Psikologi Kekuasaan

Demokrasi tidak menjamin kekuasaan yang adil. Ia juga rawan korupsi, tergantung siapa yang mendesain dan mengelola demokrasi tersebut Psikologi Kekuasaan
muh. abdus syakur/hidayatullah.com
[Ilustrasi] Kekuasaan.
Oleh: Bagus Riyono

“Kalian akan menginginkan kekuasaan, yaitu sesuatu yang akan disesali di hari kebangkitan” (Hadits Rasulullah )

SATU hal yang tidak disadari oleh para penguasa adalah bahwa korupsi telah terjadi pada dirinya oleh kekuasaannya. Bangsa Indonesia adalah saksi bagi merajalelanya korupsi. Pemberantasan korupsi yang menjadi semangat reformasi, nampaknya masih jauh panggang dari api. Kasus-kasus korupsi semakin marak dan menjadi komoditi yang nampaknya sangat dinikmati oleh pers. Masyarakat semakin apatis dan kehilangan kepercayaan pada pemerintah. Berbagai cara dan strategi pemberantasan korupsi nampaknya tidak berjalan efektif. Koruptor semakin licin seperti belut. Dan “belut-belut” itu semakin banyak saja. Orang berharap dengan demokrasi dan reformasi korupsi akan hilang tetapi kenyataan menunjukkan sebaliknya. Mengapa demikian? Satu hal yang tidak disadari oleh masyarakat adalah bahwa yang paling berbahaya dari korupsi bukanlah korupsi anggaran tetapi korupsi kepribadian. Korupsi terjadi besar-besaran terhadap kepribadian para penguasa, dan terhadap mereka yang menginginkan kekuasaan.
Ada pepatah yang mengatakan “power tends to corrupt, absolute power corrupt absolutely”. Pernyataan itu nampaknya kurang tajam, karena walaupun kekuasaan itu tidak absolut, ia tetap bersifat koruptif. Demokrasi hanyalah ladang. Hasil panen yang dipetik tergantung pada benih yang ditanam.
Demokrasi tidak menjamin kekuasaan yang adil. Ia juga rawan korupsi, tergantung siapa yang mendesain dan mengelola demokrasi tersebut. Yang lebih menentukan adalah bagaimana para partisipan demokrasi itu memandang kekuasaan. Ketika kekuasaan dipandang sebagai prestige atau sebuah kemenangan yang diidam-idamkan, maka proses korupsi kepribadian mulai menggerogoti. “Power always corrupt, aiming for power is aiming for corruption”.
Seorang teman pernah menceritakan pembicaraannya dengan seorang tokoh politik dari partai Islam. Tokoh politik tersebut pada awalnya adalah seorang pejuang umat. Ia punya idealisme untuk menaikkan martabat umat. Dengan demokrasi ia melihat peluang untuk berperan aktif dalam usaha memajukan umat itu. Setelah bergelut dalam kancah politik beberapa lama ia mulai menyadari bahwa kekuasaan itu penting. Ia mulai berpikir untuk meraih kekuasaan demi idealismenya. Dalam usahanya untuk meraih kekuasaan ia mengamati bahwa tanpa korupsi nampaknya mustahil untuk dapat meraih kekuasaan. Sejenak timbul kebimbangan dalam hatinya. Namun karena niatnya untuk meraih kekuasaan sedemikian besar maka ia pun berpikir “bukankah tujuanku mulia, yaitu untuk memajukan umat?” Maka terjunlah dia dalam praktek-praktek yang biasa dilakukan dalam permainan kekuasaan, termasuk dengan korupsi. Yang tidak disadari olehnya adalah bahwa dirinya telah dikorupsi oleh kekuasaan yang diidam-idamkannya.
Ada orang mengatakan bahwa “begitu berkuasa orang akan merasakan manisnya kekuasaan”. Kata “manis” di sini lebih tepatnya adalah “racun”. Racun kekuasaan akan membutakan hati nurani seseorang. Ia akan rela berbohong, menjadi kejam, dan menganggap wajar korupsi sebagai alat untuk merebut atau mempertahankan kekuasaan. Demokrasi seharusnya bukanlah ajang perebutan kekuasaan, tetapi sebagai ajang untuk menawarkan ide. Kekuasaan adalah amanah dari rakyat karena mereka percaya pada ide yang ditawarkan. Partai politik semestinya adalah dapur ide untuk memajukan masyarakat, bukan kelompok ‘makar’ untuk merebut kekuasaan.
Beberapa penelitian klasik dalam Psikologi menunjukkan proses korupsi kepribadian yang terjadi karena kekuasaan. Zimbardo, seorang ahli Psikologi sosial, pada tahun 60-an melakukan sebuah penelitian yang setelah itu tidak boleh dilakukan lagi karena alasan etika. Penelitiannya sederhana, yaitu sebuah role-play yang partisipannya adalah mahasiswanya sendiri. Peserta eksperimen ini dibagi ke dalam 2 kelompok, yang masing-masing berperan sebagai narapidana dan sipir penjara. Setelah mereka mengerti peran masing-masing lalu mereka diminta menginap selama 7 hari di kampus. Peneliti mengamati perilaku mereka dari waktu ke waktu.
Penelitian yang direncanakan untuk berjalan selama 7 hari terpaksa harus dihentikan sebelum waktunya. Dari hari ke hari perilaku para mahasiswa yang berperan sebagai sipir penjara semakin kejam. Para mahasiswa yang berperan sebagai narapidana banyak mengalami kekerasan baik verbal maupun fisik. Mereka hanyut dalam perannya, lupa pada sejatinya diri mereka yang sebenarnya, yaitu teman sesama mahasiswa. Kekuasaan telah mengkorupsi kepribadian mereka.
Yang lebih parah lagi, kekuasaan juga mengkorupsi kepribadian para anak buah, para pendukung. Penelitian mengenai ketaatan terhadap perintah atasan dilakukan oleh Milgram para tahun 50-an. Dalam penelitian tersebut, pada setiap sesi terdapat dua orang partisipan, satu sebagai guru dan satu sebagai murid. Mereka diberi penjelasan bahwa eksperimen ini adalah tentang proses belajar. Hipotesis yang akan diuji adalah bahwa orang akan belajar dengan baik, kalau mereka dihukum ketika berbuat salah.
Hukuman yang diterapkan pada eksperimen ini adalah sengatan listrik yang bervariasi mulai dari yang berkekuatan rendah, sedang, sampai pada yang berkekuatan tinggi. Pada partisipan eksperimen dijelaskan bahwa sengatan listrik itu tidak berbahaya, sekedar menyakiti. Sang Guru adalah yang akan memimpin proses menghapal serangkaian kata-kata kemudian menguji ingatan muridnya. Dalam ujian yang dilakukan secara lisan tersebut Guru langsung mencek kebenaran jawaban Murid. Ketika Murid menjawab salah maka Guru akan memencet tombol untuk menghukum murid dengan sengatan listrik. Semakin banyak salah, murid akan mendapat hukuman semakin berat.
Ketika eksperimen berlangsung, setiap kali Murid dihukum, ia menjerit kesakitan. Sang Guru jadi ragu untuk melanjutkan eksperimen tetapi oleh peneliti diminta untuk tidak usah mempedulikan keluhan sang Murid, karena ia sudah teken kontrak untuk berpartisipasi dalam eksperimen tersebut. Dan Guru pun terus melanjutkan eksperimen tersebut walaupun Murid sudah menjerit-jerit kesakitan. Eksperimen ini dilakukan berkali-kali dengan partisipan mulai dari tukang sapu sampai CEO dari perusahaan, dan hasilnya tetap konsisten. Manusia akan taat kepada perintah otoritas yang dia akui apapun resikonya, karena ia merasa yang bertanggung jawab bukan dia tetapi yang memerintah. Mereka tidak sadar bahwa kepribadiannya telah terkorupsi oleh kekuasaan orang lain.
Lalu apakah kekuasaan itu haram? Bukan berarti demikian. Rasulullah ﷺ meramalkan kondisi umat Islam masa kini, “Kalian akan menginginkan kekuasaan, yaitu sesuatu yang akan disesali di hari kebangkitan”. Esensi dari pesan Rasulullah ﷺ tersebut adalah jangan pernah menginginkan kekuasaan, apalagi merebutnya, atau mempertahankannya. Kekuasaan adalah amanah yang akan datang dan itu adalah ujian yang tidak ringan. Penguasa yang adil adalah seorang yang takut ketika diberi amanah kekuasaan, seorang yang menggigil dan berkeringat dingin ketika diamanahi tanggung jawab, bukan orang yang merayakan kemenangannya atas kekuasaan. Oleh karena itu penguasa yang adil akan dijamin masuk surga, karena ia telah lolos dari ujian kekuasaan dan berhasil menjaga diri dari korupsi yang dilakukan oleh kekuasaan terhadap dirinya. Ketika seseorang menginginkan kekuasaan maka dia tidak dapat diharapkan untuk menjadi penguasa yang adil.
Demokrasi adalah mekanisme untuk memperjuangkan ide, tapi disalahpahami sebagai ajang perebutan kekuasaan. Rasulullah ﷺ adalah orang yang sangat demokratis, tetapi tidak ada kompromi jika menyangkut ayat-ayat Allah. Perintah Allah mestinya dijadikan patokan baku, tetapi interpretasinya, aplikasinya diputuskan secara demokratis, dan juga harus dengan cerdas. Demokrasi semestinya bukan hanya mengandalkan banyaknya suara tetapi juga “kecerdasan suara”.
Untuk mendapatkan “suara yang cerdas” itulah, maka diselenggarakan debat calon pemimpin. Namun yang terjadi, perdebatan bukan untuk menguji argumentasi tetapi menjadi ajang untuk “membela diri” dan “mengintimidasi”. Sebagai salah satu perangkat demokrasi, Pers seharusnya juga bersikap cerdas. Namun Pers saat ini juga memiliki kecenderungan yang sama, mereka lebih banyak mencari sensasi dan mengintimidasi pendapat yang berbeda. Pers sudah (masih) menjadi alat kekuasaan.
Demokrasi, atau apapun namanya, pada intinya adalah penghargaan pada perbedaan pendapat, dan proses keputusan yang diambil berdasarkan hikmah kebijaksanaan, bukan sekadar berdasarkan suara terbanyak, apalagi dikendalikan kekuasaan. Maksud dari “hikmah kebijaksanaan” adalah argumentasi yang cerdas dan bijak. Hal itu tidak akan diperoleh ketika ada nafsu kekuasaan, karena nafsu kekuasaan itu berlawanan secara diametral dengan hikmah kebijaksanaan.
Penguasa yang adil adalah orang yang tidak pernah menginginkan kekuasaan. Penguasa adil lahir dari sikapnya yang rendah hati, dan kekuasaan diperolehnya bukan dengan merebut, melainkan karena dipercayakan kepadanya sebagai amanah, karena kecerdasannya. Oleh karena itu kita perlu selalu belajar, dan tidak boleh mengklaim bahwa sikap dan pemahaman kita adalah yang paling benar. Itulah esensi dari kerendah-hatian. Dan kita mesti selalu terbuka terhadap pendapat yang berbeda untuk dapat belajar dari perbedaan itu, kemudian merumuskan solusi di atas perbedaan. Itulah esensi kecerdasan.
Sikap itulah yang menjadikan Islam menjadi rahmatan lil alamin, yaitu sikap rendah-hati yang cerdas. Wallahu a’lam bissawab.*

No comments: