“Innaa lillaahi…” Saat Diberi Jabatan

“Ada empat golongan yang paling Allah benci. Peniaga yang banyak bersumpah, orang fakir yang sombong, orang tua yang berzina, dan seorang pemimpin (penguasa) yang zalim.”
“Innaa lillaahi…” Saat Diberi Jabatan
oknews

MENJADI seorang manusia saja dalam Islam sudah memanggul amanah kepemimpinan, terlebih kala seseorang dipercaya untuk memimpin banyak orang. Sehingga, maslahah dan mafsadah yang hadir dalam kehidupan sangat ditentukan oleh pikiran, sikap, dan keberpihakannya terhadap kebenaran dan kesejahteraan rakyat.

Oleh karena itu, dalam Islam amanah kepemimpinan bukan hal yang harus dicita-citakan, apalagi diperoleh dengan segala cara. Hal itu bisa kita lihat di antaranya dalam sejarah pemimpin besar umat Islam, Umar bin Abdul Aziz.

Saat itu Umar bin Abdul Aziz diangkat menjadi Khalifah pada dinasti Bani Umayyah tepat pada hari Jumat, 10 Shafar 99 Hijriyah.

Pemimpin besar itu menangis terisak-isak. Ia memasukkan kepalanya ke dalam dua lututnya dan menangis sesegukan seraya berkata, “Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raji’uun.”

Kemudian ia berujar, “Demi Allah, sungguh aku tidak meminta urusan ini sedikitpun, baik dengan sembunyi-sembunyi maupun dengan terang-terangan.”

Tangisan itu mungkin aneh bagi kebanyakan orang era sekarang. Tetapi itu adalah fakta sejarah dan tentu saja didasari oleh sebuah alasan yang jelas.

Sangat mungkin, Umar bin Abdul Aziz menangis karena khawatir akan keadaan dirinya kelak di hari akhir. Sebab, amanah yang diembannya amat berat dan tidak main-main.

Rasulullah ﷺ bersabda, “Tidaklah ada seseorang hamba yang Allah beri kepercayaan untuk memimpin, kemudian pada saat matinya dia berada dalam (keadaan) melakukan penipuan terhadap rakyatnya kecuali akan diharamkan atasnya untuk masuk surga.” (HR Bukhari dan Muslim).

Saat ini, betapa banyak pemimpin yang lupa akan hal ini, sehingga ringan baginya mengorbankan kepentingan umum demi kepentingan diri dan kelompoknya. Sikap tersebut justru mendorong mereka untuk tidak lagi mendengar dan melihat dengan hati nurani. Semua didasarkan pada kalkulasi keuntungan pragmatis.

Dan, penting disadari, ketika seorang pemimpin mengabaikan amanah, maka ia termasuk dari golongan orang yang dibenci oleh Allah Ta’ala.

“Ada empat golongan yang paling Allah benci. Peniaga yang banyak bersumpah, orang fakir yang sombong, orang tua yang berzina, dan seorang pemimpin (penguasa) yang zalim.” (HR An-Nasai).

Komitmen Pada Kebenaran

Tugas pemimpin yang teramat berat adalah komitmen pada kebenaran. Maka, seorang pemimpin memang harus berani berikrar di depan publik bahwa diirnya siap mendengar, bahkan diingatkan untuk tetap lurus di dalam kebenaran.

Hal itulah yang dilakukan oleh Abu Bakar Radhiyallahu ‘Anhu kala menyampaikan pidato pertamanya tidak lama setelah dilantik menjadi pemimpin umat. Ia tak menyatakan rasa syukur, apalagi terlihat gembira atau mengadakan pesta.

“Saudara-saudara, aku telah diangkat menjadi pemimpin bukanlah karena aku yang terbaik di antara kalian semuanya, untuk itu jika aku berbuat baik bantulah aku, dan jika aku berbuat salah luruskanlah aku.

Sifat jujur itu adalah amanah, sedangkan kebohongan itu adalah pengkhianatan. ‘Orang lemah’ di antara kalian aku pandang kuat posisinya di sisiku dan aku akan melindungi hak-haknya.

‘Orang kuat’ di antara kalian aku pandang lemah posisinya di sisiku dan aku akan mengambil hak-hak mereka yang mereka peroleh dengan jalan yang jahat untuk aku kembalikan kepada yang berhak menerimanya.

Janganlah di antara kalian meninggalkan jihad, sebab kaum yang meninggalkan jihad akan ditimpakan kehinaan oleh Allah Subhanahu Wata’ala. Patuhlah kalian kepadaku selama aku mematuhi Allah dan Rasul-Nya.

Jika aku durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya maka tidak ada kewajiban bagi kalian untuk mematuhiku. Kini marilah kita menunaikan shalat semoga Allah Subhanahu Wata’ala melimpahkan Rahmat-Nya kepada kita semua.”

Komitmen Abu Bakar Radhiyallahu ‘Anhu sangat patut menjadi teladan bagi pemimpin manapun di dunia saat ini, terutama yang beragama Islam. Sikap tersebut akan memudahkan sosok pemimpin itu peka, tajam pendengaran dan penglihatannya, sehingga bukan lagi soal dirinya yang dipikir, tetapi kesejahteraan dan kemajuan rakyat.

Di dalam Al-Qur’an kita akan menemukan sikap pemimpin yang amat luar biasa, yakni Nabi Sulaiman Alayhissalam. Jangankan manusia, suara semut, alasan burung pun beliau dengar dan ditindaklanjuti dengan penuh kesungguhan.

Oleh karena itu, wahai para pemimpin, kedepankanlah kesadaran dan kemauan untuk mendengar. Sebab di dalam upaya mau mendengarkan aspirasi rakyat, tidak saja pemimpin itu akan dihormati, tetapi juga dapat meningkatkan kinerja organisasi atau pemerintahan.

JIka tidak, maka kekacauan akan terjadi, cepat atau lambat. Dan, secara prinsip, tidak ada yang bisa pergi ke tingkat tertinggi dan membawa kemajuan bangsa dan negara atau pun organisasi jika para pemimpinnya lebih memilih menjadi buta dan tuli terhadap kebenaran. Allahu a’lam.*

Imam Nawawi | Aktivis Pemuda

No comments: