Milkul Yamin dalam Pandangan Syariat

Budak wajib diberi pakaian bagus. Bahkan dalam Madzhab Al Hanafi, budak perempuan yang dipilih oleh tuannya untuk digauli, ditempatkan di rumah khusus baginya

Milkul Yamin dalam Pandangan Syariat
Pasar budak di Yaman, ketika zaman perbudakaan masih ada
Makna Milkul Yamin atau juga milk al yamin hakikatnya adalah budak, baik laki-laki maupun perempuan. Disebut sebagai milkul yamin, secara harfiyah bermakna kepemilikan tangan kanan, karena kepemilikan terhadap budak-budak itu kepemilikan yang kuat, dan mereka berada di bawah kekuasaan tuannya secara penuh.

Jika seorang mengatakan,”Barang ini berada pada tangan kananku”, artinya barang ini milikku dan berada dalam kuasaku. (Mu’jam wa Tasfir Lughawi li Kalimat Al Qur`an, 5/309).

Di masa berlakunya perbudakan, memiliki budak perempuan, baik Untuk memperkerjakannya ataupun untuk digauli oleh pemiliknya yang disebut dengan surriyyah, dibolehkan dalam syari`at. Sebagaimana difirmankan dalam Al-Qur`an:

إِلَّا عَلَىٰ أَزْوَاجِهِمْ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ

Artinya: “Dan orang-orang yang menjaga kemaluan-kemaluan mereka. Kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak yang mereka miliki, maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela.” (Al-Mukminun [23]: 5, 6)

Sebagaimana Rasulullah ﷺ memiliki Shafiyah dan Juawairiyah radhiyallahu’anhuma, kemudian beliau memerdekakan keduanya dan menikahi mereka. Rasulullah ﷺ juga memiliki Mariyah Qibthiyah, yang merupakan hadiah dari penguasa Mesir, Muqaqis. (Tafsir Ibnu Katsir, 3/449). 

Milkul Yamin Lebih Kuat dari Pernikahan

Tuan budak tidak perlu akad nikah agar bisa menggauli budaknya. Bahkan kalau sekiranya ia melakukan akad nikah terhadap budak wanitnya, maka akad itu tidak sah, dan budaknya itu tetap bukanlah istri baginya.

Hal ini dikarenakan milkul yamin lebih kuat daripada pernikahan. Dalam Milkul Yamin tuan memiliki diri budaknya serta manfaatnya, sedangkan dalam pernikahan suami tidak memiliki diri istri, namun ia hanya memiliki sebagian manfaat darinya. (Tuhfah Al Habib, 4/181). 

Menggauli Budak Milik Orang Lain adalah Zina

Tentu, syarat bolehnya menggauli budak wanita, adalah kepemilkan penuh atas budak itu. Barangsiapa menggauli budak orang lain, baik ia memperolah izin dari pemilik budak atau tidak, maka perbuatan itu termasuk zina. Karena budak wanita hanya boleh digauli oleh pemiliknya. Demikian pula diharamkan untuk menggauli budak wanita, jika pemilik budak lebih dari satu orang, karena kepemilikannya terhadap budak tidak sempurna. (Al Bayan fi Madzhab Asy Syafi’i, 12/364) 

Budak Laki-Laki Dilarang Menggauli Majikan Perempuannya

Jika majikan laki-laki diperbolehkan menggauli budak perempuannya, maka hal ini tidak berlaku kepada majikan perempuan, dimana ia tidak boleh melakukan hubungan badan dengan budaknya laki-laki, karena ayat-ayat yang membolehkan untuk mempergauli budak berlaku kepada laki-laki saja terhadap budak-budak perempuan mereka. Dan hal ini termasuk kesepakatan ulama.  (Tafsir Al Qurthubi, 12/105). 

Dilarang Menggauli Budak Wanita Musyrik

Sebagaimana seorang Muslim dilarang menikahi wanita musyrik selain Ahlul Kitab, majikan dilarang untuk menggauli budak wanitanya yang musyrik selain dari kalangan Ahlul Kitab.

Jumhur berpendapat demikian dengan berdalil dengan firman Allah Ta’ala, yang artinya: “Janganlah kalian menikahi wanita-wanita musyrik, sampai mereka beriman. (Al Baqarah [2]: 221) (Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab, 16/ 234). 

Dilarang Menggauli Budak Wanita Bersama Saudarinya

Sebagaimana dalam pernikahan, seorang Muslim dilarang menikahi seorang wanita bersama saudarinya, demikian pula, seorang tuan tidak boleh menggauli budak wanita bersama saudarinya. Ketika seorang tuan memiliki budak perempuan lebih dari satu dan diantara mereka ada yang bersaudara, maka tuan budak itu hanya boleh menggauli satu dari budak-budak yang bersaudara itu. Jika ia menggauli saudarinya yang lain, maka ia telah bermaksiat.

Bagi jumhur ulama, larangan untuk menyatukan dua saudara atau lebih berlaku, baik dalam pernikahan maupun dalam menggauli milkul yamin. (Al Hawi Al Kabir, 9/202) 

Dampak setelah Tuan Menggauli Budak Wanitanya

Setelah tuan menggauli budak wanitanya, maka diharamkan atas tuannya ibu dan anak-anak perempuan budak itu selamanya. Demikian juga budak itu haram bagi anak-anaknya serta ayah sang tuan. Demikian pula haram bagi tuan saudari-saudari budak yang digaulinya, bibinya, anak perempuan saudarinya juga anak perempuan saudaranya, sebagaimana dalam pernihakan. (Syarh Al-Minhaj dan Hasyiyah Al Qalyubi, 3/243). 

Wajib Menafkahi Secara Layak

Bagi tuan, ia wajib menafkahi budak-budak wanitanya, baik berkenaan dengan makanan maupun berpakaianan. Lebih-lebih budak wanita yang dipilih untuk digauli tuannya, disunnahkan agar tuannya memberikan pakaian lebih bagus daripada budak-budak lainnya. (Al Bayan fi Madzhab Asy Syafi’i, 11/270).

Bahkan, bagi Madzhab Al Hanafi, budak perempuan yang dipilih oleh tuannya untuk digauli, yang disebut sebagai surriyyah, ditempatkan di rumah khusus baginya. (Fath Al Qadir, 4/440, 441). 

Iddah Budak (Istibra’)

Sebagaimana wanita merdeka menjalani masa iddah, budak wanita pun menjalani masa iddah, yang disebut sengan istibra’. Istibra’ disyariatkan karena pergantian status, dari asalnya merdeka kemudian manjadi budak atau sebaliknya, juga perpindahan kepemilikan seorang budak.

Sedangkan masa iddah budak hamil, hingga melahirkan. Sedangkan yangtidak hamil dengan satu haidh jika ia mengaluarkan darah haidh atau dengan waktu satu bulan jika tidak berhaidh. Sebagian ulama berpendapat bahwa istibra` budak sama dengan iddah wanita merdeka.

Adapun hikmah yang nampak, dari waktu istibra’ lebih pendek dari iddah wanita merdeka, bahwasannya ada waktu yang panjang bagi suami istri untuk menimbang-nimbang dalam meneruskan kembali kehidupan rumah tangga setelah jatuhnya talak.

Dalam rentang waktu iddah, kemarahan mulai reda, sedangkan wanita budak tidak membutuhkan itu semua.  (Syarh Yaqut An Nafis, hal. 657, 658). 

Umm Al Walad Pintu Kebebasan

Jika seorang budak wanita digauli oleh tuannya, dan ia melahirkan anak tuannya, maka budak itu disebut sebagai umm walad, dimana anak-anak yang lahir dari hubungannya dengan tuannya adalah anak-anak yang merdeka.

Sedangkan jika ia memiliki anak dari selain tuannya, maka status anaknya mengikuti status ibunya, yakni memperoleh kemerdekaan setelah tuannya wafat. (Al Bayan fi Madzhab Asy Syafi’i, 8/524). 

Bolehnya Menggauli Budak Wanita Berlaku Hingga Kini?

Bolehnya menggauli budak wanita bagi tuanya berlaku ketika praktik perbudakan berlaku di masa-masa terdahulu.

Adapun saat ini hukum bolehnya menggauli perbudakan tidak berlaku karena tidak adanya obyek hukum, dikarenakan dihapusnya perbudakan dan Islam sendiri mendorong penghapusan perbudakan, baik melalui perintah motivasi untuk membebaskan budak maupun melalui kafarat.

Dan untuk saat ini siapa saja yang melakukan hubungan badan dengan lawan jenisnya tanpa ikatan pernikahan yang sah maka hal itu termasuk zina. Wallahu A’lam Bish Shawab.* 

Penulis mahasiwa S2 jurusan usul fikih di Mesir

No comments: