Jihad dalam Perspektif Sirah Nabawiah

Dalam sirah nabawiah kita bisa mengetahui bahwa jihad perang dilakukan dalam skala negara
Jihad dalam Perspektif Sirah Nabawiah


TEMA ‘jihad’ sampai saat ini menjadi tema yang masih hangat untuk dibahas. Paling tidak, ada beberapa faktor yang membuat pembahasan ‘jihad’ masih hangat: Pertama, sejak runtuhnya gedung WTC, ada stigmatisasi yang begitu gencar terhadap konsep ‘jihad’ oleh Barat, yang dampaknya masih terus berjalan sampai hari ini. Biang dari perusakan gedung, dituduh sebagai teroris, yang acap kali menggunakan cara-cara kekerasan dalam mewujudkan misinya. Cara yang dimaksud adalah ‘jihad’. Indonesia pun tak luput dari pelabelan itu.

Kedua, makna jihad disalahpahami sedemikian rupa untuk kepentingan kelompok tertentu; sehingga, setiap kali orang mendengar jihad, pasti yang terlintas pada benaknya ialah hal yang negatif. Kata ‘syahid’ pun –sebagai bagian yang erat dengan jihad, disempitkan maknanya (baca: Wahiduddin Khan, al-Dīnu al-Kāmil, 187-192)

Ketiga, jihad dipahami secara parsial oleh kelompok Muslim tertentu, sebagai satu-satunya cara yang efektif untuk mengembalikan izzah (kemulian) bahkan khilafah bagi kaum Muslimin. Pandangan ini tanpa disadari, sudah sampai pada taraf yang memposisikan jihad sebagai tujuan, bukan sarana. Padahal –betapa pun pentingnya jihad-, ia adalah tetap sebagai sarana untuk mencapa tujuan (Wahiduddin Khan mengistilahkannya dengan unshur idhāfi [unsur ekstra] baca: al-Dīnu al-Kāmil, 206-207).

Keempat,pemahaman yang tidak komprehensif tentang konsep ‘jihad’ terus digencarkan di berbagai media sehingga menjadi masalah yang mendunia. Berangkat dari realita tersebut, penulis merasa perlu untuk menggali konsep ‘jihad’ dalam perspektif sīrah nabawiah (perjalanan hidup nabi) yang menggambarkan secara komplit sepak terjang Rasulullah Muhammad ﷺ.


Tentu saja, bukan berarti menafikan tinjauan al-Qur`an dan Hadits, karena keduanya adalah bagian fundamental dan otoritatif sekaligus otentik dalam menjelaskan perjalanan hidup beliau.

Sirah Nabawiyah

Ketika ditelaah kembali-dalam Sirah Nabawiyah-, konsep ‘jihad’ mengalami fase-fase berikut: Pertama, jihad dalam pengertian melawan hawa nafsu dan memerangi setan, sudah berlangsung sedemikian rupa sejak dakwah Islam tumbuh. Tiga belas tahun lamanya, Nabi Muhammad ﷺ mengajarkan jihad dalam pengertian tersebut. Mereka ditempa untuk mengendalikan melalui media penanaman akidah yang kuat dan tazkiyatu al-nafsi ( penyucian jiawa).  Pada fase ini tidak diperkenankan jihad dalam pengertian perang (M. Shallabi, al-Sīrah al-Nabawiah, 2/47-48).

Kedua, jihad dalam pengertian perang diizinkan bukan diwajibkan(yaitu ketika sudah berada di Madinah) (Baihaqi, Dalāilu al-Nubuwwah, 2/579). Sebagaimana yang terdapat dalam surat al-Haj: 39, ‘Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena Sesungguhnya mereka telah dianiaya. dan Sesungguhnya Allah, benar-benar Maha Kuasa menolong mereka itu’.

Ketiga, Jihad dalam pengertian perang diwajibkan dengan menjaga tiga hal: 1. Orientasi yang jelas (fi sabīlillāh). 2. Karena diperangi terlebih dahulu. 3. Tidak melewati batas. Sebagaimana ayat berikut: “dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.”(QS. Al-Baqarah: 190) [Syekh Khudairi, Nūru al-Yaqīn, 88).

Keempat, kewajiban jihad dalam pengertian memerangi orang-orang kafir secara umum. Dengan acuan: yang memerangi kaum Muslimin dan dibalut dengan asas ketakwaan. Sebagaimana firman Allah: “.…. dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana merekapun memerangi kamu semuanya, dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa.”(QS. At-Taubah: 36) [Yusuf al-Shalihi, Subulu al-Huda wa al-Rasyād, 4/5).

Dari fase-fase tersebut dapat ditarik beberapa poin penting: 1. Jihad dalam pengertian perang, dilarang pada awalnya karena kekuatan umat Islam masih belum cukup mumpuni. 2. Walaupun jihad ini diizinkan bahkan pada taraf diwajibkan, tapi tidak berdiri sendiri. Ada pengikatnya, yaitu: jika diperangi. Itu pun tidak boleh melewati batas, dan harus berasas ketakwaan.

Lebih dari itu, yang jarang disinggung ialah: bahwa jihad dalam pengertian perang –dalam sirah nabawiah- adalah sarana alternatif terakhir jika sudah tidak dimungkinkan lagi cara-cara penuh hikmah. Bila cara-cara lembut bisa digunakan, maka tidak diperkenankan menggunakan cara kekerasan.


Nabi Muhammad ﷺ sendiri selalu memilih dakwah yang lembut, bila masih dimungkinkan. Surat yang dikirim pada raja-raja di tahun ketujuh kenabian, serta nasihat-nasihat beliau kepada para sahabat yang diutus perang, selalu memprioritaskan cara-cara yang santun terlebih dahulu. Dan itu menjadi prinsip dakwah beliau. Beliau diutus sebagai rahmat bagi sekalian alam (QS. Al-Anbiya: 107) yang mengemban risalah dakwah kepada Allah ta`āla.

Kemudian, jihad dalam pengertian perang, tidak bisa dilakukan oleh sembarang orang. Dalam sirah nabawiah kita bisa mengetahui bahwa jihad perang dilakukan dalam skala negara. Artinya ketika kaum muslimin mempunyai kekuasaan, serta berdasarkan komando pemimpin. Bukan berdasarkan keinginan individu tertentu.

Ketika Nabi Muhammad punya kekuatan mutlak, -seperti pada saat pembebasan kota Makkah-, Sa`ad bin Ubadah berujar: “Sekarang adalah hari pembantaian” (Waqidi, al-Maghāzi, 48). Namun, simak baik-baik kata-kata Rasulullah pada Abu Sufyan: “Sekarang adalah hari kasih sayang. Hari di mana Allah telah mengagungkan Ka`bah” (Fathuddin, `Uyūnu al-Atsar, 2/221).

Bahkan tak hanya itu, diriwayat lain diceritakan bahwa beliau berkata pada tawanan perang saat itu: “Pergilah!. Sekarang kalian bebas.” (Ibnu Hisyam, Sīrah Ibnu Hisyam Saqa, (2/412). Demikianlah jihad dalam tinjauan sirah nabawiah. Jihad yang berbalut rahmat, berbasis ilmu, dan otoritas. Bukan jihad yang berdasarkan perilaku jahat, berbasis nafsu, dan sekadar keras.*/Mahmud Budi S

No comments: