Bendera Rasulullah di depan masjid saat damai

Usamah pernah memancangkan Bendera Rasulullah di depan masjid saat damai Bendera Rasulullah dalam Damai dan Perang
Ilustrasi: Laa Ilaha Illallah
Oleh: Abu Kaffah al-Azhary

ULAMA Ahli Hadits asal Maroko, as-Sayyid Muhammad Abdul Hayyi al-Kattāni (1884-1962 M/ 1302-1382 H), dalam buku berjudul “Niẓāmu al-Hukūmah al-Nabawiyyah al-Musammā al-Tarātību al-Idāriyyah” (1995: I/263-267) memberikan informasi cukup lengkap mengenai bendera Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.
Bendera (liwā) yang pertama kali dikibarkan di hadapan Rasulullah ﷺ–bisa dilihat dalam kitab “Akhlāq al-Nabiy” karya Ibnu Hayyān al-Ashbahāny—adalah oleh Buraidah saat hijrah dan baru masuk Islam. Waktu itu Nabi menyuruhnya mengibarkan bendera saat masuk ke Madinah. Lantas ia copot serbannya kemudian diikat ke tombak kemudian berjalan ke Madinah dengan mengangkatnya.
Kisah itu menunjukkan bahwa bendera Rasulullah tidak hanya digunakan ketika perang, namun dalam damai pun bendera juga dipakai. Dalam peristiwa pembebasan Kota Makkah misalnya, beliau membawa bendera berwarna putih. Dan pada waktu itu kondisinya damai dan tak terjadi peperangan.
Bahkan ada riwayat yang menyebutkan bahwa saat Rasulullah ﷺ masuk Yatsrib (Madinah) ada orang Anshar yang bersumpah bahwa dia tidak akan memasukinya kecuali dikibarkan bendera di depannya. Kemudian dia mencopot surbannya kemudian mengibarkan bendera. Ada juga riwayat yang menyebutkan bahwa Usamah memancangkan bendera Rasulullah di depan masjid.
Ada beberapa hadits shahih yang menandaskan keberadaan bendera yang disebut dengan ‘liwā’ dan ‘rāyah’.Contohnya:
كَانَ لِوَاءُ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم أَبْيَض ، وَ رَايَتُهَ سَوْدَاء
Bendera ‘liwā’ Rasulullah berwarna putih dan ‘rāyah’-nya berwarna hitam.” (HR. Tirmidzi, Hakim, Ibnu Majah dan al-Khatib).
Berdasarkan riwayat Ibnu Sa’ad, Ibnu Ma’in dan Ibnu Asakir bendera (rāyah) Rasulullah bernama ‘al-‘Uqāb’.
Hadits ini hasan. Ada hadits lain misalnya pada waktu masuk Mekah –pada Pembebasan Kota Makah– ‘liwā’ nabi berwarna putih. Dengan adanya hadits shahih ini, maka tidak benarlah kalau ada yang mengatakan tak ada hadits shahih mengenai bendera Rasulullah.
Dalam sirah, ada dua macam bendera, yaitu: “liwā” dan “rāyah”. Ibnu al-‘Araby memberi penjelasan mengenai perbedaan antara keduanya. “Liwā” adalah bendera yang diikat di ujung tombak dan dililit (digulung) di atasnya. Sementara panji “rāyah” yaitu yang diikat padanya kemudian dibiarkan berkibar. Pendapat lain menandaskan bahwa “liwā” adalah bendera besar yang dipegang panglima besar, sedangkan “rāyah” dipegang oleh pimpinan-pimpinan militer di lapangan.
Di antara sahabat yang pernah ditugasi membawa bendera “liwā” dan “rāyah” adalah: Abu Bakar, Umar, ‘Ali, Zubair bin Awwam, Saad bin Mu’adz, Sa’ad bin Ubadah, Qais bin Saad bin Ubadah, Mush’ab bin Umair dan lain sebagainya. Data ini bisa dilihat misalnya dalam “Sīrah Ibnu Hisyām”, “Raudhah al-Anf” dan lain-lain. Di sini bendera sebagai alat untuk mengkoordinir pasukan ketika berjihad di medan perang.
Terkait panji “rāyah”, dalam sirah –seperti yang terjadi pada peristiwa pembebasan kota Mekah– masing-masing kabilah boleh menggunakan panjinya masing-masing. Sa’ad bin Ubadah misalnya, bersama rombongan Anshar membawa panji “rāyah” tersendiri. Artinya, tak ada masalah misalnya jika umat Islam memiliki bendera sebagai simbol dari organisasinya.
Hitam & Putih
Panji “rāyah” yang pertama kali dikibarkan dalam ekspedisi militer (sariyyah) adalah pada tahun kedua Hijriyah yaitu oleh Ubaidah bin al-Harts bin al-Muthallib. Pada tahun itu juga diutus juga Hamzah bin Abdul Muthallib dengan membawa panji “rāyah”. Ada juga pendapat yang menyatakan bahwa yang pertama kali diutus adalah rombongan pasukan Abdullah bin Jahsyin.
Menurut catatan Imam As-Suyuthi, panji “rāyah” pertama kali dikibarkan adalah pada Perang Khaibar. Sementara itu, pada ekspedisi sebelumnya, yang dikenal adalah bendera ‘liwā’. Dengan demikian, sebelum Khaibar yang dibawa oleh para sahabat adalah “liwā”.
Mengenai ukuran bendera Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau pernah memberikan amanat kepada Abu Zur’ah al-Faza’iy bendera warna putih sepanjang satu hasta dan lebarnya satu hasta. Demikian riwayat Ibnu Mindah.
Sedangkan terkait warna, ‘liwa’ Rasulullah ﷺ berwarna putih. Adapun rāyah berwarna hitam. Ada juga terdapat warna lain seperti kuning, merah dan debu (namun riwayatnya perlu ditinjau kembali). Riwayat yang menyatakan bendera orang Anshar berwarna kuning dari sisi sanad bermasalah. Hadits itu diriwayatkan oleh Ibnu as-Sakan dan Abu Nu’aim. Namun di dalam sanadnya ada rawi yang bernama Hud yang dimajhulkan oleh Ibnu al-Qaththan. Ada riwayat lain, tapi juga dha’if. Warna lain yang juga terdapat dalam hadits adalah merah, yaitu bendera yang dipegang oleh Bani Sulaim. Hadits itu diriwayatkan oleh Abu Nu’aim, Ibnu Abi ‘Ashim dan Thabrani dari Kurz bin Usamah. Namun sanadnya juga dha’if. Warna debu pun riwayatnya juga tidak sahih. Yang disebut oleh Ibnu Jama’ah dalam “Mukhtashar al-Siyar.”
Secara umum warna yang dominan adalah putih atau hitam.
Nama panji Rasulullah ﷺmenurut al-Qudhā’i dalam kitab “al-Anbā” adalah ‘al-‘Uqāb’ yang terbuat dari kain wol hitam. Riwayat lain menyebutkan dari kain wal namirah persegi empat. Ada juga bendera berwarna putih ada loreng hitam yang diberi nama ‘al-Riybah’.
‘liwa’ Rasulullah ﷺ berwarna putih. Adapun ‘rāyah’ berwarna hitam
La ILaha Illallah
Di dalam bendera Rasulullah ﷺsebagaimana diriwayatkan oleh Abdullah bin Muhammad bin Hayyan al-Ashbahani dalam kitab “Akhlāq al-Naby” dari Buraidah bahwa panjinya berwarna hitam dan benderanya berwarna putih. Dalam riwayat Ibnu Abbas ada tambahan tertulis kata: Lā ilāha illallāh Muhammadun Rasūlullāh. Kata Syeikh Muhammad al-Kattāny hadits bisa dicek dalam Musnad Ahmad, Tirmidzi dari Ibnu Abbas demikian juga Thabraniy dari Buraidah al-Aslamy dan Ibnu Addy dari Abu Hurayrah.
Hanya saja, ada perbedaan pendapat dikalangan ulama ahli hadits. Ibnu Hajar misalnya, dalam “Fath al-Bāri” menyatakan bahwa tambahan tulisan dua kalimat syahadat pada bendera statusnya “wāhin” (sangat lemah). Karena ada rawi yang dianggap ‘ikhtilath’ (hafalannya bercampur ketika tua).
Rawi itu bernama Hayyan bin Abdullah. Namun, perlu diungkap juga bahwa ada juga ulama yang menganggapnya ‘tsiqah’ (terpercaya) dan menganggapnya bisa diambil riwayatnya. Bukhari misalnya, menerima riwayat Hayyan bin Abdullah. Ibnu Hibban juga memasukkannya dalam kategori ‘tsiqah’ (tepercaya). Ikhtilath dalam penulisan lafal syahadatain ini tidak masalah, terlebih antara dirinya dan Rasulullah ada dua rawi yang kepercayaan yaitu Abu Mijlas Lahiq bin Humaid dan Ibnu Abbas.

Setelah penulis menyebutkan mengenai bendera Rasulullah berikut sepesifikasinya, beliau mengutip Wazir Jaudah Basya at-Turky terkait fungsi dikibarkannya bendera. Fungsi dibuatnya bendera adalah agar umat bisa berkumpul dalam satu bendera sebagai tanda persatuan. Sehingga, satu kata dan satu hati bagaikan satu jasad. Selain itu, ketika bendera berkibar di medan perang, maka membuat mereka optimis untuk menang dan banyak lagi fungsi lainnya.
Lalu bagaimana dengan penggunaan bendera tersebut sepeninggal Nabi?
Daulah Islam setelah Khulafaur Rasyidun –terlepas dari benar dan tidaknya sistem dan kepemimpinannya—menurut catatan sejarah juga menggunakan ‘liwā’ (warna putih) dan ‘rāyah’ (warna hitam). Sebagai contoh, Daulah Umawiyah menggunakan bendera warna putih. Sementara Daulah Abbasiyah menggunakan warna hitam. Bahkan Dinasti Fathimiyah pun menggunakan bendera warna putih.
Dari pembahasan ini, jelaslah bahwa bendara Rasulullah ﷺbetul-betul wujud dan begitu penting nilainya. Selain sebagai simbol persatuan umat pada satu pimpinan saat damai, ia juga menjadi faktor yang bisa menaikkan mental umat dalam medan tempur. Maka wajar ketika ada umat Islam yang merasa tersakiti ketika ada bendera bertuliskan Laa Ilaha Illallah dianggap ‘dilecehkan’.*
Penulis alumni Al Azhar, Mesir

1 comment:

admin said...

yasir master emang manstaaap , saya pembaca setia dari tahun 2006