Dua Macam Ulama Perspektif al-Qur`an

Uulama Rabbani—adalah ulama yang mengorientasikan kehidupan dunia-akhirat mereka kepada Allah, Rab Semesta Alam

Dua Macam Ulama Perspektif al-Qur`an
DALAM al-Qur`an, kata ‘ulamā’ yang merupakan bentuk plural dari kata ‘ālim’ disebutkan sebanyak dua kali. Ulama pertama terdapat dalam surah Fathir [35] ayat 28; sedangkan yang berikutnya terdapat dalam Surah asy-Syu’ara [26] ayat 197.

Dari kedua macam itu, bisa dikategorikan dua macam ulama berdasarkan perspektif al-Qur`an: Pertama, ulama Rabbani. Yang murupakan ulama yang patut diteladani. Kedua, ulama Sū` (buruk) yang harus dijauhi perangainya.

Ulama Rabbani

Mengenai ulama jenis pertama, pembaca bisa membaca ayat berikut:

إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاء إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ غَفُورٌ

“Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama . Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” (QS. Fathir [35]: 28)

Pada ayat ini, yang disebut ulama adalah hamba-hamba Allah yang keilmuan yang dimilikinya membuatnya ‘khasyah’ (takut) kepada Allah. Takut di sini berbeda dengan kata ‘khauf’ yang biasa diterjemahkan dengan takut.

Syeikh Mannā’ al-Qaṭṭān dalam buku “Mabāhits fī ‘Ulūm al-Qur`ān” (2000: 207) menerangkan perbedaannya. Takut (khasyah) lebih tinggi tingkatannya daripada takut (khauf). Khasyah, rasa takut yang timbul akibat keagungan yang ditakuti, meski yang takut adalah orang kuat. Dengan kata lain, rasa takut yang disertai pengagungan.

Sementara rasa takut khauf,  timbul karena lemahnya orang yang takut. Meski yang ditakuti sebenarnya adalah perkara remeh. Di sisi lain, huruf dari kata ‘khasyah’ (kha, syin, ya) berdasarkan timbangan ilmu Sharaf menunjukkan keagungan. Karena itu, tidak mengherankan jika kata ini pada galibnya (umumnya) terkait dengan Allah Subhanahu wata’ala sebagaimana yang terdapat dalam surah Fathir ayat 28 dan Al-Ahzab ayat 39.

Dengan demikian, ulama seperti ini adalah ulama yang keilmuannya mengantarkannya pada rasa takut kepada Allah Subhanahu wata’ala disertai pengagungan kepada Allah Subhanahu wata’ala. Takutnya mereka kepada Allah, membuat semakin mendekat dan mengagungkan-Nya. Bukan seperti takutnya orang yang dikejar singa, misalnya.

Imam Abu Hamid al-Ghazali dalam “Ihyā` ‘Ulūm al-Dīn” (I/77) mengkategorikan ulama semacam ini sebagai “Ulamā al-Ākhirah” (ulama akhirat) yang kata beliau, selain ‘khasyah’ (rasa takut) juga diikuti ciri lain berupa: khusyuk, tawaduk (rendah hati), berkahlak mulia serta  memprioritaskan akhirat daripada dunia (zuhud).

Selain khasyah, ulama jenis ini –yang disebut Ali bin Abi Thalib sebagai ‘Ālim Rabbāny’ (ulama Rabbani)—adalah ulama yang mengorientasikan kehidupan dunia-akhirat mereka kepada Allah, Rab Semesta Alam.

Allah sendiri, salah satu asma-Nya adalah “al-‘Ālīm” yang biasa diartikan Maha Mengetahui (Luas Ilmu-Nya). Maka, sudah menjadi keniscayaan bagi ulama dengan tipe demikian untuk menyandarkan keilmuan dan orientasi hidupnya kepada Allah Subhanahu wata’ala. Bukan untuk kepentingan dunia yang fana. Betapa hebat pun keilmuan yang dimiliki, mereka sadar bahwa, “Di atas setiap orang yang punya ilmu, ada Allah Yang Maha Berilmu.” (QS. Yusuf [12]: 76)

Lebih jauh dari itu, jika Allah yang menjadi orientasi, ulama bisa belajar pada pasangan Asmaul Husna yang digandeng dengan nama al-‘Ālīm. Dalam al-Qur`an pasangan dari nama al-‘Ālīm, sebagai berikut: Wāsi’un ‘Ālīmun (2:115), Syākirun ‘Ālīmun (2:158), Samīun ‘Ālīmun (2: 181), Ālīman Hakīman- Hakīmun Ālīmun (4: 11 & 6: 83), Ālīmun Halīmun (4: 12), Ālīman Khabīran (4: 35) dan Ālīmun Qadīr (16: 70).

Berdasarkan pasangan-pasangan itu –menurut tadabbur penulis—yang dinamakan ulama, selain berilmu dan takut kepada Allah, dia juga semestinya adalah figur yang mimiliki keluasan (baik ilmu, wawasan, jiwa dan hal positif lainnya), pandai bersyukur (berterimakasih), pendengar yang baik, bijaksana, santun (pandai mengontrol diri, tak gampang emosi), memiliki keahlian (pengetahuan dan pengalaman mumpuni), dan memiliki kapasitas kemampuan.


Ulama Sū`

Mengenai ulama model selanjutnya, Allah berfirman:

أَوَلَمْ يَكُن لَّهُمْ آيَةً أَن يَعْلَمَهُ عُلَمَاء بَنِي إِسْرَائِيلَ

“Dan apakah tidak cukup menjadi bukti bagi mereka, bahwa para ulama Bani Israil mengetahuinya?” (QS. Asy-Su’ara` [26]: 197)

Dalam al-Qur`an ada beberapa ciri yang menunjukkan bahwa ulama Bani Israil –pada galibnya—  adalah ulama Sū` (buruk) yang tak patut diteladani. Bahkan termasuk kebanyakan dari Bani Israil sendiri juga memiliki ciri-ciri demikian.

Berikut ini adalah di antara ciri-cirinya: Pertama, menyembunyikan kebenaran (QS. Al-Baqarah [2]: 146). Kedua, menjual ayat-ayat Allah dengan harga yang murah (QS. Ali Imran [3]: 187). Ketiga, mengingkari kebenaran yang diyakini (QS. Al-Baqarah [2]: 89). Keempat,  mendistorsi ayat-ayat Allah untuk kepentingan diri sendiri (QS. An-Nisa [4]: 46). Kelima, memanipulasi kebenaran demi mendapatkan keuntungan duniawi yang sedikit (QS. Al-Baqarah [2]: 79).

Sebenarnya masih banyak sifat lain seperti, mencampuradukkan antara yang haq dan batil; suka menyalahi janji; tidak takut kepada Allah; menyuruh orang berbuat baik tapi melupakan diri sendiri; berhati keras; suka menyuruh berbuat munkar dan melarang berbuat baik; terlalu materialistik dan ciri negatif lainnya yang menunjukkan mereka adalah ulama Sū` yang tak pantas diteladani.

Demikianlah dua model ulama dalam perspektif al-Qur`an yang bisa dihayati ciri-cirinya. Mudah-mudahan, umat tidak salah pilih dalam menentukan ulama yang diteladani di akhir zaman ini yang penuh dengan ulama fitnah.*/Mahmud Budi Setiawan

No comments: