Melacak Jejak Syekh Arsyad Maddapungan, Paku Aswaja Mandar

Syekh Arsyad Mandar (tengah)
Syekh Arsyad Mandar (tengah)
Syekh Arsyad Maddapungan menyebarkan Aswaja di tanah Mandar.


Jum’at (2/8) kemarin, saya berkesempatan untuk menziarahi makam Syekh Arsyad Maddapungan di Campalagian, Sulawesi Barat, bersama Dr Muhammad Zain (Kapus LKKMO Kemenag RI), Dr Zainul Milal Bizawie (penulis dan sejarawan santri), Dr Asro’i, KH Abdul Waris Zain (cucu Syekh Arsyad Maddapungan), dan kawan-kawan komunitas pecinta “Turats Ulama Mandar.”


Syekh Arsyad Maddapungan (1886–1954, usia 68 tahun) terhitung sebagai sosok ulama besar yang memiliki peran sentral di kawasan tanah Mandar (Sulawesi Barat). Beliau yang dikenal dengan nama “Annangguru Maddapungan” dan “Puang Panrita”, disebut sebagai “Syekh Masyayikh Mandar” dan pernah menjabat sebagai qadhi Campalagian sepanjang tahun 1948-1954.  



Menariknya, sosok Syekh Arsyad Maddapungan ini terhubung dan terkoneksi dengan KH Abdul Wahab Hasbullah (1888–1971, usia 83 tahun) dalam sanad keilmuan dan jaringan intelektualnya. Keduanya pernah sama-sama bertemu di Makkah dan belajar di satu majelis pengajian yang diampu Syekh Sa’id al-Yamani (ulama besar madzhab Syafi’i dan imam Masjid al-Haram, w 1935) pada periode awal abad ke-20 M.   


Saya memperkirakan jika di Makkah Syekh Arsyad Maddapungan juga belajar kepada beberapa mahaguru ulama Nusantara yang mengajar di Masjid al-Haram pada periode dekade pertama abad ke-20 M, seperti Syekh Mahfuzh Tremas (w 1920), Syekh Ahmad Khatib Minangkabau (w  1916), Syekh Mukhtar Bogor (w  1930), Syekh Abdul Hamid Kudus (w  1917), Syekh Ahmad Nahrawi Banyumas (w 1927), dan lain-lain. 


KH Wahab Hasbullah pulang ke Jawa sekitar 1914, sementara Syekh Arsyad Maddapungan pulang ke Sulawesi pada sekitar 1913. Keduanya pulang dari Makkah pada waktu yang hampir bersamaan, seiring dengan meletusnya Perang Dunia I. 


photo


Rumah panggung Syekh Arsyad Mandar. Dok Istimewa





Setelah pulang ke tanah Mandar, Syekh Arsyad Maddapungan lalu menikah dengan putri Syekh Abdul Hamid, ulama besar dan qadhi Campalagian periode 1895-1948. Syekh Arsyad Maddapungan pun menetap di Campalagian dan mengasuh majelis keilmuan di masjid raya Campalagian yang ramai didatangi ratusan murid dari berbagai pelosok tanah Mandar.   


Menariknya, Syekh Arsyad Maddapungan melestarikan dan mewariskan tradisi pengajian kitab kuning sistem klasikal, yang di Jawa dikenal dengan istilah “bandongan” dan “sorogan”, lengkap dengan interpretasi interlinear menggunakan bahasa Mandar (di Jawa dikenal dengan istilah “maknani gandul”). Oleh masyarakat Mandar, tradisi pengajian kitab kuning ini disebut “manggaji kitta”.   


Kedekatan hubungan antara Syekh Arsyad Maddapungan dan KH Wahab Hasbullah ini juga kembali terlihat pada masa huru hara gerombolan Wahhabi yang menduduki Hijaz, termasuk kota suci Makkah pada Desember 1925. Pada masa itu, banyak ulama Makkah yang pergi eksil ke luar Hijaz untuk menyelamatkan diri, di antaranya adalah Syekh Sa’id Yamani dan anak-anaknya, yaitu Syekh Shalih Yamani, Syekh Hasan Yamani, dan Syekh Muhammad Ali Yamani. Mereka pergi mengungsi ke Nusantara.  


Syekh Sa’id Yamani dan anak-anaknya tercatat pernah singgah di Jawa Timur dan disambut Hadratus Syekh KH Hasyim Asy’ari, KH Wahab Hasbullah, KH Faqih Maskumambang, beserta ulama-ulama Aswaja tanah Jawa lainnya.


Hal ini sebagaimana terekam dalam pengantar taqrîzh (endorsement) yang diberikan Syekh Sa’id Yamani pada kitab “Adab al-‘Alim wa al-Muta’allim” karangan Hadratus Syekh KH Hasyim Asy’ari. Keluarga Syekh Sa’id Yamani dan rombongan ulama Makkah lainnya itu pun singgah selama beberapa masa lamanya di Jawa Timur dan berkeliling pesantren-pesantren asuhan ulama Aswaja Jawa Timur pada masa itu.


Rihlah pengungsian Syekh Sa’id Yamani dan keluarganya pun sampai ke Mandar. Di tanah Mandar, mereka singgah di Campalagian, khususnya di rumah Syekh Abdul Hamid (qadhi Campalagian masa itu), Syekh Arsyad Campalagian (murid langsung Syekh Sa’id Yamani dan juga menantu Syekh Abdul Hamid qadhi Campalagian yang sudah menjadi ulama terpandang di Mandar), juga Sayyid Hasan al-Mahdali (putrinya, Munawwarah, menikah dengan Syekh Hasan Yamani, anak Syekh Sa’id Yamani). Di masjid raya Campalagian, Syekh Sa’id Yamani pun sempat mengajar ilmu-ilmu keislaman selama beberapa masa lamanya.  


photo


Berziarah ke Makam Syekh Arsyad Mandar. Dok Istimewa

Dalam perjalanannya di kemudian hari, kawasan Campalagian ini tidak hanya menyandang julukan “kiblat ilmu pengetahuan Islam di tanah Mandar”, tetapi juga menjadi basis perkembangan organisasi Nahdlatul Ulama (NU) sekaligus jantung pertahanan tradisi dan ideologi Aswaja di kawasan itu. 


Kenyataan ini kian diperkuat dengan keberadaan Syekh Muhammad Thahir (Imam Lapeo, w 1952), seorang ulama sufi besar Tanah Mandar yang juga hidup satu zaman dengan Syekh Arsyad Maddapungan dan Hadratus Syekh KH Hasyim Asy’ari.  


Makam Syekh Arsyad Maddapungan berada di belakang rumahya yang tak jauh dari kawasan Masjid Raya Campalagian. Rumah kuno berarsitektur panggung khas Mandar tersebut kini dihuni oleh salah satu cucunya dari jalur putrinya, yaitu KH Abdul Waris Zain (saat ini berusia lebih dari 70 tahun). 


Salah satu putri dari Syekh Arsyad Maddapungan, yaitu Muhaebah, dinikahkan dengan muridnya, yaitu KH Muhammad Zain (w 1987), yang di kemudian hari menggantikan posisi Syekh Arsyad Maddapungan sebagai qadhi Campalagian (menjabat sepanjang tahun 1954-1987).


لهم الفاتحة


Polewali Mandar—Bogor, Zulhijjah 1440 Hijriyah/ Agustus 2018 Masehi


Direktur Islam Nusantara Center, Dr A Ginanjar Sya’ban, Lc, MA.&nbsp

No comments: