Salim, Hatta, Duterte, Mobil Menteri: ‘Leiden Is Lijden’

Pagi ini ada yang membuat kaget ketika membaca laman media sosialnya, wartawan senior Tjahja Gunawan. Entah mengapa dia mulai gerah padahal biasanya setiap kali menulis nadanya selalu biasa dan datar saja. Tidak ada rasa menggebu, apalagi marah. Tapi kali ini menulis dengan nada pahit bin satire.
Dia menulis begini: Presiden Filipina Rodrigo Duterte berencana untuk mengganti sedan mewah dengan mobil harga terjangkau untuk digunakan menteri-menterinya. Kendaraan yang dipilih untuk para menteri di bawah kepemimpinannya, yaitu MPVAvanza yang diproduksi di Indonesia dan diekspor ke Filipina oleh PT Astra Daihatsu Motor.
Duterte diketahui sebagai Presiden Filipina terpilih pada 2016 sempat mengumumkan bila pemerintahannya bakal menghemat anggaran belanja negara, salah satunya meliputi pengadaan mobil para menteri.
Sementara itu pengadaan mobil-mobil baru untuk para menteri di bawah era Presiden Joko Widodo menghabiskan dana senilai Rp 147,229 miliar yang dipangkas dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2019. Pada laman lain harga mobil menteri dan pejabat setingkat menteri periode 2019-2024 dipekirakan mencapai Rp 1,3 milyar. Mobil yang dipakainya ini adalahToyota Crown 2,5 HV G-Executive.
Adanya tulisan Tahja maka saya pun lansung melakukan verivikasi di laman situs berita yang lain. Ternyata apa yang dkeluhkan Thahja benar adanya. Berbeda dengan Indonesia, para menteri di Filipina oleh Presiden Duterte malah diharuskan memakai mobil rakyat buatan Indonesia. Mobil mewah mereka tak dapat jatah lagi. Bahkan Duterte menyatakan akan memotong jatah perjalanan dinas menterinya, misalnya tak lagi bisa naik pesawat kelas bisnis.
Melihat keluhan Tahja, lagi-lagi ingatan kemudian berputar pada sosok para pendiri bangsa. Mereka dahulu benar-benar hidup sederhana. Seusai rapat penting, atau pun rapat di parlemen, kita terbiasa membaca kisah betapa mereka pulang pergi naik sepeda. Atau, betapa sederhana baju yang mereka miliki yang kadang ditambal dan ditisik. Mereka tak adanya bedanya dengan orang awam yang juga sederhana.
Kisah yang sangat legendaris adalah kisah mengenai sosok ’The Old Grand Man’, H Agus Salim. Di sini ada kisah menarik yang ditulis langsung oleh MR Moh Roem yang juga koleganya. Tulisannya di muat di Majalah sosial ekonomi terkemuka ‘Prisma’ menjelang paruh akhir 1970-an.
photo
Keterangan Foto: Bung Karno dan H Agus Salim berjalan pagi di Brastagi, Sumatra Utara pada tahun 1948. Lihat penampilan dan gaya kedua bapak bangsa ini yang sederhana namun elegan.
Kisah yang ditulis langsung oleh Moh Roem sangat menarik. Apalagi Roem sendiri bukan tokoh atau pemimpin bangsa ‘kacangan’. Dia dalah seorang diplomat dan salah satu pemimpin Indonesia di perang kemerdekaan Indonesia. Selama Soekarno presiden, ia menjabat sebagai Wakil Perdana Menteri, Menteri Luar Negeri, dan kemudian Mendagri. Dia paling terkenal untuk mengambil bagian dalam Perjanjian Roem-Roijen.
Mr Roem yang asli Temanggung dan kakeknya mendiang ’Mas Adi Sasono’ di malajah Prismea itu menulis begini:


Suatu hari di tahun 1925, Kasman dan Soeparno mengajak saya ke rumah Haji Agus Salim di Gang Tanah Tinggi, Jakarta. Kasman dan Soeparno adalah pelajar Stovia kelas dua bagian persiapan. Saya pelajar kelas satu.
Pada permulaan tahun itu, Samsuridjal mendirikan Jong Islamieten Bond, dan Haji Agus Salim menjadi penasihatnya. Kasman dan Soeparno, anggota pengurus cabang Jakarta, ingin tahu kapan Haji Agus Salim mulai memberikan kursus agama Islam.
Ajakan ini saya sambut gembira. Saya sudah sering mendengar nama Haji Agus Salim. Saya dengar dia adalah seorang pemimpin rakyat, pemimpin Sarekat Islam, terkenal pandai tentang agama Islam dan mahir menggunakan berbagai bahasa.
Dari Asrama Stovia di Gang Kwini ke Tanah Tinggi ditempuh selama 10 menit naik sepeda. Jalan yang diaspal hanya sampai stasiun Senen, seterusnya jalan tanah biasa dan berlubang-lubang. Lewat jalan ini dengan sepeda, bagaikan naik perahu di atas air yang berombak.

Haji Agus Salim kami jumpai duduk di serambi dan menyambut kami dengan ramah. Sikapnya sangat menarik. Sesudah bersalaman, ia mulai bicara, yang ditujukan kepada Kasman, ’’Hari ini anda datang secara biasa. Kemarin peranan sepeda dan manusia terbalik.”
Saya tahu, kemarin Kasman datang sendiri. Dan dia yang melihat saya serta Soeparno tidak mengerti apa yang dibicarakan, lantas menjelaskan. ’’Kemarin saya datang, dan ditunggangi sepeda, bukan saya yang menunggangi sepeda.” Kemarin dia di tengah jalan dikejar hujan, dan mengalami nasib seperti yang diceritakan Haji Agus Salim. Tanah liat yang setengah basah melekat pada roda sepedanya, dan tak dapat berputar sama sekali.
Kasman menyambung, ”Dan kemarin saya katakan, ’Jalan pemimpin bukan jalan yang mudah. Memimpin adalah jalan yang menderita’. ”
Ucapan Kasman tidak mempunyai arti sastra kalau dikatakan dalam bahasa Belanda. Dalam bahasa Belanda ada dua kata yang berbunyi sama, tapi ditulis berbeda: leiden (memimpin) dan lijden (menderita). Waktu itu Kasman berkata, “Een leidersweg is een lij- densweg. Leiden is lijden. ”
Waktu itu Kasman sudah menunjukkan bakat pemimpin. Dia mengucapkan kalimat itu dengan suara yang agak lain, dengan tekanan lebih tegas. Dan di kemudian hari terbukti, bahwa apa yang dikatakan Kasman itu merupakan ramalan tentang dirinya. 

Empat kali dia dijebloskan ke penjara oleh yang berkuasa. Sekali di zaman Belanda, tiga kali di bawah rezim Sukarno. Dua kali dia dibebaskan pengadilan, dan dua kali dihukum. Soalnya bukan karena kejahatan, tetapi karena yang apa dia katakan. Kasman memang seorang yang senang dan pandai bicara. Scorenya masih lumayan, 2 lawan 2.Penderitaan yang dialami seorang pemimpin adalah masuk penjara. Tetapi tidak berarti pemimpin tidak hidup bahagia. Bahagia dalam keluarga. Bahagia hidup bercita-cita.



Setelah 1915, kehidupan Salim jauh dari keadaan nyaman: kurang uang belanja untuk hidup, pindah dari satu kontrakan ke kontrakan lain. Hal ini biasa bagi dia dan keluarganya. 

“la pernah tinggal di rumah kontrakan di Tanah Tinggi yang jalannya berlumpur di musim hujan, atau menumpang di rumah seorang kawannya,” tulis Amrin Imran dalam Perintis Kemerdekaan: Perjuangan dan Pengorbanannya (1991).
Padahal Sarekat Islam yang dipimpinnya termasuk partai besar di zaman kolonial. 

Sebagai orang cerdas, Salim tahu bagaimana menikmati hidup. Termasuk bagaimana tinggal di hunian yang jelek dan bocor ketika hujan. Saat hujan, Salim bersama anak-anaknya menampung air hujan dalam baskom yang kemudian digunakan untuk main kapal-kapalan. Begitulah caranya menghibur sekaligus mendidik anak-anaknya dalam kesederhanaan. 


Mohamad Roem dan Kasman Singodimedjo muda pernah mengunjungi bedeng kontrakan Salim sekitar 1920-1930-an. Pengalaman itu diceritakan Roem dalam tulisan di Prisma No 8, Agustus 1977 tersebut, Tulisan Roem diberi judul, “Haji Agus Salim, Memimpin adalah Menderita.” 


Bagi mereka, Salim adalah contoh pemimpin yang berani susah. Kasman, seperti diingat Roem, mengambil kesimpulan: “Jalan pemimpin bukan jalan yang mudah. Memimpin adalah jalan yang menderita. Seperti bunyi pepatah kuno Belanda: leiden is lijden—memimpin adalah menderita.” 



Setelah Indonesia merdeka, Salim masih jadi pemimpin berpengaruh. Ia pernah tergabung dalam kabinet Sjahrir sebagai Menteri Muda Luar Negeri atas pengalamannya bekerja pada Konsulat Belanda di Jeddah. 

Menurut Roem, Salim “sangat berjasa” dalam penggalangan dukungan negara-negara Arab terhadap kemerdekaan Indonesia. Kesamaan Indonesia dengan bangsa-bangsa Arab itu di antaranya memiliki penduduk beragama Islam, selain sama-sama sebagai bangsa timur yang harus saling bantu untuk bebas dari negara-negara barat setelah Perang Dunia II.
Teringat apa yang ditulis Tjahja Gunawan soal mobil ‘kelas Avanza’ menteri di Filipina dan apa yang dikisahkan Mr Moh Roem, maka memang wajar bila publik bertanya mengenai sikap pemerintah soal mobil dinas menteri yang baru nanti. Apa tidak ‘malu’ bahkan tersinggung dengan contoh perilaku pada pemimpin dan pendiri bangsa tercinta ini.
Ingat, selain Salim ada juga tentang teladan yang lain. Ini misalnya kisah Bung Hatta meski jadi wapres tapi harus menabung untuk membeli sepatu merek Bally. Atau juga dengan kepergian hajinya di awal tahun 1950-an dengan memakai uang sendiri. Padahal saat itu Presiden Soekarno telah menyediakan fasilitas negara dengan naik pesawat terbang. Atau juga, sikap Ketua Umum Partai Masyumi, Prawoto, yang harus menisik bajunya yang robek untuk dipakai pergi menghadap Presiden Soekarno di Istana Negara. Semua serba sederhana dan merakyat!
Jelas, publik berhak bertanya seperti berita yang ditulis Republika.co.id, Sabtu lalu (24/8), soal rencana pembelian mobil menteri yang mewah tersebut.  Kala itu Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo menyatakan tak mempermasalahkan pembelian mobil dinas baru menteri. Menurutnya, pembelian itu wajar saja karena sudah melewati prosedur yang berlaku.

Tjahjo merasa heran soal pembelian mobdin baru yang kini dipersoalkan. Padahal prosedur pembelian lewat tender terbuka sudah dilakukan.
“Yang penting semua prosedur sudah dilalui sesuai mekanisme yang ada baik tender secara terbuka dan penganggaran terbuka disetujui DPR,” kata Tjahjo pada wartawan.
Tjahjo menyebut mobil dinas jabatannya saat ini sudah digunakan sejak 2009. Menurutnya, sepanjang 10 tahun pemakaian itu, mobil sering mogok hingga dirinya mesti pindah ke mobil pengawal.
“Mobil dinas Crown yang saya pakai masih bisa jalan dan dipakai walau saya sering turun di jalan pindah ke mobil patwal karena mendadak mogok di jalan dan beaya perbaikan cukup mahal,” ujarnya.
Selama ini, biaya perbaikan mobil yang digunakannya ditanggung pada Kemendagri. Tjahjo menekankan selama ini mobil dinasnya hanya digunakan demi kepentingan pekerjaan. Ia merasa penggantian mobil dinas kini tepat dilakukan.

”Lima tahun lalu berita perlu tidak ganti mobil dinas sudah muncul dan Presiden Jokowi memutuskan mobil dinas pejabat negara tidak ganti karena masih layak dipakai,” ucapnya.
Nah, atas soal ini rakyat pun berhak bertanya mengapa di Filipina bisa memakai mobil sederhana ‘Avanza’ yang harganya sekitar Rp 200 juta, dari pada memilih memakai mobil mewah yang harganya lebih dari Rp 1,3 Milyar itu?


Melihat ini semua lamunan saya terbayang pada sosok wajah H Agus Salim, Kasman, dan Moh Roem yang terkesan melengos meski sembari tersenyum.

Apa ini mati ketawa cara Indonesia model baru? Atau mungkin karena terus tersanjung lagu ‘Kolam Susu’-nya Koes Plus di mana Indonesia makmur dan subur layaknya kepengin surga yang jatuh ke bumi. Padahal semenjak tahun 1990-an, Presiden Penyair Indonesia Sutardji Calzoum Bachri sudah menulis puisi bila negeri ini ‘Tanah Air, Air Mata’.
Ataukah kini sedang ada suasana minum massal paracetamol banyak-banyak. Tujuannya apa? Ya tujuannya melupakan pusing dan kesulitan hidup. Rakyat Indonesia sadar sekali Duterte itu Presiden Filipina, jadi tak mungkin bisa mengimpornya kayak rektor asing itu. Isu mobil baru menteri kini pun makin relevan ketika Ahad pagi ada seseorang paman di Tangerang menggendong jenazah kemenekannya karena tak bisa mendapat gunakan mobil ambulans.
Dengan demikian soal ‘mobil negara’ ternyata tak main-main. Ini karena bisa menjadi cermin keteladanan pemimpin Pancasialis sejati. Kini apakah sosok menteri yang sejatinya merupakan pelayanan rakyat yang sederhana benar hadir secara nyata dan tak hanya ada dalam komik? Entahlah.(end/rol)
Penulis: Muhammad Subarkah

No comments: