Jaringan Pemusnah Pater Beek untuk Hancurkan Islam (Bag.2)

Akan tetapi ketika Soekarno tidak memedulikan tuntutan itu, maka strategi diubah. Mereka mulai melancarkan perang terbuka terhadap Soekarno dengan cara menggelar demonstrasi secara bertubi-tubi untuk mendesak Soekarno mengundur diri sebagai presiden. Soekarno tentu saja naik pitam dan meminta agar KAMI dibubarkan.

Saat KAMI terpojok, Beek segera mengefektifkan sel-selnya yang telah ditanam di pemerintahan.

Dalam buku berjudul “Army and Politics in Indonesia”, Harold Crouch memaparkan, alih-alih membubarkan KAMI, Ali Moertopo justru memindahkan markas organisasi itu dari kampus UI ke Komando Tempur II Kostrad di mana Opsus (Operasi Khusus) yang dipimpin Ali Mutopo berkantor.

Seperti mendapat perlindungan, pemimpin KAMI, Cosmas Batubara menjadi aman di sana. Bahkan dari sana pula gerakan KAMI dapat ‘dikendalikan’ oleh Ali Murtopo, dan kembali dikobarkan.

Ali Murtopo tidak sendiri mengobarkan kembali aksi KAMI itu. Ia dibantu Kemal Idris dan Sarwo Edhi.

Bahkan agar terkesan gerakan KAMI mendapat dukungan luas dari masyarakat dan jumlah peserta demonstrasi semakin lama semakin banyak, Ali Murtopo membagi-bagikan jaket kuning yang serupa dengan jaket almamater UI, kepada mahasiswa dari kampus lain agar mereka dapat ikut serta berdemo. Crouch menyebut, jaket itu berasal dari CIA.

Tentang pembagian jaket almamater UI palsu itu diungkap Manai Sophian di buku “Bayang-bayang PKI” Katanya: “Saya punya dua jaket kuning yang didatangkan dari Hawai itu. Saya simpan, akan saya kasih tunjuk kalau ada orang yang tidak percaya. Jaket kuning itu dipakai anak-anak sekolah di Amerika menjelang musim dingin dan dipakai juga oleh sheriff. Lantas didatangkan ke sini. Dan oleh Ali Murtopo disuruh dibagi-bagikan. Jaket kuning ini memang bukan jaket kuning UI”.

Ketika akhirnya Soekarno benar-benar membekukan KAMI, Ali Murtopo membentuk dua organisasi baru untuk melancarkan demonstrasi anti-Soekarno selanjutnya, yaitu KAPPI dan Laskar Arif Rahman Hakim. Demonstrasi besar-besaran inilah yang memaksa Soekarno mengeluarkan Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar), surat yang aslinya hingga kini masih misterius keberadaannya, dan menjadi pertanda awal kejatuhan sang the founding father.

Hebatnya, hanya dalam waktu kurang dari dua tahun, Soeharto mampu melumpuhkan partai yang beranggotakan sekitar 20 juta orang. Dalam buku “Pater Beek, Freemason dan CIA”, Sembodo menyatakan bahwa keberhasilan Soeharto itu tak lepas dari campur tangan Beek.

Melalui Ali Murtopo, Beek menyerahkan 5.000 nama pentolan PKI dari tingkat pusat hingga daerah, termasuk Madiun yang menjadi salah satu basis PKI, kepada CIA. Oleh Dinas Intelijen Amerika Serikat itu, data diserahkan kepada Soeharto agar orang-orang yang namanya tercantum dalam daftar itu ditangkap.

Hal ini terungkap setelah wartawati Amerika Serikat, Kathy Kadane, mewawancarai mantan pejabat Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta, pejabat CIA, dan Departemen Luar Negeri Amerika Serikat.

Mantan pejabat Kedutaan Besar Amerika Serikat, Lydman, mengakui kalau pengumpulan nama-nama orang PKI selain dilakukan oleh stafnya, juga dibantu oleh Ali Murtopo yang kala itu menjabat sebagai kepala Opsus. Dengan dua cara ini, maka 5.000 nama pentolan PKI terkumpul.

Mengapa Ali Murtopo menyerahkan dulu daftar itu kepada CIA, dan tidak langsung saja kepada Soeharto? Jawabannya jelas, karena Ali Murtopo adalah anak buah Beek, dan selain anggota Freemason, Beek adalah anggota CIA.

Jadi, sebelum daftar itu digunakan oleh Soeharto, CIA harus men-screening-nya dulu agar tidak ada nama yang sebenarnya merupakan bagian dari CIA, ikut terbantai.

Jejak Beek mungkin bisa dilacak dari perlakuan Soeharto selanjutnya kepada Soekarno. Setelah tidak lagi menjadi presiden, Soeharto menjadikan Soekarno sebagai tahanan politik, dan mengisolasinya dari dunia luar. Ketika Soekarno meninggal pada 21 Juni 1970, Soeharto juga tidak mau memenuhi amanat Soekarno untuk memakamkannya di Istana Batu Tulis, Bogor. Melalui Keppres RI No. 44 Tahun 1970, Soekarno dimakamkan di kota kelahirannya, Blitar, Jawa Timur.

Menghancurkan Islam!

Setelah Soekarno dihabisi, selanjutnya, melalui tangan Soeharto, Islam menjadi sasaran berikutnya yang dihabisi oleh Pater Beek.

Naiknya Soeharto menjadi presiden tak ubahnya bagai kunci pembuka jalan yang mempermudah misi Pater Beek selanjutnya: menghancurkan Islam!

Maka tak heran jika selama hampir 20 tahun pertama Orde Baru (1967-1987) banyak terjadi peristiwa yang menyakiti dan merugikan umat Islam.

Dalam buku “Pater Beek, Freemason dan CIA”, Sembodo mengatakan untuk mencapai misinya ini, Beek menggunakan konsep Gereja dalam ‘mewarnai kehidupan di bumi’, yakni berperan aktif dalam berbagai lini kehidupan bernegara.


Ia mengacu pada tulisan Richard Tanter yang bunyinya: “Visi (Pater) Beek pribadi atas peran Gereja, Gereja harus berperan dalam mengatur Negara, kemudian mengalokasikan orang-orang yang tepat untuk bekerja di dalam dan melalui Negara”.

Dari visi ini, tegas Sembodo, jelas sekali bahwa Pater Beek mempunyai kehendak untuk ‘mewarnai’ kehidupan politik di Indonesia dengan ‘mengalokasikan orang-orang yang tepat untuk bekerja di dalam dan melalui negara’.
Dengan kata lain, Beek menempatkan banyak orang-orangnya di berbagai posisi strategis di dalam pemerintahan Orde Baru, era pemerintahan Soeharto.

Dengan konsep seperti ini, maka dikembangkanlah konsep Negara yang oleh Daniel Dhakidae dalam bukunya yang berjudul “Cendekiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru”, disebut sebagai ‘Negara Organik’.

Menurut Daniel, konsep ini merujuk pada ajaran Thomas Aquinas, yaitu adanya jaminan ketenteraman lewat suatu pemerintahan yang ‘keras’, yang mempunyai kemampuan memerintah dan kemampuan memaksa. Konsep negara organik seperti ini akan menolak paham liberalisme dan sosialisme, karena paham liberalisme dianggap memberikan tempat istimewa bagi pribadi, sedangkan sosialisme dianggap menghalalkan perjuangan kelas yang akan menghancurkan tatanan Negara organik.

Di atas konsep seperti itu lah awalnya Orde Baru dibangun. Sebagai sebuah negara organik, Orde Baru mempunyai dua ciri yang menonjol, yakni hirarki (sentralistik) dan harmonisme.

Agar Negara kuat, maka harus dipegang secara hirarkis di mana yang paling atas memegang kontrol, terhadap orang-orang di bawahnya. Sementara untuk menjaga ketenteraman, maka harmonisme harus dijaga dengan cara sebisa mungkin menghilangkan perbedaan pendapat, dan setiap permasalahan diselesaikan secara musyawarah.

Dua perwira TNI AD yang didekati Beek adalah Yoga Sugama dan Ali Murtopo. Kedua orang ini direkrut karena dinilai memiliki kriteria sesuai yang ia butuhkan. Apalagi karena kedua orang inilah yang mendukung Soeharto menjadi Panglima Divisi Diponegoro. Dukungan diberikan saat Soeharto masih menjabat sebagai Komandan Resimen Yogyakarta. Jadi, setelah mendapatkan pion utama untuk menyukseskan misinya, Beek mendapatkan pembantu-pembantu pion utamanya itu. Maka lengkap sudah pion-pion yang ia butuhkan. Tinggal mencari pion-pion pendukung lain sebagai kacung-kacung ketiga pion ini.

Beek mengenal sosok Yoga Sugama dari Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI), salah satu organisasi yang menjadi tunggangannya dalam menyukseskan misi-misinya. Organisasi ini bahkan ikut memiliki peranan penting dalam penggulingan Soekarno.
Karir Yoga seluruhnya dihabiskan di dunia yang sepak terjangnya selalu dilakukan secara diam-diam dan sulit dilacak itu.

Selain di Jepang, ia pernah mendapat pendidikan intelijen di Inggris pada 1951. Kehebatannya dalam dunia yang satu ini, juga sifatnya yang cenderung machiavelis (menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan), sesuai yang dibutuhkan Pater Beek. Apalagi karena untuk dapat menyukseskan misi-misinya, Beek memang harus melakukan gerakan seperti layaknya seorang intel.


Meski ia seorang pastur, predikat itu hanya alat untuk mencapai misi-misinya. Itu sebabnya dalam lembaran sejarah Indonesia yang diajarkan di sekolah-sekolah maupun di perguruan tinggi-perguruan tinggi, nama ini tidak pernah sekali pun muncul karena ia memang tak pernah memunculkan dirinya secara terang-terang dalam beragam peristiwa di Indonesia, termasuk dalam peristiwa G-30S/PKI maupun peristiwa-peristiwa besar lainnya.

Beek mengenal sosok Ali Mutopo juga dari PMKRI. Di mata Beek, Ali adalah sosok yang ambisius dan machiavelis, sosok yang dibutuhkannya. Apalagi karena Ali juga bukan seorang Muslim yang taat, meski berasal dari keluarga santri. Seperti Soeharto, Ali dikenal sebagai penganut ajaran kejawen atau Islam abangan. Mengenai hubungan Ali Murtopo dengan Beek, Dr. George J. Aditjondro memberikan penjelasan: Banyak yang tak percaya kalau Ali Murtopo (yang berasal dari keluarga santri di pesisir Pulau Jawa) bisa menjadi orang yang sangat anti Islam dan berjasa besar dalam menindas orang Islam di awal Orde Baru. Yang orang cenderung lupa adalah, bahwa Ali Murtopo punya rencana berkuasa.

Oleh karena itu, semua yang merintanginya untuk mencapai tujuannya haruslah ditebas habis. Musuhnya bukan cuma Islam, tapi juga perwira-perwira ABRI yang dianggapnya sebagai perintang, seperti HR Dharsono, Kemal Idris, Sarwo Edhi Wibowo, dan Soemitro (Pangkopkamtib). Almarhum HR Dharsono (Pak Ton) difitnahnya berkonspirasi dengan orang-orang PSI untuk menciptakan sistem politik baru untuk menyingkirkan Soeharto. Kemal Idris dituduhnya berambisi jadi presiden. Sedang Sarwo Edhi difitnahnya merencanakan usaha menajibkan (menendang ke atas) Soeharto.(BERSAMBUNG)

*Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

No comments: