Kisah Puasa Si Badui dan Menteri Rauh bin Zinba’

Meminjam istilah Imam Al-Ghazali, tingkatan puasanya sudah mencapai “Khawasu al-Khawas” (VVIP
Kisah Puasa Si Badui dan Menteri Rauh bin Zinba’
corbis
Seorang warga Badui Tunisia berdoa di Sahara [ilustrasi]

SUATU hari, Rauh bin Zinba’ –salah satu wazir (mentri) Abdul Malik bin Marwan—menangis dengan cukup lama. Kronologinya demikian. Saat bersafar untuk keperluan ibadah haji, beliau singgah di suatu tempat oase yang terletak di antara Makkah dan Madinah.

Saat istirahat safar, beliau meminta pembantunya untuk menyiapkan bekal makanan yang sudah dibawa untuk keperluan perjalanan. Disediakanlah untuknya berbagai macam makanan untuk dimakan. Makanan itu dihidangkan di hadapan beliau dan siap untuk disantap.

Ketika sedang menyantap makanan, terlihat oleh beliau seorang Arab badui penggembala kambing sedang lewat di depannya. Dipanggillah penggembala itu untuk menikmati makan bersama-sama Rauh.

Si badui memenuhi panggilan Rauh bin Zinba’. Namun, setelah memperhatikan dengan saksama, dirinya menjawab, “Aku sedang berpuasa!” Mendengar jawaban itu Rauh terlihat heran sehingga menyodorkan pertanyaan, “Di hari sepanjang dan sepanas ini kamu tetap berpuasa?” Sang penggembala menjawab dengan mantap, “Apa aku akan mengelabui hari-hariku hanya untuk memakan makananmu?” artinya si penggembala sama sekali tak tergiur dengan tawaran. Ia tetap teguh menjalankan puasa.

Setelah memberi jawaban yang sedemikian meyakinkan, si badui mencari tempat singgah di sekitar lokasi yang sama. Ia meninggalkan lokasi Rauh bin Zinba’. Dalam kondisi demikian, Rauh bin Zinba’ –sebagaimana yang ditulis oleh Ibnu Katsir dalam al-Bidaayah wa al-Nihaayah (9/67)—menyenandungkan untaian sya’ir:

لَقَدْ ضَنِنْتَ بِأَيَّامِكَ يَا رَاعِي * إِذْ جاد بها روح بن زنباع

“Wahai penggembala! Engkau begitu pelit dengan hari-harimu. Sementara Rauh bin Zinba’ dermawan dengan hari-harinya.”

Maksudnya, si penggembala begitu menjaga hari-harinya dengan hal bermanfaat. Sedangkan Rauh malah menghambur-hamburkannya.

Atas sebab itulah Rauh bin Zinba’ lama menangis. Kemudian makanan yang sudah disediakan disuruh diangkat kembali. Lantas Rauh menginggalkan lokasi, si penggembala terlihat begitu mantap hatinya sementara Rauh jiwanya merasa kecil.

Pertemuan dua insan yang berasal dari kalangan elite dan rakyat jelata ini begitu menarik untuk diambil pelajarannya. Puasa –bagi penggembala— adalah hal nikmat yang tidak bisa ditukar dengan iming-iming duniawi. Haus dan dahaga tidak membuatnya luluh untuk membatalkan puasa.

Baginya, mengisi hari-harinya dengan ibadah seperti puasa, lebih bermanfaat daripada memenuhi hajat perut yang sementara. Ia lebih memilih kepentingan akhirat daripada dunia. Sikap teguhnya ini rupanya membuat Rauh bin Zinba’ –sang menteri daulah Umayyah—terharu.

Begitu terharunya sehingga dirinya tak kuasa menahan tangis. Bayangkan! Dibanding dirinya yang merupakan orang elite dan hidup berkecukupan, apalah arti si penggembala miskin itu. Meski begitu, si penggembala seolah memberi pelajaran berharga kepada Rauh bin Zinba’. Dalam kondisi sesempit dan semelarat apapun, rupanya dia masih memprioritaskan akhirat daripada dunia; mengutamakan Allah daripada selainnya.

Mungkin hatinya terketuk. Semestinya dirinya yang berkecukupan bisa lebih gencar beribadah daripada si penggembala. Dalam bait syairnya dirinya mengaku bahwa si penggembala begitu pandai dalam mengisi hari-harinya. Sementara dirinya malah menghambur-hamburkan waktunya walau dengan sesuatu yang mubah.

Dari kisah ini, minimal ada tiga pelajaran berharga bagi pembaca: Pertama, orang berpuasa itu tidak gampang tergiur dengan iming-iming duniawi.

Kedua, orang yang mengisi hari-harinya dengan berpuasa berarti telah memanfaatkan waktunya dengan hal bermanfaat.

Ketiga, puasa menanamkan kesadaran internal pada jiwa hamba bahwa kepentingan Allah harus lebih diprioritaskan daripada kepentingan apapaun.

Sangat jelas dari gambaran puasa si badui, puasanya adalah ibadah yang tak sekadar menahan lapar dan haus. Meminjam istilah Imam Al-Ghazali, tingkatan puasanya sudah mencapai “Khawasu al-Khawas” (VVIP). Lalu, bagaimana dengan puasa kita?*
Mahmud Budi Setiawan

No comments: