10 Pilar dalam Dakwah

10 Pilar dalam Dakwah

قُلْ هَٰذِهِۦ سَبِيلِىٓ أَدْعُوٓا۟ إِلَى ٱللَّهِ ۚ عَلَىٰ بَصِيرَةٍ أَنَا۠ وَمَنِ ٱتَّبَعَنِى ۖ وَسُبْحَٰنَ ٱللَّهِ وَمَآ أَنَا۠ مِنَ ٱلْمُشْرِكِينَ

“Katakanlah (wahai Muhammad!):” Inilah jalan (agama)ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan bashiroh (hujjah/ ilmu)yang nyata. MahasuciAllah dan aku tidak termasuk orang-orang yang musryik.” (QS:Yusuf [12]:108)


DAKWAH merupakan sebuah keharusan dan keniscayaan yang harus dilaksanakan oleh setiap orang yang mengaku beragama Islam. Tanpa dakwah dapat dipastikan bahwa Islam akan segera lenyap dari permukaan bumi ini. Sebab, hanya dakwah lah yang mampu mempertahankan eksistensi Islam hingga saat ini.

Bisakah kita dapat membayangkan, apa jadinya jika dunia sepi dari kegiatan dakwah? Sepi dari kegiatan transfer ilmu agama?, Pasti akan muncul sebuah generasi yang tidak mengenal aturan hidup (syari’at). Pada akhirnya akan muncul suatu kehidupan yang berantakan (chaose).

Oleh karena itu, tidak berlebihan kiranya jika al-Qur’an menyebutkan bahwa dakwah merupakan jalan para Rosul Allah. Sejak rosul pertama, Nuh ‘alaihis salam, sampai dengan rosul terakhir, Muhammad ﷺ.

Secara etimologi, dakwah berasal dari akar kata da’aa-yad’ua, yang mengandung arti mengajak, menyeru dan mengundang. Adapun secara terminologi, merupakan segala aktivitas yang dilakukan secara terorganisir, untuk mengajak seseorang atau lebih kepada jalan yang lurus (ash-shiroth al-mustaqim), mengeluarkan sesorang dari kesesatan menuju hidayah dan dari kegelapan menuju cahaya Islam, dengan menggunakan metode yang sistematis berdasarkan perkembangan ilmu pengetahuan saat ini.

Dalam berdakwah, setidaknya ada sepiluh pilar yang harus diperhatikan oleh para da’i. Menurut Hassan al-Banna ada sepuluh pilar dalam dakwah. Selanjutnya, sepuluh pilar itu sudah banyak dijelaskan oleh banyak ulama dan cendekiawan muslim, seperti Sa’id Hawa dalam “Afaaq Risalah at-Ta’lim”, Dr. Abdullah al-Khatib dan Dr. Abdu Halim dalam “Nazharat fi Risalah Ta’lim” , Dr. Yusuf al-Qordowi dalam “Aulawiyat al-harokah al-Islamiyah” dan yang terakhir Rahmad Abdullah dalam bukunya “untukmu kader dakwah”. Adapun herarkis sepuluh pilar itu adalah.

Pertama, al-Fahmu. Yang dalam bahasa Indonesia berarti pemahaman. Artinya setiap da’I harus mampu memberikan pemahan yang benar kepada obyek dakwahnya tentang apa yang ia dakwahkan, dalam hal ini adalah Islam.

Kedua, al-ikhlas. Artinya seorang da’i harus melandasi seluruh aktivitas dakwahnya dengan totalitas keikhlasan kepada Allah SWT. Da’i tidak boleh mengharapkan dari aktivitas dakwahnya itu melainkan keridho’an Allah SWT, bukan yang lain. Sehingga orang-orang yang diajak pun mampu merasakan pancaran kesucian jiwanya.

Dalam pada itu, mereka pun akhirnya akan percaya bahwa yang disampaikan oleh da’i itu merupakan kebenaran dari Allah SWT, sebelum pada akhirnya mereka pun akan mengikuti arahan dan pesan dakwah dari da’i tersebut. Bahkan tidak mustahil kelak mereka pun akan menjadi da’i-da’i baru yang akan meneruskan agenda dakwah muka bumi ini.

Ketiga, al-’Amal. Sangat ironis sekali jika seorang da’i mengajak orang lain untuk melakukan sesuatu, namun ia sendiri tidak melakukan apa yang diucapkan. Disamping mendapat murka dari Allah SWT, orang lain pun akan meremehkannya dan tidak akan menggubris apa yang dikatakannya. Dalam pada itu, sangat besar kemungkinannya agenda dakwah akan terhambat. Dikarenakan ulah sebagian da’i yang tidak mampu memberi contoh yang baik (qudwah hasanah) bagi obyek dakwahnya.

Keempat, al-Jihad. Di dalam dakwah amal saja tidak cukup, melainkan diperlukan pula adanya kesungguhan dan usaha keras dari para da’i tersebut. Sehingga dakwah itu dapat berjalan secara efektif dan mampu mengajak lebih banyak objek dakwah. Tanpa kesungguhan, dakwah akan berjalan ala kadarnya, bahkan sangat dimungkinkan akan terjadi futur (patah semangat) dalam diri da’i itu. Mengingat dakwah bukanlah pekerjaan yang ringan. Sehingga kesungguhan merukapakan hal yang harus dimiliki oleh setiap da’i.

Kelima, at-Tadhiyah. Disamping kesungguhan, diperlukan pula adanya pengorbanan dari da’i, baik pengorbanan material maupun mental. Merupakan kebohongan besar, jika ada yang ingin mengambil jalan dakwah tanpa mau berkorban. Mengingat orientasi dakwah tidak lah sama dengan perdagangan, yang nota bene berorientasi pada keuntungan material. Maka dari itu, pengorbanan merupakan suatu keniscayaan bagi para da’i.

Keenam, ath-Tho’ah. Dalam berdakwah seorang da’i tidak boleh berjalan secera sendiri-sendiri. Melainkan harus secara berjama’ah. Oleh karena itu, mutlak diperlukan adanya kepatuhan dari setiap da’i terhadap keputusan jama’ah itu. Jika tidak, maka hampir dapat dipastikan bahwa dakwah tersebut akan kandas di tengah jalan, bahkan bisa jadi para da’I itu akan mengalami kesulitan dan rintangan dari musuh-musuh dakwah.

Ketujuh, ats-Tsabat. Disamping memiliki kepatuhan, seorang da’i dituntut untuk memiliki keteguhan hati. Sehingga sanggup melawan segala rintangan dan kesulitan yang ditemuinya dalam menjalankan tugas dan amanahnya dari dakwah tersebut.

Kedelapan, at-Tajarrud. Agar dapat menyampaikan dakwahnya dengan benar, maka seorang da’i juga harus memiliki paradigma berfikir yang benar dan terbebas dari pengaruh pemikiran-pemikiran non-islami. Dalam pada itu, ketika seorang da’i sudah tercemari paradigma berfikirnya, maka ada kemungkinan da’i, yang sedianya ingin menyelamatkan orang, malah menyesatkannya. Inilah makna dari At-Tajarrud itu.

Kesembilan, al-Uhkuwah. Ketika berdakwah,hampir dapat dipastikan bahwa da’i akan menemui pelbagai rintangan, sehingga bantuan dari da’i lain sangat diperlukan dalam rangka menyukseskan agenda dakwah. Dari itu, rasa persaudaraan, baik sesama da’i, maupun antara da’i dengan obyek dakwahnya, merupakan hal yang sangat krusial dalam dakwah. Sehingga ketika memerlukan bantuan ia dapat memanggil saudaranya.

Kesepuluh, ats-Tsiqoh (kepercayaan). Mustahil rasanya, seseorang mau mengikuti perkataan orang lain tanpa adanya kepercayaan orang tersebut kepadanya. Dari itu, kepercayaan merupakan hal yang harus dibangun oleh para da’i di hadapan para obyek dakwahnya.

Ketika kepercayaan sudah ada maka para da’I, dapat dengan mudah mengarahkan obyek dakwahnya untuk mengikuti arahan dan pesan dakwah yang ia berikan padanya. Sebelum pada akhirnya, da’i tersebut juga dapat mempercayakan suatu perkara kepada kader dakwah yang muncul dari mereka, untuk meneruskan dakwahnya. Maka rasa saling mempercayai dari kedua belah pihak merupakan sebuah keniscayaan.

Itulah sepuluh pilar dalam dakwah. Dalam mana harus dipegang teguh oleh setiap da’i dan dilaksanakan menurut herarkinya. Dan mudah-mudahan, dengan melaksanakan itu semua, Allah SWT berkenan untuk menjadikan kita para da’i yang berkompeten dan meraih kesuksesan dalam berdakwah. Semoga.*/Faruuq Tri Fauzi, alumni Lembaga Dakwah Kampus “Jama’ah Fahruddin (JF) UMM. Dikutip Hidayatullah.com, Rabu, 22 September 2004

No comments: