Hamka dan Tamar Djaja Pernah Jadi Sasaran Qunut Nazilah Sesama Muslim

Hamka dan Tamar Djaja Pernah Jadi Sasaran Qunut Nazilah Sesama Muslim
BUYA HAMKA

|DALAM buku bertajuk “Kenang-kenangan 70 Tahun Buya Hamka” (1979:283-285), ada sekelumit kisah menarik yang diceritakan oleh Tamar Djaja mengenai kenangan bersama Hamka saat sama-sama mengelola Pedoman Masyarakat. Pada saat itu, penerbitan buku roman di bukit tinggi sangat digemari.

Tokoh Yusuf Souib, A. Damanhuri, Mukhtaar Nasution, Matu Mona, D. Khairat adalah di antara contoh yang turut andil dalam penerbitan buku-buku roman. Bahkan, Tamar Djaja dan Hamka pun juga menulis roman.

Masalah dimulai ketika Maisir Thaib –yang ketika itu berada di Kalimantan—mengirimkan naskah roman berjudul “Ustadz A. Ma’syuq”. Sebuah cerita roman yang terinspirasi dari kisah nyata kala itu di mana banyak kejadian guru agama Islam –istilahnya ustadz– yang masih muda bermain cinta dengan murid perempuannya. Hubungan antara laki-laki dan permpuan yang bukan mahram sangat tabu di Minangkabau.

Masyarakat bahkan para senior kala itu juga sudah mengetahui fakta itu. Namun, tidak dibesar-besarkan bahkan ditutupi karena jika diungkap sama saja seperti meludah ke langit. Aib itu justru mengena pada diri sendiri. Nah, tulisan roman itu diangkat sebagai nasihat atau mungkin kritik agar bisa memperbaiki hal tersebut.

Tamar Djaja pun menyetujui tulisan ini dengan harapan agar pertistiwa seperti itu tidak semakin menjadi-jadi. Dalam pendahuluan tulisan, Tamar mengingatkan agar para pembaca bisa menghindarkan diri dari guru cabul semacam itu. Hamka pun juga diminta menulis kata pendahuluan.

Berikut ini salah satu petikan pendahuluan Hamka yang banyak membuat –kaum thariqat yang kala itu merasa menjadi sasaran kritikan roman tersebut—kebakaran jenggot atau naik pitam. “Tidak akan kita sebut bagaimana kaum suluk dahulu berbisik ke telinga muridnya yang perempuan. Bila datang nikmat tengah malam, hendaklah diterima dengan baik. Ternyata tengah malam memang datang nikmat itu. Sembilan bulan kemudian menjadi anak.”

Tulisan itu sangat menyakiti kaum Thariqat. Sebagai reaksi bahkan mereka sampai mengadakn konferensi di Limbanang yang konon dihadiri oleh 10 ribu ulama mereka. Di antara yang dibahas adalah buku roman karya Maisir Thaib tadi.

Konferensi itu menghasilkan beberapa keputusan yang cukup seram jika ditujukan kepada sesama Muslim: Pertama, yang punya buku tersebut harus dibakar. Kedua, membaca qunut nazilah sebulan untuk mengutuk hal itu. Ketiga, diadukan kepada Residen Padang agar buku itu bisa dibeslah (dibredel). Saya membayangkan betapa akan semakin hebohnya peristiwa ini jika terjadi di era digital seperti saat ini. Pasti akan menjadi trending nasional.

Bahkan konflik bukan sampai di situ, dalam surat kabar pun demikian, Melalui tulisan berjudul : “Hendak ke Mana Tuan Hamka, dan Apa Tujuan Penyiaran Ilmu” di situ Buya Hamka dihantam habis-habisan. Mereka –menurut cerita Tamar—seperti cacing kepanasan dan sangat marah kepada Hamka. Hamka dan Tamar pun membalasnya dengan santai dan kadang terkesan lucu.

Apa yang terjadi setelah itu? Buku yang disuruh dibakar itu malah laku keras di pasaran bahkan sampai dicetak tiga kali. Walaupun diberondong dengan qunut nazilah, kondisi Hamka, Tamar Djaja dan Maisir Thaib baik-baik saja. Kemudian, poin ketiga lumayan berhasil, pemerintah kala itu akhirnya membredel buku tersebut, yang kata Tamar Djaja hanya tersisa 500 eksemplar.

***

Dari kisah ini, ada banyak pelajaran menarik yang bisa diambil dan masih relevan hingga saat ini. Pertama, berani mengaku salah dan mau diingatkan. Apalagi ketika yang mengingatkan adalah sesama Muslim. Sebaik-baik bangkai ditutupi, pasti nanti akan tercium juga. Mungkin dalam masalah cara perlu memegang prinsip penuh “hikmah” agar yang diingatkan tidak tersinggung.

Kedua, akibat fanatisme golongan kadang-kadang bisa meninggalkan akal sehat bahkan nilai-nilai agama. Qunut Nazilah yang biasanya dipakai Nabi untuk orang kafir yang memerangi dan menghina Islam, malah digunakan untuk sesama Muslim. Ini merupakan tindakan yang salah kaprah.

Betapa banyak saat ini fenomena sesama Muslim –hanya karena berbeda madzhab dan haluan politik dan semacamnya– kemudian melaknat, mengkafirkan bahkan ada yang sampai bermubahalah. Padahal, banyak cara yang lebih baik dan mencerminkan nilai-nilai islami yang bisa dilakukan. Seperti musyawarah, mauidzah hasanah (nasihat yang baik), tawasau bil-haq wa bish-shabri (saling berwasiat pada kebenaran dan kesabaran) dan semacamnya.

Ketiga, seharusnya jika ada masalah dengan penerbitan buku, akan lebih elok jika dihadapi dengan penerbitan buku. Pikiran dibalas dengan pikiran, ide dibalas dengan ide, dan seterusnya. Bukan malah mencaci maki, menggalang masa untuk mengutuk demi membela sesuatu yang salah.

Keempat, pentingnya saling mengingatkan ketika ada yang salah, bukan malah mendiamkan. Nabi pernah memberikan tamsil menarik seperti orang mengendarai kapal. Jika ada yang melobangi kapal dengan alasan ingin mengambil air kemudian dibiarkan saja, maka seisi kapal akan tenggelam semua. Inilah fungsi pentingnya mengingatkkan yang dalam bingkai “amar ma’ruf nahi munkar”.

Kelima, tidak mudah mengklaim yang lain kufur, sesat dan semacamnya. Yang penting lagi tidak menggunakan ajaran agama Islam untuk meluluskan keinginan suatu kelompok atau golongan tertentu akibat fanatisme buta. Kecintaan pada figur, tokoh atau apapun namanya, jangan sampai mencerabut diri dari nilai-nilai luhur Islam.

Terakhir, jika kasus semacam ini (dan semisalnya di era ini) dibiarkan begitu saja dan tidak disikapi dengan searif dan sebijaksana mungkin oleh internal umat, maka tidak menutup kemungkinan sesama Muslim akan adu jotos, konflik internal akan meluas, dan energi umat akan habis karena baku hantam sesama umat Islam. Kalau hendak diringkas, kelima poin itu bisa dibahasakan demikian: Mari menyampaikan nasihat sebijak mungkin dan berlapang dada diingatkan jika memang salah, bukan malah menggunakan idiom agama untuk menyerang saudara Muslim lainnya.*/Mahmud Budi Setiawan

No comments: