Adzan, Keindahan dan Peradaban

Adzan, Keindahan dan Peradaban
PARA sahabat Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam suatu saat berkumpul dan bermusyawarah dengan beliau mengenai bagaimana memberikan tanda kepada masyarakat tatkala datang waktu shalat. Dari mereka ada yang menyampaikan,”Kita menabuh genderang seperti orang-orang Yahudi.” Ada pula yang menyampaikan,”Kita memukul lonceng seperti orang-orang Nashrani.” Namun, sahabat Abdullah bin Zaid bermimpi dimana ia ditalqin kalimat-kalimat adzan dan iqamah. Maka ia pun pergi menuju Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam, lalu menceritakan perihal mimpi yang ia alami. Setelah mendengar apa yang diceritakan Abdullah bin Zaid Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam sendiri menyetujuinya dan beliau memerintahkannya untuk mengajarkannya kepada Bilal bin Rabah. Akhirnya Bilal pun menyerukan adzan dengan kalimat-kalimat yang diajarkan itu. Demikianlah proses disyari’atkan adzan. (Syarh Al Yaqut An Nafis, hal. 219)
Para ulama pun akhirnya mendefiniskan bahwasannya adzan adalah perkataan khusus dengannya diketahui waktu shalat. (Manhaj Al Qawim dengan Hasyiyah At Tarmasi, 2/448)
Meski demikian, adzan bukanlah sekedar tanda bahwa waktu shalat tiba, ia juga merupakan bagian dari syiar Islam. Meski pendapat utama dalam madzhab Asy Syafi’i bahwa hukum adzan termasuk sunnah, namun ada pendapat ke dua yang menyatakan bahwasannya hukumnya fardhu kifayah, karena ia merupakan syi’ar Islam, jika demikian ketika seluruh penduduk sebuah negeri sepakat untuk meninggalkannya maka mereka harus diperangi. (Mughni Al Muhtaj, 1/319)

Suara Keras dan Merdu
Sebagai syi’ar Islam, maka disunnahkan muadzin memiliki suara yang tinggi, sehingga bisa didengar dari jarak yang cukup jauh. Oleh sebab itulah, ketika Abdullah bin Zaid Al Anshari menyampaikan mimpinya mengenai kalimat-kalimat adzan kepada Rasululullah Shallallahu Alaihi Wasallam, maka beliau bersabda,”Sampaikan kepada Bilal, sesungguhnya suaranya lebih tinggi daripada suaramu.” (Riwayat Ahmad)
Selain memiliki suara yang kuat hingga bisa didengar dari jarak yang jauh, disunnahkan juga muadzin memiliki suara yang merdu. Dimana Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam pernah memerintahkan dua puluh orang untuk mengumandangkan adzan, dan beliau kagum dengan suara Abu Mahdzurah. (Riwayat Ibnu Huzaimah)
Dalam hal ini, sejarah meriwayatkan bahwasannya ketika peristiwa fathu Makkah terjadi, Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam memerintahkan Bilal bin Rabah untuk mengumandangkan adzan di atas Ka’bah. Orang-orang dari kaum musyrikin pun marah besar terhadap hal itu, hingga mereka meniru adzan Bilal bin Rabah dengan bermaksud untuk mengejek. Diantara mereka adalah Abu Mahdzurah, dan ia memiliki suara paling merdu diantara orang-orang lainnya. Ketika ia mengumandagkan adzan dengan bermaksud untuk mengejek, Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam mendengarkannya dan beliau pun memerintahkan para sahabat untuk mendatangkannya. Abu Mahdzurah pun mengira bahwa ia hendak dibunuh, namun di Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam pun mengusap keningnya bagian atas keningnya serta dadanya dengan telapak beliau yang mulia. Abu Mahdzurah pun berkata,”Demi Allah, maka hatiku saat itu dipenuhi dengan keimanan dan keyakinan, dan saya tahu bahwa beliau adalah utasan Allah.” Maka Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam mengajarkan kepada Abu Mahdzurah Adzan dan memilihnya sebagai muadzin bagi penduduk Makkah. Di saat itu, Abu Mahdzurah berumur 19 tahun dan anak-anaknya setelah itu mewarisi sebagai muadzin di Makkah. (Hasyiyah At Tarmasi, 2/514)
Imam Asy Syarbini menyatakan mengenai sebab hukum mengenai sunnahnya memilih muadzin yang memiliki suara bagus,”Agar hati orang yang mendengar menjadi lembut dan ia pun condong untuk menjawabnya. Juga karena seorang penyeru hendaklah memiliki ucapan yang manis.” (Mughni Al Muhtaj, 1/324)
Ketika adzan dikumandangkan dengan suara merdu, ia akan menjadi wasilah datangnya hidayah. Raja Frederick II penguasa Jerman, Italia dan Sisilia meski seorang Nashrani, ia meminta izin kepada sultan Al Kamil Al Ayyubi untuk menginap satu malam di kota Al Quds hanya karena ingin mendengarkan adzan para muadzin di kota itu. (Mufarrij Al Kurub, 3/244-245)
Asal Muasal Menara dan Fungsi Sosial
Mengumadangkan adzan juga disunnahkan di tempat yang tinggi, seperti menara dan atap. Imam Ibnu Hajar Al Haitami Asy Syafi’i menyatakan bahwasannya adzan di tempat yang tinggi, disamping karena mengikuti Sunnah, juga agar suara adzan menjangkau tempat yang jauh. Disebut mengikuti sunnah berdasarkan hadits dari Aisyah Radhiyallahu anha,” Tidak ada jarak diantara adzan Bilal dan Ibnu Ummi Maktum kecuali jika salah satu dari mereka turun maka lainnya naik.” (Riwayat Bukhari dan Muslim)
Sebagaimana juga dalam hadits, bahwasannya seorang wanita bani Najjar mengatakan,”Rumahku adalah rumah yang paling tinggi di antara rumah-rumah yang berada di sekitar masjid, dan Bilal adzan di atasnya ketika fajar.” (Riwayat Abu Dawud)
Sedangkan menara sendiri awal mula dibangun di masjid Nabawi oleh khalifah Al Walid I di masa Bani Umayah. Dan di masa khalifah Umar bin Abdil Aziz, beliau membangun menara masjid Nabawi di keempat sudutnya. Sedangkan di Makkah yang pertama kali membangun menara adalah Abu Ja’far Al Manshur, khalifah kedua bani Al Abbasiyah. (Hasyiyah At Tarmasi, 2/ 516)
Selanjutnya menara tidak hanya berfungsi sebagai tempat untuk mengumandangkan adzan, di menara masjid-masjid di seluruh wilayah Muslim di malam hari dinyalakan lilin-lilin sebagai penerangan, hingga di masa digunakannya listrik. (Ifadah Dzawil Awham, hal. 67)
Ketika menara terang dengan lampu-lampu, maka para penduduk pun merasa tenang, sedangkan para musafir menjadikannya sebagai tanda, demikian juga kapal-kapal menjadikan menara masjid yang berada di pesisir sebagai mercusuar. (Muhadharat fi Tarikh Al Alam Al Islami wa Al Hadharah Al Islamiyah, hal. 151)

Adzan “Detak Nadi” Kehidapan Umat
Disamping memiliki fungsi keagamaan sebagai waktu masuknya shalat lima waktu, juga sebagai syiar Islam, adzan juga memiliki fungsi sosial. Dengan adanya adzan fajar, maka mulalilah aktivitas kehidupan berlangsung. Sedangkan berkumandangnya adzan dhuhur, maka situasi aktivit kehidupan menjadi tenang, dan masa istirahat berlangsung hingga waktu ashar. Kemudian setelah itu aktivitas berlangsung kembali hingga waktu maghrib. Dengan datangnya waktu isya’ maka segala aktivitas mulai berhenti. (Muhadharat fi Tarikh Al Alam Al Islami wa Al Hadharah Al Islamiyah, hal. 149)
Dengan demikian, adzan disamping merupakan tanda waktu shalat, ia juga syiar serta sudah menjadi bagian dari peradaban umat Islam.

No comments: