Worldview Baru Islam?

Worldview Islam tidak berasal dari budaya, falsafah, maupun sains. Sebab sumWorldview Baru Islam?
“Status pertama dalam sebuah negara tidak lagi hanya agama (ummat; religious affiliation), melainkan kewarganegaraan (citizenship). Semua pemeluk agama yang berbeda-beda mendapatkan hak dan kewajiban yang sama dalam sebuah negara. Konstitusi bernegara (the idea of constitution) lebih mengemuka dan penting didiskusikan daripada ide negara Islam atau Kristen.” (Dr. Amin Abdullah dalam buku Islam Nusantara: Dari Ushul Fiqh hingga Paham Kebangsaan)

Muhamad Ridwan

PERNYATAAN Prof. Dr. Amin Abdullah ditulis dalam buku Islam Nusantara: Dari Ushul Fiqh hingga Paham Kebangsaan. Dalam fikih kewargaan hasil rumusannya ini dikatakan bahwa perihal formalisasi syari’ah sudah tidak relevan lagi untuk diangkat di zaman modern ini. Dengan begitu, pemahaman kewarganegaraan atau nasionalisme lebih utama dan terpisah daripada agama.
Untuk lebih menjelaskannya lagi, kemudian Ia mengutip pendapat dari Tariq Ramadan bahwa identitas keislaman harus melebur dalam identitas nasional. Menurutnya, istilah yang tepat untuk sebutan fenomena demografis yang baru ini bukan lagi Islam di Indonesia (Islam in Indonesia), tetapi lebih tepat disebut Islam-Indonesia (Indonesian Muslim). Bukan Muslim in Europe, tetapi European Muslim.
Dalam buku yang memuat tulisan dari Gus Dur, Nurcholis Madjid, Said Aqil Siroj, Azyumardi Azra, Yahya C. Staquf, Abdul Moqsith Ghazali, Husein Muhammad, dan lainnya ini, Amin Abdullah menyeru umat Muslim agar memeluk Worldview (pandangan hidup) yang baru, yakni worldview keagamaan Islam era kontemporer.
Karena, katanya, dalam menghadapi kehidupan kontemporer, masa lalu (al-Turats) tetap diperlukan, namun diperlukan juga pergeseran paradigma (al-Haditsah) alias pemikiran keagamaan Islam baru yang disesuaikan dengan konteks zaman sekarang ini.
Penggantian istilah yang ramai belakangan ini boleh jadi adalah merupakan salah satu langkah untuk menuju worldview yang baru ini. Bukankah menurut Wilhelm Humboldt istilah atau bahasa itu adalah merupakan cerminan, wakil, dan memengaruhi pandangan hidup seseorang atau suatu bangsa?.
Selain fikih kewargaan, ia juga mengemukakan lagi beberapa perubahan dan pembaharuan pada cara pandang Islam. Diantaranya adalah fikih sosial yang melihat peran individu atau kelompok dalam proses bermasyarakat dan bernegara (negara bangsa; nation states) secara universal, general, atau umum.

Fikih tidak lagi terfokus pada apa yang selama ini dipelajari dan ditekankan dalam ushul fiqh, namun ada pergeseran paradigma dan perluasan ruang lingkup maqashid yang katanya, meminjam istilah dari Jasser Auda, menjangkau general maqashid (HAM, kebebasan beragama, berpendapat, berserikat, keadilan bagi seluruh umat manusia) yang dinilainya “objektif” terlepas dari selubung-selubung bahasa, ideologi, mitos, hukum dan aturan perundang-undangan, bertransformasi dari theocentric kepada anthropocentric ala humanisme-eksistensialisme. Artinya, makna HAM, kebebasan dan keadilan dalam general maqashid tersebut tergantung kepada manusia, bukan kepada Tuhan. Padahal, Islam telah memiliki worldview atau pandangannya sendiri tentang hal-hal tersebut dan kita tidak mendikotomikan antara subjektif dengan objektif.
Lalu perihal wanita, Amin Abdullah mempermasalahkan sistem patriarki dalam ranah sosial-politik dan profesi apa pun, warisan, saksi, perwalian, jilbab, hakim wanita, dan sebagainya hingga soal poligami.
Selain itu, ia juga mengusulkan dialog antaragama yang tujuannya bukan untuk mencari agama mana yang benar, melainkan hanya untuk membicarakan tentang kemanusiaan dan mencari “kebenaran universal”. Soal kemanusiaan, ia merujuk kepada M. Arkoun, Fazlur Rahman, Fethullah Gulen, Tariq Ramadan, dan lainnya. Mereka semua dikenal dengan pemikirannya yang sekuler-liberal.
Hal lain yang ia tekankan adalah soal keterbukaan selebar-lebarnya terhadap ilmu-ilmu modern yang notabene telah dibangun di atas worldview Barat yang bertentangan dengan Islam lalu menggabungkannya dengan persoalan agama, khususnya ijtihad.
Dan menurutnya, antara wahyu dan tafsir harus didikotomikan; sifat wahyu itu mutlak, sedangkan tafsir dianggap relatif semuanya. Ia memberikan rujukan kepada Abdul Karim Sorous dengan pembedaan antara wahyu dengan pemahaman atau penafsirannya, Fazlur Rahman dengan teori double movement-nya, Nasr Hamid Abu Zaid dengan “pencarian makna saat ini”-nya, Abdullah Saeed dengan asbabun nuzul qadim dan asbabun nuzul jadid-nya.
Padahal, dalam penafsiran wahyu memang ada hal-hal yang relatif atau terdapat perbedaan, namun ada juga yang disepakati yang nilai kebenarannya mutlak seperti wahyu itu sendiri. Jadi antara wahyu dengan penafsiran tidaklah bersifat dikotomis antara mutlaknya teks dan relatifnya tafsir manusia. Justru keduanya saling berkaitan karena kesepakatan ulama itu adalah ungkapan kebenaran dari wahyu itu sendiri. Jadi, tafsiran mengenai sesuatu dan telah disepakati oleh ulama itu bernilai mutlak dan tidak bisa diubah seenaknya.
Cukup Worldview Islam
Gagasan tentang “worldview baru” di atas sebenarnya telah lama diantisipasi oleh Syed Muhammad Naquib Al-Attas pada jauh-jauh hari sebelumnya. Ia menerangkan bahwa sebenarnya tidak ada perubahan atau pergeseran paradigma (paradigm shift) pada elemen-elemen pokok dari worldview Islam.
Ciri dari worldview Islam itu adalah otentik, final (tidak ada penambahan maupun pengurangan), merujuk kepada sesuatu yang ultimate (mutakhir), memproyeksikan realitas dan kebenaran, meliputi kewujudan dan kehidupan kita dalam pandangan yg menyeluruh.
Elemen-elemen dasar dalam worldview ini adalah mapan atau permanen. Ia bukanlah paradigma yang menurut Thomas S. Kuhn, selalu mengalami krisis dan berubah. Apabila paradigma tidak berubah, maka suatu budaya akan menjadi kusam tak menarik. Oleh karena itu, worldview Islam mesti berubah juga, katanya lagi. Inilah yang persis dinyatakan oleh Amin Abdullah dalam buku Islam Nusantara itu.
Namun, kata Syed al-Attas, worldview itu tidak berubah dan tidak tepat apabila disamakan dengan paradigma karena .
Dalam Islam, perubahan dan pembaharuan itu memang ada, tetapi bukan pada worldview pokoknya, melainkan pada aspek-aspek atau tafsiran-tafsirannya serta tingkatan-tingkatan dalam memahaminya (intensification of meaning) yang merupakan ambience (suasana) yang mengelilingi worldview Islam, jelas Dr. Ugi Suharto, salah seorang murid langsung dari Profesor Syed Muhammad Naquib Al-Attas.
Misalnya, semua Muslim itu bertauhid atau mengesakan Allah Swt. Tapi bagaimanakah esanya Allah? Dalam hal ini setiap Muslim level pemahamannya berlainan, tergantung kepada kapasitas keruhanian juga kapasitas akalnya. Makna keesaan Allah biasanya diperbincangkan secara mendalam pada ilmu tauhid. Itulah contoh tajdid atau pembaharuan dan pengembangan dalam Islam, dalam arti bukan pengubahan seperti yang digagas oleh Amin Abdullah, melainkan pendalaman dan penguraian makna-maknanya.
Jadi, worldview yang mendasar dan sebagai sumber serta induknya tidaklah mengalami pembaharuan ataupun pengembangan hingga kiamat. Islam telah sempurna sejak diturunkan:
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu” (Surat al-Maidah: 3).
Oleh karena itu, kita perlu ubah, perbaiki dan perbaharui worldview kita, tapi kepada worldview yang benar kalau memang sebelumnya berpegang pada yang salah. Worldview baru era kontemporer itu keliru dan tidak dibutuhkan karena worldview Islam sejak mulanya telah berlaku juga untuk era kontemporer, bahkan hingga akhir zaman.*
Pendidikan: Alumni PAAP Unpad, Alumni Ma’had al-Imarat Bandung, mahasiswa STAIPI Bandung. Instagram: @muhamad.rdwn

ber worldview Islam adalah wahyu

No comments: