Fitnah Zaman Ruwaibidhah

Salah sebab hancurnya Daulah Umawiyah adalah karena menyerahkan urusan bukan pada ahlinya Fitnah Zaman Ruwaibidhah
SUATU hari, Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu menyampaikan fenomena akhir zaman yang pernah didengar langsung dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam:
سَيَأْتِيَ عَلَى الناَّسِ سَنَوَاتٌ خَدَّاعَاتٌ يُصَدَّقُ فِيْهَا الْكَاذِبُ وَيُكَذَّبُ فِيْهَا الصَّادِقُ وَيُؤْتَمَنُ فِيْهَا الْخَائِنُ وَيُخَوَّنُ فِيْهَا الأَمِيْنُ وَيَنْطِقُ فِيْهَا الرُّوَيْبِضَةُ قِيْلَ وَمَا الرُّوَيْبِضَةُ قَالَ الرَّجُلُ التَّافِهُ فِي أَمْرِ الْعَامَّةِ
“Akan tiba pada manusia tahun-tahun penuh kebohongan. Saat itu, orang bohong dianggap jujur. Orang jujur dianggap bohong. Pengkhianat dianggap amanah. Orang amanah dianggap pengkhianat. Ketika itu, orang “Ruwaibidhah” berbicara. Ada yang bertanya, “Siapa Ruwaibidhah itu?” Nabi menjawab, “Orang bodoh yang mengurusi urusan orang umum.” (HR. Hakim)
Hadits ini menunjukkan bahwa saat nilai sudah tumpang tindih dan tak begitu diindahkan: orang bohong dianggap jujur; orang jujur dianggap bohong; pengkhianat dianggap amanah; orang amanah dianggap pengkhianat. Di situlah muncul zaman Ruwaibidhah, yang dijelaskan nabi sebagai orang bodoh (pandir, dungu) tapi mengurusi orang umum.
Secara bahasa, Al-Jauhari berkata bahwa, “Ruwaibidhah adalah orang yang bodoh dan hina.” Sementara Ibnu Atsir –selain keduanya- menambahkan kata “khasiis” (buruk, rendah dan keji). Secara bahasa –masih menurut Ibnu Atsir- kata “Ruwaibidhah” adalah bentuk “tashghir” (ungkapan kecil) dari kata “Rabidhah” yaitu orang lemah (bodoh) yang mengurusi urusan-urusan penting di ranah publik. Tambahan kata “ta marbutha” di akhirnya untuk menambahkan tekanannya.
Dalam hadits-hadits yang semakna selain riwayat Abu Hurairah –seperti: Anas bin Malik dan Auf bin Malik- setidaknya ada tujuh ciri yang mensifati Ruwaibidhah:
Pertama, orang bodoh yang membicarakan urusan publik.
Kedua, orang rendahan.
Ketiga, orang “fuwaisiq” (fasik hina) yang berbicara urusan publik.
Keempat, orang fasik berbicara urusan umum.
Kelima, rendah, tidak dihiraukan (tak teranggap).
Keenam, orang bodoh yang berbicara urusan orang banyak.
Ketujuh, orang hina di kalangan masyarakat.
Dari beberapa ciri tersebut, mengandung subtansi yang sama: orang rendahan, bodoh dan hina, tidak mengerti ilmu mengurusi urusan publik (seperti: menjadi pejabat, penguasa dan lain sebagainya) tapi diberikan kesempatan seluas-luasnya untuk membicarakan atau mengurusi masalah orang umum. Ini gambaran jelas bahwa sesuatu tidak diserahkan kepada ahlinya. Sehingga, akan berdampak negatif secara sosial.
Hadits lain yang menyiratkan makna yang sama (penyerahan urusak kepada yang bukan ahlinya) misalnya:
وَإِذَا كَانَتِ الْعُرَاةُ الْحُفَاةُ رُءُوسَ النَّاسِ، فَذَاكَ مِنْ أَشْرَاطِهَا
“Bila orang yang telanjang tanpa alas kaki menjadi pemimpin manusia. Itulah salah satu tanda-tandanya.” (HR. Muslim)
Jika ada orang yang sebenarnya rendah dan tak mengerti ilmunya kemudian dijadikan pemimpin oleh kebanyakan orang maka itu adalah salah satu tanda-tanda kiamat.
Ada juga hadits lain yang semakin menguatkan fenomena Ruwaibidhah di akhir zaman:
إِذَا وُسِّدَ الأَمْرُ إِلَى غَيْرِ أَهْلِهِ فَانْتَظِرِ السَّاعَةَ
“Jika urusan diserahkan bukan kepada ahlinya, maka akan tunggulah terjadinya kiamat.” (HR. Bukhari).

No comments: