Benarkah Islam Bertentangan dengan Nasionalime Indonesia?

Lebih jauh dari itu, Islam kata Rasjidi adalah satu unsur yang penting dalam nasionalisme Indonesia. Islamlah yang menyatukan orang di daerah-daerah.

Benarkah Islam Bertentangan dengan Nasionalime Indonesia?

ADA buku kecil yang menarik terkait Islam dan Nasionalisme; khususnya di Indonesia. Apakah keduanya bertentangan? Atau justru keberadaan Islam dan umatnya justru melahirkan nasionalisme yang berdampak pada kemerdekaan atau kebangkitan Indonesia?

Prof. Dr. H. M. Rasjidi dalam buku berjudul “Islam dan Nasionalisme Indonesia” menyampaikan poin-poin menarik mengenai hal itu. Buku ini adalah bantahan yang beliau tujukan kepada AMW Pranarka atas wawancaranya yang berjudul “Secara Kulturil Nasionalisme adalah dasar Sejarah Indonesia” yang dimuat Suara Karya pada hari Jumat 14 April 1978.

Pada wawancara itu, Islam –awalnya secara tersirat– disebut sebagai agama pendatang yang bertentangan dengan nasionalisme. Nasionalisme disebut sebagai dasar sejarah Indonesia. Sementara Islam diidentikkan sebagai agama asing yang bisa merong-rong nasionalisme. Untuk menguatkan asumsinya, digunakanlah teori filsafat Hegel tentang dialektika, negara dan lain sebagainya.

Karena itu, sebelum membantah pernyataan nyelenehnya, Pranarka, Prof. Rasjidi menguliti terlebih dahulu pandangan keliru Hegel.

Nasionalisme yang dikatakan oleh Pranarka dalam wawancaranya itu yang dikatakan sebagai dasar sejarah Indonesia jelas keliru. Sebab, menurut pemikir Muslim jebolan Al-Azhar dan Sorbon ini, nasionalisme dalam arti kata yang modern baru dikenal orang pada akhir abad ke-18.

Padahal, menurut ilmuan Barat, nasionalisme malah bisa menimbulkan konflik. Menurut Filsuf Inggris, John Stuart Mill misalnya –sebagaimana yang diterjemahkan oleh Prof Rasjidi, menyatakan, “Nasionalisme tidak selalu memperdulikan nasib kelompok manusia kecuali yang sebangsa dan sebahasa.” Jadi, kepada yang tidak sebangsa dan sebahasa bisa terjadi konflik.

Menyitir statement Hans Kohn, disebutkan bahwa di mana-mana nasionalisme berbeda dalam sifatnya menurut kondisi sejarah masing-masing negara dan stuktur sosialnya. “Selain itu,” tulis Rasjidi, “nasionalisme tidak memudahkan pembentukan masyarakat manusia yang rukun dan bekerja sama.” Artinya, konsep ini justru bisa menimbulkan konflik dengan nasionalis lain yang tidak sama.

Di akhir pembahasan mengenai nasioanalisme, Hans Kohn mengatakan bahwa walaupun nasionalisme merupakan suatu unsur yang umum di seluruh dunia, tetapi ia merupakan kekuatan yang memecah belah. Itu kalau tidak dikendalikan oleh jiwa toleransi, kompromis yang liberal, universalisme humaniter sesuatu agama.

Kalau yang dimaksud dengan nasionalisme adalah spirit perjuangan untuk membangkitkan umat agar bangkit dan merdeka, maka peran nasionalisme umat Islam tidak bisa diragukan.

Pranarka pun mengakui bahwa pendekar-pendekar nasionalisme banyak lahir dari penganut agama Islam. “Jadi,” kata Menteri Agama Pertama Indonesia ini, “tak ada distingsi assosiatif antara penghayatan ke-Islam-an dan penghayatan nasionalisme.”

Orang yang berpolitik atas dasar agama Islam, sama saja dengan pendekar-pendekar nasionalisme Islam.

Lebih jauh dari itu, Islam kata Rasjidi adalah satu unsur yang penting dalam nasionalisme Indonesia. Islamlah yang menyatukan orang di daerah-daerah. Maka tidak mengherankan ketika Cokroaminoto memimpin Sarikat Islam, mendapat respons dari seluruh kepulauan Indonesia.

Siapa yang meragukan –di samping Cokroaminoto– nasionalisme H. Agus Salim, KH. Ahmad Dahlan, KH. Hasyim Asy’ari, A.R. Baswedan, Hamka, Natsir, KH. Wahid Hasyim, dan lain-lain? Bukankah mereka beragama Islam, dan agamanya malah menjadi spirit perjuangan menuju kemerdekaan dan kebangkitan nasional?* Mahmud Budi Setiawan

No comments: