Aksi Tentara Belanda Yang Membelot ke Republik Serbu Pao An Tui di Hardjasari

Gedung tua itu terlihat sangat suram. Warnanya yang kelabu semakin seram dengan kehadiran ilalang dan pepohonan liar di halamannya. Sarang laba-laba memenuhi setiap sudut gedung yang terletak di selatan Cianjur itu, hanya sekira 1 km dari Stasiun Lampegan.
“Makanya banyak hantunya di situ,”ungkap Agus, warga yang tinggal di sekitar Lampegan.
Pabrik teh dan karet Hardjasari memang sudah sekira 25 tahun tak berproduksi lagi. Padahal di era Hindia Belanda dan pemerintah Orde Baru berkuasa, pabrik ini terbilang produktif dan menghasilkan teh serta karet kualitas terbaik. Itulah yang menyebabkan di zaman revolusi (1946-1949), Pabrik Hardjasari dijaga ketat oleh sejumlah pasukan bersenjata lengkap dari Pao An Tui (PAT), milisi orang-orang Tionghoa bentukan militer Belanda.

Namun bagi Letnan Dua J.C. Princen (eks serdadu Belanda yang membelot ke Batalyon Kala Hitam Divisi Siliwangi), Hardjasari adalah sasaran empuk. Selain hanya dijaga oleh PAT yang terbilang kurang profesional dibanding tentara sejati, di pos Hardjasari pun ada terdapat gudang kecil berisi senjata, amunisi dan granat yang bisa dirampas oleh para gerilyawan TNI.
“Sebagai komandan Pasukan Istimewa, aku harus melengkapi para prajuritku yang sebagian masih menggunakan golok, klewang dan senapan tua,”ujar Princen kepada saya pada 1996.
*
Aksi penyerangan pun diputuskan adalah 17 Juni 1949. Berbeda dengan penyerangan-penyerangan lain yang biasa dilakukan pada malam hari atau dini hari, Princen kali ini memilih siang hari bolong sebagai waktu terbaik. Perhitungannya, para penjaga pabrik akan mengendorkan kewaspadaannya karena mereka terbiasa diserang pada malam hari.
Singkat cerita, siang itu terkepunglah Pabrik Hardjasari. Princen menempatkan masing-masing tiga peleton: dua peleton di sebelah barat pabrik dan satu peleton di jalur yang mengarah ke pos militer Belanda di Stasiun Lampegan. Bersama dua pengawal bersenjata senapan otomatis, Princen sendiri dengan memanjat pagar bambu yang tinggi, langsung memasuki pos penjagaan.
“Inspeksi pasukan! Aku dari dinas keamanan dalam negeri, demi ketertiban semua penjaga harus berkumpul di sini,” teriak lelaki kelahiran Den Haag pada 21 November 1920 itu.
Melihat lelaki bule berseragam, para anggota PAT langsung mematuhi perintah Princen. Sekira 40 orang berkumpul di pos penjagaan. Sebagian besar dari mereka harus dibangunkan dari tidur siang dan masih dalam kondisi mengantuk.
“Mereka yang di pos-pos luar aku biarkan saja agar tidak nampak keterlaluan,” ungkap Princen dalam otobiografinya, Poncke Princen, Kemerdekaan Memilih.
Princen dan kedua pengawalnya lantas menggiring para anggota PAT ke halaman yang lebih lapang. Saat itulah, mereka menangkap gelagat tidak beres karena melihat ketiga “petugas keamanan dalam negeri” tersebut terus menodongkan senjata. Dalam kondisi tegang, tetiba dua anggota PAT memukul Qadim (salah seorang pengawal Princen). Maka terjadilah pergulatan antara Qadim dengan keduanya.


“Princen lalu datang membantu dengan memukulkan popor senjata ke salah satu pengeroyok saya itu,” kenang Qadim (93) ketika saya wawancarai pada 2017.
Tanpa sepengatahuan Princen dan pasukannya, pemilik pabrik yang berhasil sembunyi ternyata bisa meloloskan diri dengan menggunakan sepeda motor yang jalan tanpa dihidupkan mesinnya. Dia kemudian melapor ke pos militer Belanda yang ada di Stasiun Lampegan. Maka bergeraklah sepasukan tentara Belanda dengan persenjataan lengkap ke Pabrik Hardjasari. Namun gerakan mereka terhadang peleton yang ditempatkan Princen di jalur arah stasiun sehingga terjadilah aksi tembak menembak.
Begitu mendengar suara tembakan dari arah Lampegan, para tawanan menjadi berani. Mereka kemudian mengepung Princen dan kedua pengawalnya. Sebagian malah berhasil melucuti senjata salah seorang pengawal Princen. Princen sendiri mengaku sedikit gugup dengan kondisi yang tak diduganya itu.
“Satu-satunya yang bisa aku lakukan adalah mundur sambil memberondongkan Tommy Gun-ku ke arah orang-orang Pao An Tui itu dari jarak sekitar tiga meter,” kenang Princen.
Princen dan dua pengawalnya lantas meringkus tiga anggota PAT yang terlihat histeris ketakutan. Mereka menyeret ketiganya dan menggunakannya sebagai perisai hidup. Pertempuran pun semakin berkecamuk di Hardjasari.
*
Kendati bisa dibilang tidak begitu sukses, penyerangan Pasukan Istimewa ke Pabrik Hardjasari berhasil mendapatkan beberapa pucuk senjata rampasan dan tiga tawanan. Princen dan Qadim sendiri tak pernah tahu pasti berapa orang PAT yang menjadi korban. Namun yang jelas, salah seorang prajurit Pasukan Istimewa terluka parah dalam pertempuran itu.
“Hidungnya sama sekali hilang, terhantam peluru yang mengincar wajahnya,” ujar Princen.
Penyerangan ke Pabrik Hardjasari membuat geger militer Belanda di Jawa Barat. Menurut pemberitaan yang dilansir oleh surat kabar Preanger Bode, 4 Juli 1949 dari sumber-sumber intelijen militer Belanda, besar kemungkinan aksi itu dilakukan oleh pembelot J.C. Princen. Disebutkan pula bahwa akibat penyerangan itu belasan anggota PAT terluka dan dua di antaranya kemudian dinyatakan tewas.
Insiden Hardjasari menjadikan militer Belanda semakin geram dengan prilaku bekas prajuritnya itu. Kampanye hitam pun dilangsungkan untuk meringkus “pengkhianat” Princen. Termasuk tuduhan militer Belanda yang menyebutkan Princen harus bertanggungjawab terhadap penyembelihan 8 serdadunya di wilayah Sukabumi pada 28 Februari 1949.
“Tentu saja tuduhan itu tidak benar, 28 Februari 1949 aku masih berkeliaran di Jakarta sebagai utusan rahasia pimpinan Divisi Siliwangi untuk Johannes Leimena (Menteri Kesehatan RI),” ungkap Princen.
Dan terbukti kemudian, kedelapan serdadu Belanda itu tewas di tangan pasukan lasykar Pembela Masyarakat pimpinan seorang jawara bernama Nuh. Di kesatuan yang ada di bawah komandan kompi Hoesein Bachtiar itulah, pada Maret 1949, Princen pernah “dititipkan” sementara oleh Batalyon Kala Hitam.
Princen pun menyangkal keras tuduhan bahwa dirinya pernah menjebak satu truk berisi tentara Belanda di Gekbrong. Menurutnya, penghancuran satu seksi pasukan Belanda itu berlangsung “wajar” saja alias lewat suatu penghadangan seperti biasa dilakukan para gerilyawan TNI.


“Rupanya sopir truk itu lolos sampai ke Sukabumi dan melaporkan kejadian itu dengan menyebut namaku sebagai kambing hitam,” katanya.
Menurut Princen, bisa jadi isu itu beredar sebagai upaya dramatisasi untuk lebih menjadikannya seolah monster di mata orang-orang Belanda. Dan itu sepertinya memang berhasil.
“Para veteran Belanda sebagain besar memang membenciku, tapi mereka tahu aku ada di kubu TNI bukan karena uang tapi semata-mata pendirianku bahwa menindas sebuah bangsa yang ingin merdeka adalah sebuah kesalahan,” katanya dalam nada tegas.(kl/

No comments: