Bayangan Tentang Penguasa Yang Kehilangan Cinta

Pada tahun 1532 terbit sebuah buku tentang teori politik khususnya mengenai kepemimpinan ideal yang ditulis oleh seorang politikus Italia dan juga seorang filsuf yang dikenal sebagai Niccolo Machiavelli.
Para pemimpin dunia, politikus, pengamat politik hingga mahasiswa ilmu politik dan hubungan internasional, seharusnya sudah membaca, menamatkan dan memahami isi buku yang berjudul “Il Principe” yang berarti “Sang Penguasa” yang ditulis pada tahun 1513, jauh sebelum diterbitkan.
Dalam buku yang terkenal karena ide-ide yang kontroversial itu, ada satu teori yang paling diingat yang berangkat dari pertanyaan manakah yang lebih baik bagi seorang pemimpin; ditakuti atau dicintai? Ketika masyarakat di kota kelahirannya di Florence, Italia lebih menghendaki pemimpin yang adil, jujur, bijaksana, baik hati dan segala syarat untuk dicintai, Machiavelli justru merekomendasikan profil pemimpin yang ditakuti dibandingkan dicintai.

Rekomendasi untuk ditakuti itu tentu mempunyai alasan penjelas bahwa pilihan dicintai terlalu berisiko terhadap kekacauan sosial karena kecenderungan membiarkan masalah-masalah akibat rasa belas kasih, apalagi jika suatu negara yang dipimpinnya adalah hasil penyatuan wilayah-wilayah yang berbeda secara karakter, kultural, dan keyakinan.
Teori tentang pemimpin yang ditakuti idealnya dapat mempersatukan masyarakat yang berbeda namun rentan terpecah. Sepintas memang masuk akal apalagi dengan syarat bahwa seorang pemimpin yang ditakuti itu sebaiknya juga tidak dibenci meskipun sejarah sudah membuktikan bahwa pemimpin yang ditakuti hampir selalu terjerumus dalam kebencian masyarakat. Tidak hanya itu, suatu pemerintahan yang dipimpin oleh kategori yang dibenci, tidak pernah bisa bertahan lama apalagi jika mengarah pada kediktatoran.
Di Indonesia, gambaran pemimpin ala Machiavelli pada poin ditakuti dan dicintai ini dianggap pernah melekat pada Presiden ke-2 Republik Indonesia, Soeharto. Model kepemimpinan yang tegas dan militeristik, menaruh rasa segan dari masyarakat dan bagi sebagiannya sangat menakutkan dan terasa pahit yang tentu akibat dari beberapa sisi kebijakannya selama 32 tahun memimpin.
Tapi Presiden Soeharto, meskipun dinilai terlalu kuat dalam mempertahankan kekuasaannya yang begitu lama, hampir selalu pula mempertahankan cinta dari sebagian masyarakat karena di eranya, masyarakat dapat bersatu, nasionalisme yang selalu tinggi, terpeliharanya toleransi, kestabilan ekonomi pada rata-rata masa kepemimpinannya, keamanan yang terjaga, kuatnya militer hingga menjauhkan rakyat dari ideologi komunis dan diperhitungkan di kancah internasional.
Tidak ada Asean atau Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara yang kuat secara geopolitik dan ekonomi tanpa peran Indonesia yang stabil! Maka begitu pentingnya pencapaian yang diakui dunia hingga menjadikan Pak Harto mendapatkan cintanya dari mayoritas masyarakat terlepas dari gaya kepemimpinannya yang tenang namun menakutkan, terasa pahit bagi sebagian masyarakat maupun akhir kekuasaannya yang begitu menyakitkan karena masyarakat dipaksa untuk mencabut cintanya.


Ada pelajaran yang penting dari aspek cinta tentang kepemimpinan di Indonesia berkaitan dengan Pilpres 2019 yaitu seorang calon presiden yang lima tahun lalu secara mayoritas dicintai karena suatu profil maupun citranya yang sederhana dan merakyat. Memang bisa saja cara meraih kekuasaan adalah dengan menjual profil, apalagi dalam sistem demokrasi, tetapi andai saja pencapaian terbaik dapat dibuktikan, maka akan begitu mudahnya pula mempertahankan kekuasaan tanpa harus menggunakan cara-cara yang dianggap salah oleh masyarakat!
Sang petahana yang turut mencalonkan diri sebagai presiden periode 2019-2024 sebetulnya bisa melakukan itu, andai kebijakannya tidak merugikan pemeluk agama mayoritas, merugikan rakyat secara ekonomi, adil secara hukum, jujur dan menepati janji. Andai segala yang ideal menurut kultur dan karakteristik sosial di negerinya itu terpenuhi, maka dialah pemimpin yang dikehendaki lebih lama.
Tapi kenyataannya, cinta dari masyarakat itu bukannya bertambah tetapi malah kian berkurang, terkikis dan kemudian semakin lenyap. Sisanya hanya mereka yang selalu melihat bahwa seorang Joko Widodo tidak ada cacatnya. Lalu salah siapa jika sudah demikian hilangnya cinta? Apakah salah seorang ulama yang mempersatukan umat? Apakah karena seorang emak yang menggerakkan keinginan untuk menggantinya?
Masyarakat yang menghendakinya agar selesai dalam satu periode saja tidak mungkin tanpa ada penyebabnya dan tidak mungkin pula mereka tidak melihat atau merasakan dampak dari semua kebijakannya. Semua ada alasan logis namun selalu mentok dihadapan dinding ketidaklogisan sebagai pelindungnya.

Joko Widodo dinilai tidak punya kapasitas untuk menjadi pemimpin yang ditakuti secara ideal bahkan pesan Machiavelli agar jangan sampai dibenci pun tidak bisa dihindarkan! Lalu bagaimana jika sang petahana ini tidak lagi mendapatkan mayoritas cinta? Apakah nanti akan merasakan tenteramnya berkuasa? Mungkin dirinya sendiri akan ragu menjawabnya.
Tentang dugaan kecurangan pada pesta demokrasi yang sudah diketahui masyarakat, hanya Tuhan yang mengetahui secara rinci siapa saja yang melakukannya. Tuhan pun yang pertama tahu siapa yang sesungguhnya menang dalam Pilpres 2019. Tapi jika seorang Joko Widodo betul-betul mengetahui bahwa mayoritas tidak menghendakinya lagi sebagai pemimpin, janganlah membalikkan fakta dan memanipulasi pilihan rakyat. Sebab jika dirinya dilantik, maka sejak itu pula tidak pernah yakin apakah kursi kekuasaan itu akan bertahan selama lima tahun untuknya.
Ini pun bukan lagi semata soal pemimpin yang kehilangan cinta dari rakyatnya, tapi cara-cara yang sedemikian salahnya dan bukti dugaan kecurangan yang terlalu banyak saat penyelenggaraan Pilpres 2019 ini, sudah kadung tersiar di negara lain. Perilaku ini mustahil luput dari pengamatan diplomatik manca negara. Apa yang bisa dipercaya oleh dunia terhadap RI nantinya ketika diyakini seorang presidennya meraih kekuasaan dengan cara yang penuh pelanggaran? Dunia seharusnya jangan berpura-pura tidak mengetahuinya!
Entah karena suatu keterdesakan atau apa, Jenderal (Purn) Moeldoko yang kini tidak pernah jauh dari lingkaran petahana, telah mengancam akan menghadapkan rakyat dengan tentara jika people power yang dilindungi undang-undang terjadi akibat reaksi terhadap kecurangan pemilu! Yakinkah demikian? Apakah tentara sudi memerangi rakyatnya? Ini bukan karena menghadapi people power dengan kekerasan itu selalu berujung kegagalan tapi tentara kadung menyatu bersama rakyat dan tahu siapa musuh yang nyata!
Ada seorang panglima yang bijak dan pandai menempatkan posisi di masyarakat hingga oleh umat begitu dicintai. Pesannya pada prajurit mendekati tingkat legendaris seorang panglima ideal. Simak baik-baik; “Bila demokrasi berujung anarkis, yang kalian lindungi adalah rakyatmu. Jangan ragu untuk melindungi rakyat, karena rakyat adalah ibu kandungmu. Jangan perlakukan rakyat sebagai teroris”.
Itulah pesan Jenderal (Purn) Gatot Nurmantyo saat masih menjadi Panglima TNI. Bagi pihak-pihak yang berseberangan dengannya, sempatkan sejenak untuk jangan melihat siapa yang mengatakannya tetapi maknai pesannya bahwa prajurit tidak akan sudi memerangi “dirinya sendiri” yaitu rakyat!
Bagi mereka yang memang telah  melakukan kejahatan terhadap demokrasi, apa yang akan kalian lakukan setelah kekacauan ini? Melanjutkan perilaku yang kadung sudah dijalankan? Atau kalian tetap menendang bangsa sendiri ke dalam jurang yang miris dan memalukan? Fikirkan saja, apa jadinya negara ini nantinya jika ada penguasa yang memaksa untuk dicintai sedangkan kenyataannya sudah berlawanan! 

No comments: