Perpustakaan Sebagai Jendela Peradaban

Perpustakaan al-Shahib bin `Abbād, abad 4 H berisi lebih dari buku-buku yang ada di semua negara Eropa Perpustakaan Sebagai Jendela Peradaban
1001 Inventions
Ilustrasi: Darul Hikmah-Baghdad
DR. Hamid Fahmy Zarkasyi dalam bukunya yang berjudul “Peradaban Islam Makna dan Strategi Pembangunannya” (2015: 10) menyitir statemen Sosiolog Muslim Agung Ibnu Khaldun, bahwa subtansi peradaban adalah ilmu pengetahuan. Dalam sejarah keemasan peradaban umat Islam, terbukti bahwa mereka memberikan penghormatan sangat besar terhadap karya-karya ilmu pengetahuan (Nakosteen, 1996: 87)
Salah satu jendela ilmu pengetahuan adalah buku yang kemudian berkembang menjadi perpustakaan. Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa perpustakaan adalah jendela peradaban. Perpustakaan-perpustakaan besar dalam sejarah umat Islam sebagai bukti paling riil bahwa peradaban Islam pernah eksis dalam dinamika peradaban dunia. Melalui perpustakaan, peradaban Islam bukan saja menjadi soko guru peradaban dunia kala itu, tapi juga menjadi jendela bagi bangsa-bangsa lain yang menginginkan peradaban tinggi.
Saat itu, ulama-ulama dan ilmuan muslim menaruh penghormatan besar kepada buku. Muhyiddin Ibnu ‘Arabi misalnya dalam “Muhâdharât al-Abrâr wa Musâmarah al-Akhyâr” -sebagaimana dikutip oleh Ahmad Shalaby dalam “History of Muslim Education” (1954: 75)- buku beliau ibaratkan sebagai tamu yang bisa singgah sebentar, tinggal bersama, menjadi bayangan diri, bahkan sebagai anggota badan manusia. Di saat yang lain, beliau mengumpamakan buku sebagai kebun raya, sebagai penyambung lidah bagi orang yang mati dan menjadi juru bicara bagi yang hidup.
Lain halnya dengan Jâhiz. Ilustrasi beliau mengenai buku cukup menarik. Baginya, buku akan diam selama pembaca membutuhkan kesunyian; akan fasih berbicara jika pembaca butuh wacana; tidak pernah menyela pembaca saat berbicara; saat pembaca kesepian, ia bisa menjadi rekan yang baik; sebagai teman yang tidak pernah mencurangi atau memuji pembaca; sekaligus sebagai teman yang tak membosankan. Maka tidak mengherankan jika, dalam sejarah peradaban umat Islam banyak didirikan perpustakaan yang menghimpun berbagai buku bermutu tinggi.
Pada masa keemasan Islam, perpustakaan sudah menjadi sebuah keniscayaan, baik di rumah, gedung pemerintahan, di desa, kota, di rumah sakit dan lain sebagainya. Banyaknya perpustakaan bisa dilihat dalam buku “Maadza Qaddama al-Muslimuuna li al-‘Aalam” (2009: I/223-225). Dalam buku ini, Dr. Raghib As-Sirjani menunjukkan beberapa macam perpustakaan sebagai bukti kecintaan umat Islam kala itu terhadap ilmu dan buku.
Paling tidak, ada lima macam perpustakaan kala itu: Pertama, perpustakaan akademi (seperti Baitul Hikmah). Kedua, perpustakaan khusus (seperti: Perpustakaan Khalifah Al-Mustanshir). Ketiga, perpustakaan umum (seperti: Perpustakaan Cordova yang didirikan Khalifah al-Hakam al-Mustanshir pada 350 H/961 M). Kelima, perpustakaan sekolah (seperti: Perpustakaan al-Faadhiliyah di Mesir). Kelima, perpustakaan masjid (seperti: Perpustakaan Al-Azhar dan al-Qairuwan).
Ketika itu, yang mencintai perpustakaan bukan hanya individu, bahkan apresiasi negara pun begitu tinggi. Khalifah Ma`mun –selaku Khalifah Daulah Abbasiyah- misalnya, memberi imbalan emas bagi para penerjemah buku, (Ibnu Abi Ushaibah, `Uyûnu al-Anbâ`, II/133). Para penulis pada masa itu sangat didukung dan dihargai oleh negara, sehingga produktivitas menulis sedemikian tinggi. Salah satu bukti produktivitas mereka bisa dilihat dari banyaknya perpustakaan.
Di antara contoh perpustakaan besar dalam Islam ialah: Perpustakaan Baghdad (yang jumlahnya sangat banyak, sampai-sampai bisa dibuat jembatan oleh Tartar). Perpustakaan Darul `Ilm Kairo (Setiap bagian berisi 18000 buku) lebih dari tujuh ratus ribu kitab.
Perpustakaan Cordova (berisi setengah juta kitab) Perpustakaan Tripoli (Raghib As-Sirjani, Kaifa Tushbihu `Âliman). Ada juga perpustakaan koleksi pribadi. Sebagai contoh: Abu al-Fadhl bin al-`Amīd, ketika dia mau pindah dari satu tempat ke tempat lain, ia membutuhkan seratus unta untuk mengangkatnya. Al-Shahib bin `Abbād, menurut penuturan Gustav Lobon dan Will Durent : “Perpustakaan al-Shahib bin `Abbād, pada abad keempat hijriah berisi lebih dari buku-buku yang ada di semua negara Eropa.”
Jika umat Islam menginginkan peradabannya tegak kembali, maka harus dimulai dari ilmu pengetahuan (Hamid, 2015: 88) Salah satu bagian fundamental dari ilmu pengetahuan adalah buku dan perpustakaan. Karenanya, umat mau tidak mau harus membangun tradisi keilmuan kuat dan literasi andal melalui perpustakaan-perpustakaan sebagai jendelan peradabannya yang pernah jaya di masa silam.*/Mahmud Budi Setiawan

No comments: