Penodaan Agama, Belajar pada Mohammad Natsir

Penodaan Agama, Belajar pada Mohammad  Natsir
Mohammad Natsir
Jadi bukan Islamnya yang perlu pembelaan, tapi kehadiran iman kita dan loyalitas kita kepada Islam agar Allah Subhanahu Wata’ala

BELAKANGAN ini Indonesia semakin sering  hebohnya kasus penistaan dan penodaan agama, khusunya terhadap agama Islam.

Masalah ini timbul sejak kasus Penistaan Agama yang dilakukan oleh Mantan Gubernur D. K. I Jakarta, Basuki Tjahaja Purama alias Ahok di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu, Jakarta.

Peristiwa tersebut terjadi saat mantan Wali Kota Belitung tersebut sedang meninjau program pemberdayaan budi daya ikan kerapu pada 27 September 2016 lalu. Dalam pidatonya, Ahok menyatakan agar masyarakat tidak dibodohi oleh surat Al-Ma’idah ayat 51 tentang pemimpin kafir. Hal tersebut menimbulkan reaksi yang sangat besar dari kalanagan umat Islam setelah video sambutan tersebut diunggah Buni Yani melalui laman Facebooknya. Karena pidatonya tersebut, Ahok terbukti telah menistakan agama dan dijerat dengan 2 tahun hukuman penjara setalah mengalami beberapa rangkaian persidangan.

Dua tahun kemudian, tepatnya hari Kamis (29/03/2018) lalu, umat Islam kembali diributkan dengan kasus serupa, Penistaan Agama. Kali ini, putri Presiden pertama Indonesia, Sukmawati dianggap melakukan Penistaan Agama Islam melalui puisinya yang berjudul “Ibu Indonesia”.

Puisi tersebut dibacakannya saat acara 29 Tahun Anne Avantie Berkarya Fashion Week 2018 di Jakarta. Di dalam puisinya, Sukmawati menyebutkan bahwa suara kidung Ibu Indonesia lebih merdu daripada suara adzan. Puisi tersebut juga menimbulkan reaksi yang cukup besar dari kalangan umat Islam Indonesia. Bahkan, Sukmawati dilaporkan oleh beberapa elemen masyarakat kepada kepolisisan dengan dugaan melanggar pasal 156a Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dan atau pasal 16 Unddang-undang (UU) no. 40 tahun2008 tentang penghapusan diskriminasi ras dan etnis.

    Baca: “Jihad Politik“ Mohammad Natsir

Kasus seperti ini nampaknya bukan hal baru. Pada bulan September 1929, seorang pendeta Protestan bernama A.C. Christoffels menggelar ceramah di sebuah gereja yang baru selesai dibangun dekat Pieterspark (sekarang Taman Merdeka), Bandung. Acara tersebut juga dihadiri oleh murid-murid Algemene Middelbare School (AMS), Sekolah Menengah Umum setingkat dengan SMA sekarang, termasuk Muhammad Natsir, salah satu pendiri partai Masyumi.

Di dalam ceramahnya yang berjudul “Mohammed als Profeet” (Muhammad sebagai Nabi), Natsir meniali bahwa Christoffelas telah menghina nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wassallam. Secara umum, Christoffelas mengakui bahwa Muhammad sebagai seorang Nabi, namun Christoffelas menempatkan Muhammad sebagai Nabi Perjanjian Lama kelas 3 saja.

Isi ceramah pendeta tersebut esoknya dimuat oleh surat kabar berbahasa belanda A. I. D secara utuh. Hal tersebut membuat hati Natsir gelisah dan segera melaporkan hal tersebut kepada gurunya, Tuan Hassan.

Tuan Hassan atau biasa dikenal dengan Ahmad Hassan merupakan guru besar Organisasi Islam (Ormas) Islam Persatuan Islam pada saat itu. Kegigihan Natsir dalam mencari dan mendalami ilmu agama mengantarkannya bertemu dengan A. Hassan di gang bernama Gang Belakang Pakgede, Bandung. Dari A. Hassan lah Natsir banyak mempelajari Islam melalui diskusi dan buku-buku berbahasa Arab dan Inggris yang ia peroleh dari A. Hassan.

Menganggap pentingnya untuk membantah tulisan Christoffelas tersebut, A. Hassan menyarankan Natsir untuk membuat tulisan dan dikirm ke surat kabar A. I. D. tersebut. Meski sempat ditolak karena alasan A. I. D tidak memuat tuisan yang membahas soal agama, akhirnya tulisan yang mengatasnamakan Komite Pembela Islam tersebut dimuat. Dari kasus tersebut, Komite Pembela Islam akhirnya membuat sebuah majalah berjudul “Pembela Islam”. Majalah tersebut sebagai sarana dan wadah untuk meng-kounter pemikiran-pemikiran yang berusaha mengikis Iman dan Islam pada zaman itu. Termasuk di dalamnya juga dimuat bantahan-bantahan dari M. Natsir terhadap pemikiran Soekarno yang berusaha memisahkan agama dari negara.

Nampaknya, kasus penistaan agama tidak hanya terjadi satu dua kali saja. Pada April 1931, Seorang pastur Katolik Orde Jesuit, JJ Ten Berge, menulis artikel bernada hinaan kepada Al-Quran dan Nabi Muhammad yang dimuat secara provokatif di Jurnal Studien.

“Kita lihat… bagaimana dia (=Muhammad) seorang antropomorfis, seorang Arab buta huruf, pemuas nafsu syahwat yang kasar, yang biasa tergolek di atas pangkuan perempuan, bagaimana dia akan mempunyai pandangan tentang ke-Bapak-an (di Surga) yang luhur,” demikian tulis Ten Berge.


Hal tersebut membuat Natsir merasa terusik dan sakit hati. Dalam Majalah Pembela Islam (no. 33) yang berjudul “Islam, Katolik, Pemerintah”, Natsir secara tegas mengkritik pemerintah (Hindia Belanda saat itu) yang dianggap tidak adil terhadap orang Islam dibandingkan dengan orang katolik dan kristen lainnya. Kritikan tersebut bermula ketika “Surat Tantangan” umat Islam yang ditujukan kepada Ten Berge untuk menghadiri rapat umum terbuka tidak disetujui oleh pemerintah.

Agaknya, pemerintah merasa khawatir jika akan terjadi konfrontasi yang dapat menimbulkan kekacauan. Akhirnya, surat yang ditandatangani oleh A. Bahaswan sebagai Ketua II Komite Sentral Al-Islam dan Wondoami selaku Sekretaris Umum disita pemerintah.

Natsir mengkritik sikap dan kebijakan pemerintah dengan kalimat, “Semua diserahkan kepada kerahiman dan ketinggian budinya Tuan Pastur yang terhormat!”.

Tidak hanya dengan sebuah kalimat, di dalam tulisan tersebut juga secara tegas dan terang-terangan Natsir menuliskan;

    “Bandingkan suara mereka yang gemuruh dan aksi mereka yang berurat-berakar dalam negeri kita sudah berpuluh tahun itu, dengan suara dua-tiga surat kabar dan perkumpulan-perkumpulan Islam yang ada sekarang. Bandingkan dengan segala apa yang sudah ditanggung oleh kaum Muslimin di dalam dan di luar negeri kita dalam puluhan tahun akhir ini, dengan sepuluh atau dua puluh vergedering (rapat) Komite Al-Islam yang pakai sensor polisi! Sesungguhnya! Apa yang telah dikerjakan oleh orang Islam masa-masa yang akhir ini berhubungan dengan segala apa yang membencanai agama dan kaum seagama mereka, hanyalah setipis-tipis iman yang bisa dibukukan oleh orang yang bertauhid dengan “la Illaha Illallah!” [Biografi M Natsir, Ajip Rosidi, 1990]



Islam tak Perlu Dibela?

Apa yang telah diperjuangkan oleh M. Natsir dan umat Islam pada masa itu bukanlah hal yang harus dilupakan. Bahwa perjuangan membela Islam dan apa yang terkandung di dalamnya merupakan kewajiban umat Islam sampai kapan pun dan di mana pun. Meskipun, Islam sejatinya merupakan agama yang tidak perlu dibela. Karena Islam sendiri adalah agama yang tinggi dan tidak ada yang lebih tinggi dari Islam.

Namun, kehadiran kita dalam barisan depan saat Islam itu sendiri dihina atau dilecehkan merupakan pembuktian dari Iman yang kita akui. Jadi bukan Islamnya yang perlu pembelaan, tapi kehadiran iman kita dan loyalitas kita kepada Islam agar Allah Subhanahu Wata’ala mencatat usaha kira menjaga agama ini.

Natsir mengajarkan kita bahwa sepahit apapun kebenaran harus diucapkan dan disampaikan, meskipun itu terhadap pemerintah atau penguasa. Karena di dalam hadits pun dikatakan bahwa Jihad yang paling utama adalah mengucapkan kalimat yang haq di hadapan penguasa yang dzholim.

Selain itu, kasus yang terjadi di zaman dulu dan zaman sekarang ini merupakan bukti bahwa umat Islam akan selalu mendapatkan tantangan guna untuk menguji kadar keimanan mereka. Bagaiamana sikap kita terhadap penghinaan Islam merupakan bukti nyata dari Iman yang bersemayam di hati kita. Wallahu a’lam bishowab.*

Penulis mahasiswa International Islamic University of Islamabad

No comments: