Rahasia Khalid bin Walid Selamat dari Fitnah Jabatan

Pada akhirnya, kita berdoa, semoga pada tahun 2019 kelak, kita akan dianugerahi pemimpin sholih lagi bertakwa
Rahasia Khalid bin Walid Selamat dari Fitnah Jabatan

SAAT itu, Khalid bin Walid tengah memimpin pasukan untuk suatu peperangan. Tersebar isu, bahwa ia telah berbuat curang terhadap harta rampasan perang (ghonimah). Berita itu sampai ke telingan khalifah Umar bin Khathab di Madinah.

Di sisi lain, melalui kejernihan hati dan ketajaman pikirannya, Umar melihat telah tumbuh benih-benih fitnah pada kaum muslimin, terkait dengan kepemimpinan Khalid dalam kancah peperangan.

Mereka seakan meyakini bahwa kemenangan demi kemenangan dalam peperangan yang diperoleh, berkat kehebatan dan kejeniusan sang panglima perang; Khalid. Bagi Umar hal ini sangat berbahaya, karena mengarah kepada kesyirikan. Menggeser keterlibatan Allah.

Untuk mengetaskan dua persoalan ini, Umar mengutus Bilal bin Rabbah, mantan hamba sahaya, lagi berkulit hitam, namun mendapat kedudukan mulia di sisi Rasulullah saw dan para sahabat. Beliau ditugaska untuk memberikan surat keputusan khalifah kepada sang jenderal, Khalid bin Walid.


Inti dari surat itu; pertama; mengecek kebenaran berita tentang pengambilan harta ghonimah secara tidak adil. Bila itu benar, perintah Umar kepada Khalid agar segera bertaubat. Kabar itu dibantah oleh Khalid.

“Tidak (benar)!” jawabnya tegas.

Sedangkan yang kedua; sebuah keputusan, bahwa kedudukannya sebagai jenderal dilepas, dan digantikan oleh ‘anak buah’nya; Abu Ubaidah bin al-Jarrah.

Hal ‘unik’ terkait dengan pengutusan Bilal, Umar memerintahkan kepada Khalid untuk meletakkan pipinya di atas tanah, dan Bilal meletakkan telapak kakinya di wajah Khalid, ketika prosesi pembacaan surat Khalifah.

“Lakukanlah wahai Bilal…..,” jawab Khalid tenang, ketika Bilal menyampaikan wasiat amirul mukminin.

Kasak-kusuk pun terjadi antar kaum muslimin dengan peristiwa itu. Sampai ada yang memberanikan diri untuk bertanya langsung kepada Khalid, perihal perasaannya yang dicopot secara mendadak, tanpa ada kesalahan yang diperbuat.

“Ketahuilah. Sesungguhnya aku; Khalid, berjihad karena mencari ridha Allah semata. Bukan karena Umar atau manusia lainnya,” jelas Khalid.

Dua Karakter Mulia

Kisah di atas menggambarkan dua karakter mulia yang melekat pada Khalid bin Walid, sehingga tidak terperdaya oleh kekuasaan/jabatan. Pertama adalah jiwa keikhlasannya. Itu tercermin dari kesediaannya mematuhi perintah ‘atasan’ untuk meletakkan jabatannya, dan diganti oleh prajuritnya. Di sisi lain, ia masih setia berjuang, dengan status prajurit di bawah komando panglima baru.

Sebuah keadaan yang sejatinya sangat berat diterima. Lebih-lebih saat itu ia berada pada karir yang sangat cemerlang. Semua peperangan yang dipimpinnya berakhir dengan kemenangan. Tidak ada satu kesalahanpun yang diperbuat, sehingga mengharuskannya meletakkan jabatan.

Tapi nyatanya, Khalid bin Walid dengan lapang dada melepaskan jabatannya, tanpa harus terlebih dahulu bertanya, apa lagi menyoal kepada sang Khalifah, yang dipandang oleh sebagian orang tengah melakukan keputusan yang tidak adil.

Baca:/kajian/oase-iman/read/2015/07/28/74704/mereka-yang-rendah-hati-2.html Mereka yang Rendah Hati (2)

Lalu merugikah Khalid dengan kejadian ini? Sama sekali tidak. Justru karena sikapnya inilah kemudian, namanya harum semerbak dikenang sejarah. Julukan sebagai ‘Pedang Allah (Syaifullah)’ semakin nyata dipandang mata kaum muslimin. Terbukti dengan tidak kendurnya semangat jihad, meski statusnya telah berubah sebagai prajurit biasa.

Karakter inilah yang seharusnya dimiliki oleh kaum muslimin, wabil khusus mereka yang berjuang dalam dunia kepemimpinan/perpolitikan. Hilangnya keikhlasan, hanya akan menjadi batu sandungan tergelincirnya diri dalam kehinaan.

Bukan mustahil, terjatuhnya para politikus negeri ini ke lubang kehinaan, karena hilangnya atau tergantinya unsur keikhlasan dalam diri, berganti dengan kepentingan pribadi, keluarga, maupun kelompok/partai. Baik itu bentuknya ingin memperkaya diri, atau hendak melanggengkan kekuasaan.

Potret Fir’aun yang memiliki kekhawatiran tinggi, digantikan posisinya sebagai raja oleh salah seorang laki-laki dari keturunan Bani Israel, menjadi salah satu biang kekejamannya. Pada akhirnya kehidupannya berakhir dengan kehinaan. Dan terabadi sebagai pribadi hina.

Yang kedua adalah sikap rendah hati (tawadhu). Bukti akan hal itu; Pertama; kesediaannya mematuhi perintah amirul Mukminin Umar bin Khathab, untuk meletakkan pipi di atas tanah, dan kaki Bilal diletakkan di atas wajahnya, ketika dibacakan surat keputusan khalifah. Di depan seluruh prajurit pula. Yang kedua; kesediaannya untuk terus berjuang di bawah komando mantan prajuritnya.

Baca: Merasa Lebih Shalih dari Orang Lain Bukan Tawadhu’

Sungguh ini adalah ujian mentalitas yang luar biasa bagi seorang jenderal perang ternama. Sebab bila ditimbang dengan kaca mata materialistik, dua peristiwa ini benar-benar menghancur-leburkan kepribadian/kewibawaannya di mata manusia.

Khalid bin Walid sejak di jaman jahiliah adalah sosok yang ditokohkan. Panglima perang. Semua orang menaruh hormat kepadanya. Nasab keturunannya jelas. Mulia. Sedangkan Bilal bekas hamba sahaya. Kulitnya hitam legam. Tapi kepadanya Khalid harus ‘menghinakan’ diri.

Setali tiga uang dengan peristiwa yang kedua. Ia harus patuh kepada mantan anak buahnya, yang boleh jadi pengalaman kepemimpinan perangnya, masih sangat jauh dari Khalid.

Dengan posisi demikian, terasa ‘wajar’ kiranya Khalid menolak semua keputusan khalifah, andai saja sedikit egonya menguasai diri. Sebab ia memiliki ‘modal’ sebagaimana tersebut di atas. Tapi nyatanya, Khalid mampu menepis segala potensi buruk itu. Ketawadhuannya telah mampu menundukkan segala jenis ego, sehingga melahirkan kepatuhan terhadap segala keputusan yang diberikan.

Keyakinan akan kebenaran firman Allah; bahwa oarng terbaik di antara manusia adalah yang paling baik takwanya, menjadi patokannya. Sehingga ia sama sekali tidak memposisikan dirinya lebih baik dari Bilal mau pun Abu Ubaidah bin Jarrah, hanya karena silsilah keturunan, ataupun prestasi di kancah peperagan.

Pada akhirnya ia pun terbebas dari arogansi kepemimpinan, dan kesewenang-wenangan terhadap mereka yang berada di ‘bawah’nya. Sebab hanya kecongkaan (lawan dari tawadhuan) lah, yang memancing seseorang untuk melakukan kezoliman kepada mereka yang dipandang lebih lemah.



Rasulullah ﷺ bersabda;

وَإِنَّ اللَّهَ أَوْحَى إِلَىَّ أَنْ تَوَاضَعُوا حَتَّى لاَ يَفْخَرَ أَحَدٌ عَلَى أَحَدٍ وَلاَ يَبْغِى أَحَدٌ عَلَى أَحَدٍ

“Sesungguhnya Allah telah mewahyukan kepadaku agar kalian bersikap tawadhu’, sehingga tidak ada seorang ynag membanggakan diri di hadapan yang lain, dan tak ada seorangpun yang berbuat dholim kepada yang lain.” (HR. Muslim)

Aduhai. Kita dapati akhir-akhir ini, jauh sekali potret kepemimpinan Khalid, dengan realitas di lapangan. Betapa tidak sedikit pemimpin saat ini, justru membusungkan dada, dan dengan ‘PEDE’ memproklamirkan diri; dialah yang paling bisa/cakap dalam mengemban amanah kepemimpinan. Yang lain tidak. Sehingga bila ada gerakan yang dianggap menyelisihi, sekalipun itu sebatas mengingatkan kekeliruan yang dilakukan, dikekang, bahkan pelakunya dikriminalisasi.

2019 mendatang adalah tahun pemilu, dimana rakyat Indonesia akan memilih pemimpin, mulai dari tingkat daerah, hingga presiden. Ini adalah kesempatan untuk kita memilih pemimpin yang mengedepankan akhlakul karimah, selaksa Khalid.

Oleh karena itu, maka amati dan telitilah dalam menentukan pilihan. jangan sampai salah pilih, sehingga tidak merugi. Pada akhirnya, kita berdoa, semoga pada tahun 2019 kelak, kita akan dianugerahi pemimpin sholih lagi bertakwa, yang akan menghantarkan negeri ini ke arah ‘bal datun thibatun wa rabbun ghofur.” Allahumma aamiin.wallahu ‘alamu bis-shawab.*/Khairul Hibri, Pengajar di STAIL, Surabaya, dan ketua komunitas PENA Jawa Timur

No comments: