Penguasa dan Pasal Karet pada Era Demokrasi Terpimpin

'Apa kemudian para pejuang surut menghadapi pasal karet dan terali besi? Tidak. Di dalam penjara pun mereka masih bisa berdakwah dan bermanfaat bagi sekelilingnya.'
Penguasa dan Pasal Karet pada Era Demokrasi Terpimpin

'Apa kemudian para pejuang surut menghadapi pasal karet dan terali besi? Tidak. Di dalam penjara pun merSEJAK dulu, pasal karet sudah dipakai oleh penguasa. Istilah yang dipakai adalah “undang-undang karet” yang digunakan untuk membungkam rival atau lawan politiknya.

Pada Era Demokrasi Terpimpin, Yunan Nasution dkk (waktu itu bersama Mohamad Roem, Prawoto, Sutan Sjahrir, KH. Isa Anshari, Mochtar Lubis dll) dipenjara oleh rezim dengan kesalahan yang tak begitu jelas dari segi hukum.

Peristiwa ini diceritakan oleh Yunan Nasution dalam buku “Kenang-Kenangan di Belakang Terali Besi di Zaman Rezim Orla” (1967: 37). Pada tanggal 16 Januari 1962, pukul setengah empat menjelang fajar beliau dijemput aparat dan keumudian dijebloskan ke terali besi.

Awalnya beliau ditahan di markas CPM di Jalan Hayam Wuruk (Jakarta), kemudian dipindah ke Rumah Tahanan Militer (RTM) di Cimanggis, lalu LP Madiun (22 Desember 1962), dan dipindah lagi ke Jakarta (Oktober 1965). Beliau baru bebas pada 15 Februari 1966. Begitulah singkatnya, beliau dipenjara selama empat tahun lebih.

Kembali ke soal undang-undang karet. Setelah masa penahanan usai, dan tidak ada bukti kuat, seharusnya Yunan dibebaskan. Namun, untuk menjerat beliau dan kawan-kawan yang waktu itu dianggap oposisi dan kontra Demokrasi Terpimpin, maka dipakailah pasal 32 PPUUKB disertai pasal 43 yang berbunyi, “Penguasa Perang berhak dengan surat keputusan menundjuk bagi orang terhadap siapa terdapat petundjuk2 bahwa ia akan mengganggu keamanan, suatu tempat tertentu sebagai tempat berdiam untuk sementara dan membawanja ke situ.”

Di situ sudah tidak lagi memakai kata “ditahan” tetapi ditunjuk tempat tertentu sebagai “tempat berdiam”. Terkait hal ini Yunan mencatat, “Alasan atau motif jang dipakai bahwa ‘terdapat petundjuk2 bahwa seseorang akan mengganggu keamanan umum’ adalah suatu sendjata sematjam undang-undang karet, jang dapat diulur-ulur, dapat diperpandjang atau diperpendek, menurut pertimbangan jang berwenang.” (1967: 37)

Di sini kita bisa melihat betapa penguasa ketika sudah menjadi tiran, akan melakukan sapa saja untuk menundukkan lawan-lawannya. Walaupun sebenarnya dirinya tahu bahwa kasus yang dituduhkan adalah mengada-ngada.

Lalu, apa kemudian para pejuang surut menghadapi pasal karet dan terali besi? Tidak. Di dalam penjara pun mereka masih bisa berdakwah dan bermanfaat bagi sekelilingnya.

Para tahanan politik waktu itu mengisi kekosongan waktunya salah satunya dengan membaca buku dan menulis.

M. Yunan Nasution misalnya, selama ditahan di Madiun telah menyelesaikan lima naskah tulisan. Satu di antaranya sudah terbit dengan judul “Dinamika Hidup” yang diterbitkan oleh Bulan Bintang Jakarta.

Lebih detailnya bisa dibaca pada penjelasan beliau berikut ini, “Adapun kesibukan-kesibukan jang boleh dikatakan sudah mendjadi hobby dan kebiasaan buat kami sedjak dari kehidupan diluar ialah membatja buku2. Sebagian besar waktu dalam tahanan kami pergunakan untuk membatja buku2 jang berfaedah. Tiap2 bulan, ketika keluarga datang bezoek, mereka membawa buku2 pada bibliotik masing2. Antara sesama kami dapat pula diadakan tukar-menukar buku untuk dibatja, berpindah dari satu tangan kelain tangan, sehingga mengenai buku2 batjaan itu boleh dikatakan tidak pernah putus atau kekurangan.”

“Sebagian diantara kami,” lanjut Yunan Nasution, “ada pula jang mempunjai kegemaran atau kebiasaan menulis (mengarang). Ini termasuk djuga salah satu kesibukan jang mendatangkan faedah.”

Waktu bagi mereka sedemikian berharga, sehingga jangan sampai terbuang percuma walaupun dalam penjara.

Dalam sejarah teramat banyak contohnya. Nabi Yusuf, Ibnu Taimiyah bahkan Yunan dan kawan-kawan juga pernah meringkuk di jeruji besi. Hamka sendiri, akhirnya jadi korban pasal karet, dan dijeblokan ke penjara. Namun, sekeluar dari penjara, lahirlah karya monumental berupa “Tafsir Al-Azhar”.

Dari mereka ada banyak pelajaran luar biasa. Pertama, api perjuangan tidak pernah padam. Kedua, sekalipun dipenjara, mereka tetap menjadi orang bermanfaat: membaca, menulis, dan dakwah. Ketiga, kebenaran yang diperjuangkan pasti akan menemui batu uji. Kuncinya, seberapa besar kesabaran yang dimiliki. Dan mereka sudah memberikan keteladan yang sangat baik.* Mahmud Budi Setiawaneka masih bisa berdakwah dan bermanfaat bagi sekelilingnya.'

No comments: