Waspada Penguasa Pembohong

Seorang alim yang mendatangi penguasa sambil membawa agamanya, maka ketika dia pulang agamanya hilang
Waspada Penguasa Pembohong

“Sesungguhnya akan ada setelahku para penguasa, barang siapa yang membenarkan kedustaan dan membantu kezhaliman mereka, maka ia bukan termasuk golonganku dan aku bukan darinya, ia tidak akan menemuiku di telaga, dan barangsiapa yang tidak membenarkan kedustaan dan tidak membantu kezhaliman mereka maka ia adalah termasuk golonganku dan aku bagian darinya, ia akan datang menemuiku di telaga.” (HR. An-Nasa’i, Ahmad, at-Tirmidzi, al-Baihaqi, al-Hakim, ath-Thabarani, dll)

Redaksi hadits tersebut dari jalur Ka’ab bin ‘Ujrah ra; imam an-Nasa’i dalam sunannya menempatkan hadits ini pada kitab al-bai’ah (4218)topik mengenaidzikr al-wa’ȋd liman a’ȃna amȋran ‘ala azh-zhulm(ancaman bagi pendukung pemimpin zhalim): “Mengabarkan kepada kami ‘Amr bin Ali, ia berkata; menceritakan kepada kami Yahya dari Sufyan dari Abu Hashin dari asy-Sya’bi dari ‘Ashim al-‘Adawi dari Ka’ab bin ‘Ujrah berkata Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam keluar menemui kami, ketika itu kami sembilan orang, lalu beliau bersabda” dengan matan seperti diatas. Hadis tersebut juga diriwayatkan dari jalur Hudzaifah bin al-Yaman radliallahu ‘anhu dalam musnad Ahmad (22174).

Mengenai kondisi para perawi dari jalur Ka’ab bin ‘Ujrah ra: Ibnu Hajar menilai ‘Amr bin Ali seorang tsiqah hafidz, Yahya bin Sa’id dinilai tsiqah mutqin, Sufyanbin Sa’id dinilai tsiqah hafidz faqih, Abu Hashin atau Utsman bin ‘Ashim dinilai tsiqah tsabat, asy-Sya’bi atau ‘Amir bin Syarahil dinilai tsiqah masyhur, dan ‘Ashim al-‘Adawisendiri tsiqah menurut an-Nasa’i dan adz-Dzahabi.

Ungkapan innahu satakûnu ba’dȋ umarȃ’(sesungguhnya akan ada setelahku para penguasa) merupakan redaksi yang menunjukan tanda atau mukjizat kenabian shallallahu ‘alaihi wasallamyang mampu memberitakan kejadian di masa depan, hal ini sesuai kebiasaan penjelasan beberapa pensyarah hadits mengenai ungkapan tersebut. Menariknya penulis Tuhfah al-Ahwadzi menyebut penguasa dalam konteks hadits ini adalah para penguasa bodoh (sufahȃ’) yang suka berbohong dan zhalim. Dalam musnad Ahmad (13919) Rasulullah ﷺmenjelaskan bahwa penguasa bodoh adalah penguasa yang tidak menjalankan ajaran Islam:

أَعَاذَكَ اللَّهُ مِنْ إِمَارَةِ السُّفَهَاءِ … أُمَرَاءُ يَكُونُونَ بَعْدِي لَا يَقْتَدُونَ بِهَدْيِي وَلَا يَسْتَنُّونَ بِسُنَّتِي

“Semoga Allah melindungimu dari pemerintahan orang-orang yang bodoh… Yaitu para pemimpin negara sesudahku yang tidak mengikuti petunjukku dan tidak pula berjalan dengan sunnahku…” (HR. Ahmad)

Man shaddaqahum bikadzibihim (barang siapa yang membenarkan kedustaan mereka); penggunaan huruf ba mengandung makna segala macam kebohongan ucapan, jadi meliputi siapapun yang membenarkan ucapan penguasa sambil berkata ‘engkau benar’ sebagai upaya mendekati mereka. Demikian disebutkan dalamHasiyah as-Sindi.Dalam riwayat lain, semisal at-Tirmidzi (558), ada tambahan redaksighasyiya abwȃbahum (mendatangi pintu mereka), sedangkan an-Nasa’i (4219) menggunakan redaksi dakhala ‘alaihim(mendatangi mereka). Mereka yang mendatangi penguasa tersebut adalah dari kalangan ulama dan selainnya yang mendukung kezhaliman penguasa (a’ȃnahum ‘ala zhulmihim) dengan mengeluarkan fatwa dan upaya lainnya, demikian penjelasan al-Mubarakfuri. Dalam Syarh Shahih al-Bukhari Li Ibn Bathal(I/131)dijelaskan seorang ulama jika membenarkan kebohongan dan kezhaliman penguasa bisa hilang agamanya: 

وقد قال الفضيل بن عياض: ربما دخل العالم على الملك ومعه شىء من دينه فيخرج وليس معه شىء، قيل له: وكيفذلك؟ قال: يصدقه فى كذبه، ويمدحه فى وجهه

 Al-Fudhail bin ‘Iyadh berkata: “Seorang alim yang mendatangi penguasa sambil membawa agamanya, maka ketika dia pulang agamanya hilang”, beliau ditanya: “Bagaimana bisa agamanya hilang?” Beliau menjawab: “Karena dia membenarkan kebohongan dan bermanis muka di hadapan penguasa.”

Falaisa minnȋ wa lastu minhu (maka ia bukan termasuk golonganku dan aku bukan darinya), menurut al-Qari maknanya antara Nabishallallahu ‘alaihi wasallamdan orang yang membenarkan kebohongan penguasa, sudah tidak ada lagi hubungan serta jaminan atau perlindungan. Pendapat lain menyebutkan falaisa minnȋ wa lastu minhu adalah kiasan mengenai terputusnya hubungan orang itu dengan nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, yakni orang itu tidak dianggap pengikut dan dijauhkan dari nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Imam Sufyan ats-Tsauri kurang setuju menakwil redaksi ini, namun lebih mengarah ke zhahir redaksi untuk memberi kesan lebih kuat sebagai larangan.Selain itu, bagi mereka yang mendukung kebohongan dan kezhaliman, ditambah juga hukuman di akhirat dengan ungkapan wa laisa biwȃrid ‘alayya al-haudh (ia tidak akan menemuiku di telaga), maksud telaga disini adalah telaga al-Kautsar. Demikian dijelaskan penulis Tuhfah al-Ahwadzi.

Gabungan ungkapan falaisa minnȋ wa lastu minhu (maka ia bukan termasuk golonganku dan aku bukan darinya) dan wa laisa biwȃrid ‘alayya al-haudh (ia tidak akan menemuiku di telaga), sudah sangat cukup memberikan pemahaman kepada pembaca hadits bahwa perbuatan mendukung penguasa pembohong dan zhalim adalah haram dalam Islam. Terlebih banyak hadits yang mengharamkan kebohongan dan kezhaliman itu sendiri, misalnya sebuah riwayat dari Abu Hurairah radiyallahu anhu menyebutkan bahwa Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

ثَلَاثَةٌ لَا يُكَلِّمُهُمْ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلَا يُزَكِّيهِمْ قَالَ أَبُو مُعَاوِيَةَ وَلَا يَنْظُرُ إِلَيْهِمْ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ شَيْخٌ زَانٍ وَمَلِكٌ كَذَّابٌ وَعَائِلٌمُسْتَكْبِرٌ 

“Ada tiga orang yang tidak akan diajak bicara oleh Allah pada hari kiamat, dan Dia tidak akan mensucikan mereka.–Abu Mu’awiyah menyebutkan: Dan tidak akan dilihat Allah– Dan bagi mereka siksa yang pedih: yaitu orang tua yang pezina, pemimpin yang pendusta, dan orang miskin yang sombong.”(HR. Muslim, 156)

Dari ‘Abdullah bin ‘Umar radliallahu ‘anhuma dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:

الظُّلْمُ ظُلُمَاتٌ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

“Kezaliman itu adalah kegelapan yang berlapis pada hari kiamat.” (HR. Al-Bukhari, 2267)

Di akhir hadits ini disebutkan sikap terbaik menghadapi penguasa pembohong dan zhalim: Wa man lam yushaddiqhum bikadzibihim, wa lam yu’inhum ‘ala zhulmihim fahua minnȋ wa anȃ minhu, wa huwa wȃrid ‘alayya al-haudh (dan barangsiapa yang tidak membenarkan kedustaan dan tidak membantu kezhaliman mereka maka ia adalah termasuk golonganku dan aku bagian darinya, ia akan datang menemuiku di telaga).

Dalam Hasiyah as-Sindi dijelaskan, tidak ‘membenarkan mereka’ maksudnya meninggalkan dan menjauhipenguasa tersebut, sikap ini hanya bisa dilakukanoleh seseorang yang memegang teguh agamanya, sikap inidipuji Nabi ﷺ maka ia adalah termasuk golonganku dan aku bagian darinya’. Dan bisa dipahami, bahwa derajat muliaketika itu bisa didapatkan oleh seseorang yang dengan rasa iman menahan dirinya dari bersahabat ataudari menyepakati kebijakan-kebijakan penguasa pembohong dan zhalim.Wallahu a’lam.* 

Penulis mudir Ma’had Darul Ulum Purwakarta

No comments: