktivitas kampus selama satu hari untuk menyidang Prof. Rasjidi.

Tujuannya adalah untuk melangsungkan debat dengan Schacht. Tindakan Rasjidi dianggap subversif dan merongrong wibawah orientalis.

Saat diberi kesempatan untuk membela diri, disampaikanlah argumentasi ilmiah bahwa setelah mendapat wahyu, Nabi Muhammad ﷺ tidak mungkin menggunakan hukum jahiliyah. Arbitrage hanya digunakan ketika tidak ada teks hukum Al-Qur`an. Ia juga mengulang penjelasan bahwa kata hakama dan qadha adalah sinonim.

Waktu itu, hampir sembilan puluh sembilan persen para staf dan dosen membela Schacht. Seolah-oleh Rasjidi sedang menjadi terdakwah. Tapi, Ia tetap memberi penjelasan dan tak lupa bertawakkal kepada Allah.

Dalam kondisi terpojok seperti itu, tiba-tiba ada profesor dari Jepang yang bernama Izutzu memecahkan suasana tegang itu dengan ungkapan, “Yang benar adalah Prof. Rasjidi.” Guru-guru besar orang Barat merasa tidak mampu mendebat penjelasannya. Kisah ini bisa dibaca dalam buku “70 Tahun Prof. Dr. Rasjidi” (1985: 62-64) atau kisahnya sendiri dalam buku “Releksi Pembaharuan Pemikiran Islam. 70 Tahun Harun Nasution.” (1989: 266, 267).

Tak Silau Barat

Peristiwa ini memberikan pelajaran luar biasa kepada umat Islam –terutama para pemuda yang sedang menuntut ilmu– agar tak gampang silau dengan pemikiran Barat atau apapun yang terkesan ilmiah. Sekelas orientalis pun, ternyata tidak bisa netral secara ilmiah. Mereka bahkan banyak juga yang mengkultuskan dan fanatik kepada mereka walaupun sebenarnya pemikirannya keliru.

Pegang erat budaya ilmiah, dan itu sangat diajarkan dalam Islam. Tapi, bukan berarti, hanya karena terkesima dengan pandangan orientalis, lalu menjadi muqallid dan pembeo mereka, bahkan kehilangan sikap kritis. Dalam istilah Jawa ada ungkapan “Ojo gumunan, Ojo kagetan” (janga gampang heran, jangan gampang kaget).

Kita bisa meniru Prof. Rasjidi. Meski pernah nyantri di Universitas ternama di Barat, dan diajar langung oleh orientalis, tetapi tetap memegang tegus keislamannya, dengan tanpa kehilangan budaya ilmiah dan kekritisan. Dengan percaya diri tinggi, dan ilmu mumpuni, beliau meluruskan kekeliruan orientalis.

Sosok yang memiliki keilmuan Islam kuat serta wawasan pemkiran Barat yang luas seperti beliau sangat layak diteladani di tengah banyaknya pemuda Islam yang gampang latah dengan pemikiran asing yang kadang malah menghancurkan Islam dari dalam. Tirulah Prof. Rasjid! Meski belajar ke Barat, tapi tidak kebarat-baratan dan kehilangan budaya Timurnya.

Semoga kita tidak masuk dalam kategori yang disabdakan Nabi berikut ini:

«لَتَتَّبِعُنَّ سَنَنَ مَنْ قَبْلَكُمْ شِبْرًا بِشِبْرٍ، وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ، حَتَّى لَوْ سَلَكُوا جُحْرَ ضَبٍّ لَسَلَكْتُمُوهُ» ، قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ: اليَهُودَ، وَالنَّصَارَى قَالَ: «فَمَنْ»

“Kalian pasti akan mengikuti kebiasaan-kebiasaan orang sebelum kalian sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta hingga seandainya mereka manempuh (masuk) ke dalam lubang biawak kalian pasti akan mengikutinya.” Kami bertanya: “Wahai Rasulullah, apakah yang engkau maksud Yahudi dan Nashrani?” Beliau menjawab: “Siapa lagi (kalau bukan mereka)?” (HR. Bukhari).*/Mahmud Budi Setiawan

No comments: