Sikap Pemimpin Terhadap Jabatan

Bilamana sewaktu-waktu jabatan harus dicabut karena ada alasan yang tepat, maka dengan lapang dada ikhlas menanggalkan jabatan

Sikap Pemimpin Terhadap Jabatan
ilustrasi
PADA dasarnya, jabatan adalah bagian dari ujian. Maka tidak mengherankan jika pada beberapa generasi salaf (di masa lalu), para pemimpin ketika menerima jabatan justru yang diucapkan adalah kalimat ‘istirja’ (inna lillahi wainna ilaihi raji’un) sebagai gambaran bahwa mereka tidak gila jabatan dan memposisikannya sebagai amanah yang besar. Contoh dari Abu Ubaidah bin Jarrah dan Khalid bin Walid berikut bisa dijadikan teladan bagaimana pemimpin menyikapi jabatan.

Pada tahun 13 H, Abu Ubaidah bin al-Jarrah Ra. menghadapi posisi pelik. Pasalnya, ada dua peristiwa besar yang membuatnya terkejut: Pertama, berita wafatnya Abu Bakar Ra. Kedua, diberi amanah mengganti kepemimpinan Khalid bin Walid Ra. Dengan akhlak mulia, kedua peristiwa besar itu bisa disikapi dengan baik dan sarat pelajaran apik.

Beliau tidak terburu-buru menyiarkan kematian Khalifah Abu Bakar Ra, agar mental kaum Muslimin tidak lekas jatuh. Demikian juga tak tergesah-gesah memberitahukan pencopotan Khalid Ra, karena dirasa masih layak dan mumpuni untuk menjalankannya, serta menjaga perasaannya. Intinya, ia menunggu sampai kondisi tenang dan pas.

Menariknya, ketika Khalid Ra. pada akhirnya tahu berita pencopotan dirinya, ia pun merespon, “Wahai Abu Ubaidah! Semoga Allah mengampunimu. Telah datang mandat pergantian jabatan dari Amirul Mu`minin, tapi kamu tidak mengabarkannya padaku. Engkau shalat di belakangku, padahal kekuasaan sudah digantikan padamu.” (Tarikh Dimasq, Ibnu Asakir).

Khalid Ra. menunjukkan kelasnya. Ia lulus dari ujian ‘kezuhudan jabatan’. Sahabat yang dikenal dengan julukan Pedang Allah itu tidak bertanya: “Mengapa Umar menggantiku. Padahal aku masih layak memegangnya?” tapi justru mempertanyakan, kenapa Abu Ubaidah Ra. tidak segera memberitahukan amanah bisar yang telah dimandatkan padanya.

Yang membuatnya kecewa bukan pergantian jabatan, tapi amanah yang tak segera disampaikan.

Respon sahabat yang berjuluk Āmīn Hādzihi al-Ummah (Kepercayaan Umat Ini) tidak kalah menarik, ia menjelaskan bahwa sikap demikian dipilih agar tidak merusak barisan kaum Muslimin, dan menunggu sampai kondisi stabil. Ia pun menandaskan, “Bukan kekuasaan dunia yang aku inginkan. Bukan karena dunia aku beramal. Kita tidak lain hanyalah saudara yang (sedang) menegakkan perintah Allah” (Muhammad Shallabi, Sīrah `Umar, 421).

Sikap Khalid bin Walid beserta Abu Ubaidah bin Jarrah tehadap jabatan, benar-benar bisa menjadi cermin bagi pemimpin-pemimpin teladan negeri ini. Paling tidak ada beberapa pelajaran penting –dari kedua pemimpin agung ini- yang perlu diuraikan di sini agar bisa diteladani oleh para pemimpin: Pertama, cara pandang keduanya mengenai jabatan. Kedua, respon keduanya mengenai peralihan jabatan.

Bagi keduanya, jabatan bukan tujuan tapi amanah yang harus diemban. Bilamana sewaktu-waktu jabatan harus dicabut karena ada alasan yang tepat, maka dengan lapang dada ikhlas menanggalkan jabatan. Dengan pandangan seperti ini, mereka tidak akan dikuasai jabatan. Keduanya mengatasi jabatan, bukan diatasi jabatan.

Karena sejak awal pandangan mereka mengenai jabatan bukan sebagai tujuan, tapi hanya amanah yang diemban, maka ketika ada kemaslahatan yang lebih besar mereka rela diganti, dan menyerahkan jabatan. Khalid Ra. menerima pencopotan jabatan, dan kembali menjadi prajurit biasa. Bahkan uniknya, wafatnya Panglima Agung tersebut kelak adalah terbaring sakit di ranjang. Ia menaati perintah pimpinan. Hasan bin Ali pun Ra. dengan lapang dada menyerahkan kekuasaannya pada Mu`awiyah bin Abi Sufyan Ra. demi keamanan dan ketentraman rakyat.

Dalam negeri ini pun ada beberapa contoh menarik bagaimana pememimpin merespon jabatan, yang patut diteladani bagi siapa saja yang menjadi pemimpin.

Ketika Pak Syafruddin Prawiranegara (Presiden RI saat Soekarno-Hatta dan Yogyakarta dilumpuhkan) ditanya oleh Dr. Abdullah Hehamahua (mantan ketua HMI era akhir 70-an) mengenai jabatan presiden yang dikembalikan lagi kepada Soekarno-Hatta, maka dengan senyum beliau menjawab: “Nak Abdullah, Masyumi itu Partai Islam dan Mengedepankan Akhlak Islam. Saya hanya diberi mandat dan amanah ini saya kembalikan,” (Masyumi, Kekuasaan, dan “Orang Kita”, Rizki Lesus, JIB). Lihat bagaimana dengan sangat ringannya beliau mengembalikan jabatan.

Hamka pun dengan sangat ringan mengundurkan diri dari jabatan Ketua MUI gara-gara dikecam oleh Mentri Agama Alamsya (23 April 1981), mengenai terbitnya fatwa: Keharaman mengikuti Perayaan Natal bagi umat Islam. Bagi beliau, daripada akidah tergerus, lebih baik jabatan putus (Rusydi Hamka, Pribadi dan Martabat Buya Prof.Dr. Hamka, 193-196). Mereka adalah orang-orang yang tidak gila jabatan, tapi ketika diberi amanah mengemban jabatan, tak akan disia-siakan.*/Mahmud Budi Setiawan

No comments: