Seharusnya Menjadi Wali, Menurut Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani

Begini Seharusnya Menjadi Wali, Menurut Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani
Ilustrasi/Ist
SEGALA pengalaman spiritual merupakan pengekangan, sebab sang wali diperintahkan untuk menjaga hal-hal itu. Segala yang diperintahkan untuk dijaga menimbulkan pengekangan. Berada dalam ketentuan Allah merupakan kemudahan, sebab yang diperintahkan hanyalah memaujudkan diri dalam ketentuan-Nya. 

"Sang wali tak boleh bersitegang dalam masalah ketentuan-Nya," tutur Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani dalam kitabnya berjudul Futuh Al-Ghaib .

Menurutnya, ia harus selaras dan tak boleh bertentangan dengan segala yang terjadi pada dirinya, entah manis atau pahit. Pengalaman itu terbatas, maka dari itu diperintahkan untuk menjaga pengalaman itu. 

Di lain pihak, kehendak Allah, yang merupakan ketentuan, tak terbatas. Isyarat bahwa hamba Allah telah mencapai kehendak-Nya dan kemudahan ialah diperintahkan-Nya ia untuk meminta kenikmatan-kenikmatan setelah diperintahkan untuk mencampakkannya dan menjauh darinya. Sebab bila rohaninya hampa akan kenikmatan, dan yang tinggal dalam dirinya hanyalah Tuhan, maka ia dimudahkan dan diperintahkan untuk meminta, mendambakan dan menginginkan hal-hal yang menjadi haknya. Dan yang bisa ia peroleh melalui permintaannya akan hal-hal itu, sehingga harga dirinya di mata Allah, kedudukannya dan karunia Allah Yang Mahaperkasa lagi Mahaagung, dengan diterimanya doanya, menjadi kenyataan. 
Menggunakan lidah untuk meminta kenikmatan sangat menunjukkan hal setelah pengekangan dan keluar dari segala pengalaman, kedudukan dan dari upaya keras menjaga batas.

Bila ditolak bahwa lenyapnya kesulitan dalam menjaga hukum ini menyebabkan ateisme dan keluar dari Islam sebagaimana firman-Nya: “Abdilah Tuhanmu sampai kematian datanng kepadamu.” (QS.15:99

"Jawabku ialah bahwa hal ini tak berarti begitu dan takkan begitu, tetapi bahwa Allah amat pemurah dan wali-Nya amat dicintai-Nya, sehingga Dia tak dapat mengizinkannya untuk menduduki suatu kedudukan hina di mata hukum dan agama-Nya," ujarnya.

Sebaliknya, Syaikh Abdul Qadir menyatakan, Dia menyelamatkannya dari semua itu, menjauhkannya dari semua itu, melindunginya dan menjaganya di dalam batas-batas hukum. 

Maka ia terlindung dari dosa dan senantiasa berada di dalam batas-batas hukum tanpa upaya dan perjuangan dari dirinya, sedang ia tak sadar akan keadaan ini dikarenakan oleh kedekatannya kepada Tuhannya. 

Allah berfirman: “Demikianlah, agar Kami palingkan darinya kemungkaran dan kekejian; sesungguhnya ia adalah salah satu dari hamba-hamba terpilih kami.” (QS.12:24

Sesungguhnya terhadap hamba-hamba-Ku kau tak berkuasa.” (QS.15:42

Kecuali hamba-hamba Allah yang dibersihkan.” (QS.37:40

"Duhai orang yang malang!" kata Syaikh Abdul Qadir, "Orang semacam itu dijauhkan oleh Allah dan ia adalah curahanNya. Dia memeliharanya dalam pangkuan kedekatan dan kasih-sayang-Nya. Bagaimana bisa si iblis mendekatinya. Bagaimana bisa kekejian mendekatinya.: 

Selanjutnya Syaikh berdoa: "Semoga kekejian terhancurkan oleh daya dan kelembutan sempurnanya! Semoga Dia melindungi kita dengan perlindungan dan kasih-sayang sempurna sehingga kita senantiasa mampu menjauhkan diri dari dosa-dosa. Semoga Dia memelihara kita dengan rahmat-rahmat dan karunia-karunia sempurna-Nya melalui tindak kasih-sayang-Nya!" 
(mhy) Miftah H. Yusufpati

No comments: