Anatomi Jaringan Bisnis Cina Lintas Negara (Bag.1)

Pada Konferensi Pengusaha Tionghoa Sedunia Sabtu 26 September 2015 lalu, taipan dan pemilik Lippo Group Mochtar Riady mengajak 3000 pengusaha Tionghoa yang tersebar di seluruh dunia, agar beramai-ramai investasi di Indonesia. Sepertinya, Riady sudah paham betul simpul-simpul jaringan bisnis trans-nasional etnis Cina mana saja yang siap dia gerakkan untuk kuasai bidang properti dan tambang-batubara di tanah air.
Meskipun terdiri dari aneka ragam identitas etnis yang berbeda-beda, namun untuk urusan bisnis, orang-orang Cina rantau itu ternyata cukup kompak dan solid. Bahkan seorang pakar masalah Cina Aihwa Ong, menggambarkan adanya rasa kebersamaan terhadap yang apa yang dia istilahkan sebagai “Identitas Transnasional.”

Agaknya, Mochtar Riady dan mitra-mitra strategisnya tahu betul bahwa rasa kebersamaan atas dasar identitas trans-nasional etnis Cina yang menembus batas-batas negara bahwa mereka sama-sama keturunan perantau yang berasal dari Cina, merupakan aset strategis yang bisa digalang untuk menanam investasi di Indonesia.
Lantas, bagaimana memetakan jaringan bisnis trans-nasional Cina rantau yang tersebar di pelbagai belahan dunia? Kalau menelisik jaringan bisnis Cina di Asia Timur dan Asia Tenggara, tim riset Global Future Institute setidaknya mencatat ada empat lingkar: lingkar pedesaan, lingkar perkotaan, lingkar regional, dan lingkar global.
Jadi kalau Mochtar Riady ini bermaksud mengajak para taipan rantau itu untuk membuka lahan-lahan baru di Indonesia, keempat jaringan tersebut nampaknya sudah berada di tangan jurangan Lippo Group dan salah seorang anggota tim sukses Presiden Jokowi tersebut. Betapa tidak. Keempat lingkar tersebut sudah sekian puluh tahun terjalin menjadi jaringan-jaringan bisnis yang ekstensif yang bisa diandalkan untuk dengan cepat memobilisasi dan mendistribusikan modal barang kebutuhan produksi dan konsumsi, maupun informasi.
Indonesia pun barang tentu juga termasuk dalam jaringan empat lingkar tersebut. Sekadar mengambil ilustrasi di Kalimantan Barat, jaringan bisnis etnis Cina lingkar pedesaan sudah dirintis sejak 1930-an, yang kemudian bisa kita anggap terus berlanjut pada pertengahan dekade 1960-an. Bahkan diyakini hingga kini.

Dalam jaringan lingkar pedesaan ini, para pedagang Cina telah mendirikan pos-pos dagang di pedalaman Kalimantan Barat untuk mengumpulkan produk hutan seperti rotan, resin, dan karet dari orang Dayak. Jaringan bisnis lingkar pedesaan ini terintegrasi dengan jaringan bisnis etnis Cina di lingkar perkotaan.
Mereka ini berhubungan dagang dengan diler dan importir etnis Cina yang berada di daerah perkotaan. Selain mengambil barang konsumsi, mereka juga menjual produk-produk hutan yang mereka kumpulkan dari orang-orang Dayak unuk diekspor ke Singapura.
Mata-rantai jaringan Cina di lingkar desa dengan para pedagang Cina di perkotaan semakin solid ketika para eksportir dan importir Cina yang tinggal di perkotaan, misalnya di Pontianak dan Singkawang, kemudian menjalin hubungan kredit dengan para pemodal Cina yang tinggal di Singapura.
Bukan itu saja. Selain menangani ekspor, para pedagang Cina dari lingkar perkotaan tersebut ternyata juga menyediakan berbagai komoditi yang bisa diperoleh dari importir-importir Cina di kota-kota pesisir yang lebih besar untuk dijual ke desa-desa di pelosok-pelosok pedalaman.
Dari gambaran selintas ini saja, sudah terlihat jelas adanya jaringan dagang lintas-nasional yang merentang dari pedalaman hutan di Kalimantan Barat ke kota-kota pantai di daerah tersebut sampai ke Singapura. Alhasil, dengan jaringan dagang yang membentang dari lingar pedesaan ke lingkar perkotaan dan ke lingkar regional ini, maka praktis para pedangan Cina telah menguasai perdagangan di pedalaman Kalimantan Barat. Dan dengan jaringan bisnis yang umurnya sudah puluhan tahun itu, tak bisa digantikan oleh orang-orang Dayak yang mungkin hanya mempunyai jaringan dagang di daerah-daerah pedesaan saja.


Cerita tentang kiprah jaringan pedagang Cina di Sumatera Selatan dalam menguasai perdagangan dan pemrosesan karet juga persis sama. Adanya mata-rantai yang solid antara lingkar pedesaan, perkotaan dan regional. Sampai 1920-an, para pedagang Melayu memainkan peran yang dominan sebagai pedagang perantara yang membawa karet dari desa-desa ke kota pelabuhan Palembang.
Namun ketika permintaan dan produksi karet meningkat dengan cepat dalam dasawarsa 1920-an, orang-orang Cina-lah yang kemudian memenangkan persaingan. Pada 1930-an, orang-orang etnis Cina sudah mendominasi perdagangan perantara, dan mereka mendirikan dua pabrik pengolahan karet terbesar di Palembang.
Yang pertama adalah Hok Tong, milik seorang etnis Cina yang tinggal di Singapura, dan yang satunya adalah Kiang Gwan, sebuah perusahaan dagang dari Kelompok Oei Tiong Ham, yang merupakan kelompok usaha etnis Cina terbesar di Asia Tenggara di era sebelum Perang Dunia II.


Kiang Gwan punya cabang di Bombay, Kalkuta, Karachi, Shanghai, Hongkok, Amoy Singapura, dan London. Dari sekelumit cerita ini, bisa disimpulkan bahwa kemenangan Cina dalam persaingan bisnis pribumi Sumatera Selatan berkat jaringan mereka yang rapi dan solid. Yang mana jaringan dagangnya merentang dari desa-desa sampai ke kota pelabuhan Palembang, Singapura, bahkan sampai ke India dan Cina.

Kiprah jaringan bisnis trans-nasional Cina ini semakin nampak jelas melalui modus operandi perdagangan beras di akhir abad-19 dan abadi ke-20. Yang menggambarkan juga adanya mata-rantai yang solid dari jalinan bisnis Cina di lingkar pedesaan dengan lingkar kota pelabuhan. Beras didatangkan ke Singapura dari Thailand, Burma dan Indo-China, dan kemudian diekspor kembali ke Semenanjung Malaya dan Hindia Belanda (Indonesia). Lalu sisanya dikirim ke Borneo.

Terkait jaringan Cina, perdagangan beras antara Thailand dan Singapura dilakukan melalui jaringan dagang regional dari etnis Teochiu. Mayoritas pedagang beras Thailand adalah etnis Cina Teochiu yang punya asosasi lokal dan regional. Sehingga pedagang beras Teochiu di Thailand berhubungan erat dengan pedagang beras di Singapura dan Hongkong, yang juga merupakan anggota asosiasi-asosiasi Teochiu, dan dengan demikian membentuk jaringan bisnis regional Teochiu.

Maka itu, ketika Mochtar Riady menyerukan kepada 3000 taipan rantau di seluruh dunia agar bersedia investasi di Indonesia, bisa dipastikan pola jaringan pebisnis Cina berbasis etnis inilah yang digalang oleh pemilik Lippo Group ini. Setidaknya, dengan menggalang jaringan bisnis regional Cina yang membentang dari Cina (Asia Timur) sampai ke Indonesia (Asia Tenggara). (Bersambung)

Penulis: Hendrajit, Direktur Eksekutif Global Future Institute (GFI)

No comments: