Kamp ‘Cuci Otak’ Penyiksa Muslim Pemerintah China

China menganggap Islam sebagai ancaman negaranya. China juga mendata iris mata, golongan darah dari warga Muslim Xinjiang berusia 12-65 tahun Kamp ‘Cuci Otak’ Penyiksa Muslim Pemerintah China [1]
Newsweek
China menganggap Islam sebagai ancaman negara
Jam demi jam, hari demi hari, Omir Bekali dan para tahanan lain di kamp indoktrinasi baru China diharuskan meninggalkan keyakinan Islam mereka, mengkritik diri mereka dan orang-orang yang mereka cintai dan harus mengucapkan terima kasih pada Partai Komunis yang berkuasa.
Ketika Bekali, seorang Muslim Kazakh, menolak menuruti perintah setiap hari, dia dipaksa berdiri di dinding selama lima jam setiap kalinya. Satu minggu kemudian, dia dikirim ke sel isolasi, di mana dia tidak menerima makanan selama 24 jam. Setelah 20 hari berada di kamp yang dijaga ketat itu, dia merasa ingin bunuh diri.
“Tekanan psikologisnya sangat tinggi, ketika Anda harus mengkritik diri sendiri, mengutuk pemikiran anda – pemikiran kelompok etnis anda sendiri,” kata Bekali, yang langsung menangis ketika dia menjelaskan kamp tersebut. “Saya masih memikirkannya setiap malam, hingga matahari terbit. Saya tidak dapat tidur. Pikiran-pikiran itu selalu bersamaku setiap saat, ” ujarnya dikutip APNews, Senin, 18 Mei 2018.
Sejak musim semi lalu, otoritas China di wilayah mayoritas Muslim, Xinjiang, telah menjerat puluhan, mungkin saja hingga ratusan ribu Muslim China – dan bahkan penduduk asing – dalam kamp penahanan. Kampanye penahanan ini telah terjadi di seluruh Xinjiang, sebuah wilayah yang setengahnya merupakan bagian dari India, oleh komisi AS di China pada bulan lalu sebut sebagai “penahanan massal terbesar dari populasi minoritas di dunia saat ini.”
Para pejabat China sebagian besar telah menghindari berkomentar mengenai kamp-kamp tersebut, namun beberapa dikutip oleh media pemerintah yang mengatakan bahwa perubahan ideologi dibutuhkan untuk memerangi separatisme dan ekstrimisme Islam.
China menganggap Islam sebagai sebuah ancaman pada keutuhan negaranya.
Tahanan Muslim di China Dipaksa Makan Daging Babi
Program itu bertujuan untuk mengubah pemikiran politik para tahanan, menghapus keyakinan Islam mereka dan membentuk ulang identitas (Muslim) mereka. Kamp-kamp telah semakin banyak selama setahun terakhir, dengan hampir tidak ada proses peradilan atau dokumen hukum. Para tahanan yang paling keras mengkritik orang-orang dan sesuatu yang mereka cintai diberi imbalan, dan mereka yang menolak untuk melakukan itu dihukum dengan sel isolasi, dipukuli dan dibiarkan kelaparan.
Kenangan Bekali, pria 42 tahun bertubuh kekar dan pendiam ini, memberikan apa yang tampaknya merupakan kisah paling rinci tentang kehidupan di dalam kamp yang terkenal sebagai kamp re-edukasi.
Associated Press (AP) juga melakukan wawancara langka dengan tiga mantan tahanan lain dan seorang mantan instruktor di pusat penahanan lain yang memperkuat penggambaran Bekali. Sebagian besar berbicara dalam kondisi anonim untuk melindungi keluarga mereka di China.
Kasus Bekali menonjol karena dia adalah seorang warga negara asing, Kazakhstan, yang ditangkap oleh badan keamanan China dan ditahan selama delapan bulan pada tahun lalu tanpa peradilan.
Meskipun beberapa rincian tidak mungkin diverifikasi, dua diplomat Kazakh memastikan dia ditahan selama tujuh bulan dan kemudian dikirim ke kamp re-edukasi.

Omir Bekali: ditangkap, disiksa dipenjara, kini harus kehilangan orangtua dan saudaranya [AP]
Program penahanan ini adalah sebuah tanda betapa beraninya aparat keamanan negara China di bawah pemerintahan garis keras Presiden Xi Jinping yang sangat nasionalistis. Hal ini sebagian besar berasal dari kepercayaan kuno China dalam perubahan melalui pendidikan – yang sebelumnya pernah dilakukan selama reformasi kebudayaan Mao Zedong, pemimpin China yang seringkali disebut Xi.
“Pembersihan budaya adalah upaya Beijing untuk menemukan solusi final terhadap masalah Xinjiang,” kata James Millward, sejarawan China di Universitas Georgetown.
Rian Thum, profesor di Universitas Loyola di New Orleans, mengatakan sistem re-edukasi China mengumandangkan beberapa pelanggaran HAM paling parah dalam sejarah.
“Analogi terdekat mungkin adalan Revolusi Budaya karena ini akan meninggalkan efek psikologis jangka panjang,” kata Thum. “Ini akan menciptakan trauma multi generasi di mana banyak orang tidak akan pernah pulih.”
Perubahan melalui edukasi sebuah “obat permanen”
Diminta untuk berkomentar terkait kamp penahanan tersebut, Kemenlu China mengatakan pihaknya “belum mendengar” situasi itu. Ketika ditanya mengapa warga negara non-China ditahan, lembaga itu mengatakan pemerintah China melindungi hak-hak warga asing di China dan mereka juga harus taat hukum. Pejabat China di Xinjiang tidak merespon permintaan untuk berkomentar.
Namun, potongan-potongan laporan dari media dan jurnal negara menunjukkan kepercayaan diri pihak berwenang Xinjiang berpegang pada metode yang mereka katakan bekerja baik membatasi ekstrimisme agama.
Jaksa tinggi China, Zhang Jun, pada bulan ini mendesak pihak berwenang Xinjiang untuk memperluas secara ekstensif apa yang disebut pemerintah “perubahaan melalui edukasi”
Dalam makalah bulan Juni 2017 yang dipublikasikan oleh jurnal negara, seorang peneliti dari Sekolah Partai Komunis Xinjiang melaporkan bahwa hampir 588 peserta yang disurvei tidak mengetahui kesalahan apa yang mereka telah lakukan ketika mereka dikirim untuk re-edukasi. Tetapi setelah mereka dibebaskan, hampir semua – 98,8 persen – telah belajar dari kesalahan mereka, makalah itu mengatakan.
Perubahan melalui edukasi, peneliti itu menyimpulkan, “adalah sebuah obat permanen.”
1 juta sedang Ditahan di Kamp re-edukasi
Di pagi yang dingin pada 23 Maret, 2017, Bekali berkendara menuju perbatasan China dari rumahnya di Almaty, Kazakhstan, mendapat stempel di passport Kazakhnya dan menyeberang untuk perjalanan kerja, tidak menyadari keadaan buruk yang akan dia masuki.
Bekali dilahirkan di China pada 1967 dengan orang tua etnis Kazakh dan Uyghur, dia pindah ke Kazakhstan pada 2006 dan menerima kewarganegaraan tiga tahun kemudian. Dia keluar dari China pada 2016, ketika pihak berwenang dengan tajam meningkatkan “Perang Rakyat terhadap Teror” untuk memberantas apa yang pemerintah sebut “separatisme dan ekstrimisme agama” di Xinjiang, sebuah wilayah besar China berbatasan dengan Pakistan dan beberapa negara Asia Tengah, termasuk Kazakhstan.
Xinjiang yang dia kenali tidak lagi sama seperti dulu. Mencakup semuanya, berbasis data pengawasan, yang melacak penduduk wilayah dengan jumlah 12 juta Muslim, termasuk etnis Uyghur dan Kazakh. (The Guardian, hari Rabu (13/12/2017), pernah menyebutkan, pihak berwenang mengumpulkan basis data berupa iris mata dan golongan darah dari semua warga yang berusia 12 tahun hingga 65 tahun di Xinjiang. Tujuannya, untuk mengendalikan beberapa wilayah di China yang disebut para pakar sebagai “penjara terbuka”).* >> (BERSAMBUNG)

No comments: