Gelandangan Revolusioner

Kisah para gelandangan Yogyakarta mempertahankan Republik. Menjadi informan tentara dan laskar melawan Belanda.
*
Hukum di Indonesia melarang pergelandangan. Ini tersua dalam Wetboek van Strafrech (Wvs) atau Kitab Undang-Undang Hukum Pidana buatan kolonial pada 1915 dan Rancangan KUHP 2019. Hukuman untuk orang menggelandang adalah penjara tiga sampai enam bulan pada WvS dan denda sejuta rupiah pada RKUHP.
Apa salahnya menggelandang sampai dipukul rata jadi urusan pidana? Dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia, menggelandang pernah menjadi tindakan heroik untuk mempertahankan Republik. Ini terjadi di Yogyakarta semasa 1948—1949. Di sinilah pusat pemerintahan Republik Indonesia setelah Sekutu dan Belanda menguasai Jakarta pada 1947.

Tapi tak lama kemudian, Yogyakarta pun berada dalam kendali pasukan Belanda pada Desember 1948. Mereka menawan Sukarno dan Hatta. Kedaulatan Republik terancam. Diplomat Republik kemudian mengupayakan perundingan dengan Belanda, sembari coba menarik dukungan negara-negara lain agar menekan Belanda.
Jang A. Mutallib dan Sudjarwo dalam “Gelandangan dalam Kancah Revolusi”, seperti termuat di Gelandangan Pandangan Ilmuan Sosial, menyebut strategi diplomasi sebagai ujung tombak perjuangan agak ruwet dan perlu kemampuan akademis. Kebanyakan rakyat Yogyakarta tak banyak memahami prosesnya. Angka melek huruf masih rendah.
“Lebih dari 90 persen penduduk Yogyakarta masih buta huruf pada waktu itu,” kata Selo Soemardjan dalam Perubahan Sosial di Yogyakarta. Proses diplomasi mencegah mereka turut berjuang. Padahal rakyat ingin memberikan sesuatu agar Republik tetap tegak.
Cara lain untuk memperjuangan tegaknya Republik muncul dari para laskar dan tentara. “Mengadakan perang total dengan taktik gerilya,” ungkap Mutallib dan Sudjarwo. Cara ini mengandalkan tenaga dan hanya butuh sedikit pemikiran. “Dalam keadaan seperti ini, rakyat Republik yang berstatus sebagai pengungsi atau gelandangan cenderung bergabung dengan pola pemikiran kedua,” lanjut Mutallib dan Sudjarwo.
Saat Belanda menduduki Yogyakarta, banyak pengungsi dari kota lain masuk Yogyakarta. Mereka masuk Yogyakarta lantaran Belanda menyerang kota-kota di sekitar Yogyakarta sebelum berhasil menduduki Yogyakarta. Di Yogyakarta, mereka tak punya rumah dan tempat tinggal tetap. Luntang-lantung dalam situasi perang.
Ilustrasi
Masa itu pengungsi di Yogyakarta terbagi empat kelompok: wong emis, kere, wong kramatan, dan kere tuntang. Wong emis bekerja sebagai peminta-minta. Kere bekerja serabutan dan tinggal di sembarang tempat. Wong kramatan punya pekerjaan tetap seperti mencuri dan mencopet. Tinggalnya di permakaman. Terakhir kere tuntang, gelandangan pemalas dari Tuntang Ambarawa, Jawa Tengah.
Empat macam gelandangan ini tersebar di berapa titik kota. Masing-masing punya wilayah jelajah sendiri. Wong emis banyak beredar di stasiun dan masuk jalanan kampung. Wong kramatan biasa mencopet dan mencuri di keramaian seperti Pasar Kranggan, Pasar Gede, Stasiun Tugu, dan Lempuyangan.


Dari penjelajahan di penjuru tempat itu, para gelandangan hapal sudut-sudutnya. Termasuk jalan keluar untuk melarikan diri usai mencuri atau mencopet. Ini berguna bagi tentara dan laskar untuk melawan Belanda dalam perang gerilya kota. Para gelandanganlah informan terbaik pejuang Republik.
Ada satu jenis gelandangan lagi. Mereka penduduk Yogyakarta dan cukup berpendidikan. Tadinya mereka punya sejumlah harta, hidup nyaman, dan berkeluarga. Mereka mendadak miskin oleh sebab pendudukan Belanda. Segala yang mereka miliki telah ludes: harta, keamanan, dan keluarga.
“Bagi mereka yang merasa dimiskinkan, mereka akan menerima cara hidup menggelandang sambil ikut bergerilya sebagai cara untuk mendapatkan kembali haknya,” tulis Muttalib dan Sudjarwo.
Lewat bekal pendidikan sekolah dan organisasi buruh, gelandangan berpendidikan ini menghimpun diri dan gelandangan lainnya dalam kelompok-kelompok kecil. Namanya unik-unik: Laskar Kere, Laskar Pengemis, Laskar Macan, dan Laskar Grayak. Anggotanya tak cuma gelandangan, tapi juga perempuan pekerja seks.

Sebenarnya usaha mempersatukan gelandangan Yogyakarta bermula pada 1946. Daripada menghukum wong emis sebagai pelanggar pidana, pemerintah Yogyakarta mengumpulkan mereka dalam sebuah organisasi berinisial P alias pengemis. Mereka memperoleh pelatihan baris-berbaris, bernyanyi, dan main tonil (sandiwara keliling).
Lucunya pelatihan itu justru menarik segelintir orang berpunya untuk bergabung. “Orang tergila-gila akan mode menjadi pengemis. Banyak gadis-gadis yang mengajukan namanya untuk dicatat menjadi anggota barisan P,” tulis Revolusioner, 19 Januari 1946. Tapi lebih banyak orang julid dengan organisasi ini sehingga geraknya berhenti.
Semua kelompok gelandangan pada 1948 memiliki pemimpin. Harto mengetuai Laskar Kere. Dia seorang lulusan MULO, setingkat SMP. Laskar Macan dipimpin oleh Amat, bekas pemilik warung sate. Anak buahnya terdiri dari copet, maling, dan gelandangan. Amat menjalin hubungan karib dengan anggota TNI dan laskar kampung.
Kerja kelompok gelandangan berpendidikan itu antara lain menggondol harta rumah-rumah kosong. “Ini dilakukan untuk membiayai usaha mereka bergerilya,” tambah Mutallib dan Sudjarwo.
Sebagian besar sasaran gelandangan berpendidikan adalah rumah kepunyaan orang-orang Tionghoa di wilayah Gondomanan dan Malioboro. “Dengan pertimbangan karena orang Cina hanya mementingkan modalnya, dan tidak memikirkan perjuangan,” catat Mutallib dan Sudjarwo. Sasaran lainnya rumah orang kaya medit sewaktu masa damai.
Kelompok gelandangan ikut membantu TNI dan laskar menyerang pasukan Belanda di kota. Mereka mengarahkan TNI dan laskar ke titik-titik tertentu. Tujuannya mengurung pasukan Belanda. Serangan mereka begitu mendadak dan mengagetkan pasukan Belanda.
Kelompok gelandangan bersama TNI dan laskar muncul dari beragam titik secara bergantian, dari utara, selatan, barat, dan timur kota. Pelarian mereka sungguh lekas tersebab hafal betul dengan seluk-beluk kota. Mereka bisa kabur melewati permakaman, masuk ke gorong-gorong, dan tiba-tiba keluar dari gorong-gorong lainnya.
Pasukan Belanda kerepotan menghadapi teknik kelompok gelandangan. Mereka akhirnya mengelas pagar-pagar permakaman, menutup gorong-gorong, dan mengepung permakaman. Cara ini cukup berhasil menewaskan sejumlah anggota kelompok gelandangan.
Tapi kelompok gelandangan lain segera membalasnnya. Laskar Grayak di utara kota menggunakan perempuan pekerja seks anggotanya untuk memancing serdadu Belanda masuk perangkap. “Jika pancingan ini dimakan segera saja mereka dibunuh dan senjatanya dirampas lengkap dengan harta yang melekat padanya,” tulis Mutallib dan Sudjarwo.
Gangguan dari kelompok gelandangan Yogyakarta berlangsung siang malam. Dari Desember 1948 hingga Juni 1949. Tujuannya merebut amunisi dari pasukan Belanda atau membuat mereka lelah, takut, dan frustrasi. Belanda menyebut gangguan semacam ini sebagai gangguan “esktremis” atau “anjing Sukarno”.
Belanda hengkang dari Yogyakarta pada Juni 1949, setelah kesepakatan Roem-Roijen. Sebagian gelandangan beroleh kehidupannya kembali seperti sebelumnya. Punya tempat tinggal tetap dan sedikit harta. Lainnya tetap menggelandang. Yang jelas, mereka telah berperan menjaga tegaknya Republik.(end

No comments: