Kunci Sukses Khalifah Umar bin Abdul Aziz

Umar melibatkan banyak bersinergi dengan ulama dalam memimpin, dan itu terbukti sukses Kunci Sukses Khalifah Umar bin Abdul Aziz
ILUSTRASI
MASA kepemimpinan Umar bin ‘Abdul ‘Aziz –meski hanya dua tahun setengah bulan (Ibnu Jauzi, Sirah wa Manaqib Umar bin ‘Abdul ‘Aziz, 94)- dalam Dinasti Umawiyah terbilang sukses. Pada masanya, keadilan benar-benar tegak. Rasa aman meliputi seantero negeri. Harta begitu melimpah ruah. Bahkan, pada suatu kesempatan, Umar bin Usaid memberi kesaksian tentang Umar bin Abdul ‘Aziz bahwa sebelum beliau wafat, masyarakat sudah dalam kondisi makmur.

Begitu sejahteranya, sampai sangat kesulitan mencari orang yang berhak menerima zakat karena Umar telah membuat mereka sejahtera. (Adz-Dzahabi, Siyaru A’lam al-Nubala, V/131). Melihat kesuksesan ini, tidak berlebihan jika Sufyan Ats-Tsauri, Tabi’in kenamaan sampai menyandingkannya dengan keempat al-Khulafā al-Rasyidīn (As-Suyuthi, Tārīkh al-Khulafā, 180).

Salah satu kunci sukses Umar bin ‘Abdul ‘Aziz dalam menjalankan roda pemerintahanya (99-101 H/717-720M) adalah sinerginya dengan para ulama. Beliau sendiri, dalam catatan sejarah dikenal sebagai amir (penguasa) yang alim (berilmu), atau dalam bahasa lain, umara sekaligus ulama. Dalam catatan sejarah, beliau terhitung sebagai ulama dan fuqaha besar sekaligus umara. Bahkan, seorang ulama bernama Maimun bin Mahran, menyebutnya sebagai mu’allim al-‘Ulama (Ibnu Jauzi, Ibnu Jauzi, 1984: 35).

Untuk mengetahui kedekatan beliau dengan ulama, nasihat Umar berikut bisa dijadikan ukuran, “Jadilah seorang ulama! Jika tidak bisa, maka jadilah seorang pembelajar! Jika tidak bisa, maka cintailah mereka! Jika tidak bisa, maka jangan murka kepada mereka.” (Sirah ‘Umar bin Abdul Aziz, 118). Kata-katanya ini bukan sekadar wacana teoritis. Dalam kehidupan nyata, memang ulama benar-benar begitu diperlakukan secara istimewa.

Pada masanya, ulama dijamin kesejahteraannya. Sebagai contoh, saat ia mengutus Ibnu Abi Malik dan Harits bin Muhammad ke suatu desa untuk mengajarkan as-Sunnah kepada masyarakat. Keduanya diberi upah. Yazid menerima, sedangkan Harits menolaknya, sembari berkata, “Aku tidak akan mengambil upah dari ilmu yang telah Allah ajarkan kepadaku.” Hal itu kemudian diberi tahukan kepada Umar bin Abdul ‘Aziz, lalu beliau berkomentar, “Aku melihat tidak menjadi masalah apa yang dilakukan Yazid. Semoga Allah memperbanyak orang seperti Harits (Ibnu Jauzi, Sirah Umar bin Abdul ‘Aziz, 141).

Mengingat begitu banyaknya ulama yang ikut andil dalam tampuk kepemimpinannya, tidak berlebihan jika Muhammad Shallabi dalam buku ‘Umar bin Abdul ‘Aziz Ma’alimu al-Tajdid wa wa al-Ishlah al-Rasyid ‘ala minhaj al-Nubuwwah menyatakan  bahwa pemerintahan yang dinahkodainya layak disebut “Daulah (negara) Ulama” (2006: 192). Penilaian ini lahir karena memang Umar melibatkan banyak bersinergi dengan ulama dalam memimpin, dan itu terbukti sukses.

Paling tidak ada tiga poin penting, sebagaimana paparan Shallabi (2006: 193, 195, 196), yang menunjukkan bahwa Umar bin Abdul ‘Aziz melibatkan banyak ulama dalam pemerintahannya: Pertama, beliau dikenal sangat dekat dengan ulama. Sebagai contoh, ‘Arāk bin Malik al-Ghifari (salah satu ulama yang dekat dengan beliau) dikenal sebagai sosok ulama yang sangat keras dalam mengusut kasus kedzaliman keluarga Marwan. Tentu saja, saran-saran dari ‘Arāk bin Malik ini, sangat diperhitungkan oleh Umar bin Abdul ‘Aziz.

Kedua, rajin meminta nasihat mereka. Ulama sekaliber Salim bin Abdillah bin Umar bin Khattab, Muhammad bin Ka’ab Al-Quradhi, Abu Hazim Salmah bin Dinar, Al-Qasim bin Mukhaimirah, Hasan al-Bashri dan lain sebagainya, adalah di antara ulama yang diminta nasihatnya oleh beliau.

Ketiga, melibatkan mereka secara langsung dalam menjalankan pemerintahan. Sebagai contoh, berikut ini adalah beberapa nama ulama yang dilibatkan dalam kepemimpinannya: Ma`mun bin Mahran diberi mandat memegang urusan pajak al-Jazirah; Abdul Hamid bin Abdurrahman bin Zaid bin Khattab sebagai gubernur Kuffah: Abu Bakar bin Umar bin Hazm sebagai gubernur Madinah Munawwarah.; Ismail bin Abi Muhajir sebagai gubernur Afrika; Addi bin Addi al-Kindi sebagai gubernur al-Jazirah, al-Furatiyah, Armeniya dan Azarbaijan; Ubadah bin Nasi bin Wabishah al-‘Abdi sebagai wali Raqqa; Wahab bin Munabbih sebagai penanggung jawab Baitul Maal di Yaman; al-Shalih bin Jubair al-Shudai sebagai penanggung jawab pajak untuk Umar.

Dari ketiga poin tersebut dapat disimpulkan bahwa salah satu kunci sukses Umar bin Abdul ‘Aziz ialah kebersamaannya dengan ulama dalam mengatur urusan pemerintahannya.  Sangat beralasan jika Imam Hasan Al-Bashri, ketika khalifah yang dikenal adil ini wafat, beliau benar-benar kehilangan, “Telah meninggal manusia terbaik.” (Ibnu Jauzi, 1984: 35).*/Mahmud Budi Setiawan

No comments: