Mun’im Sirry dan Homoseksual

Menuduh “Ulama-Ulama Homoseksual” adalah hal yang dipaksakan dan gagal logika. Ulama-ulama sejati tak akan melakukan tindakan keji
Mun’im Sirry dan Homoseksual
Dua pelaku homoseksual di Mesir menutupi wajahnya, mereka tampak mengenakan cincin yang biasa dipakai orang berstatus menikah.
PADA hari Jum’at (16/9/2016 ) misalnya, ada penulis yang dikenal berpaham liberal, Mun’im Sirry menulis kolom berjudul cukup kontroversial: “Ulama-Ulama Homoseksual” di laman geotimes.co.id serta dishare di beberapa group WA. Orang yang pertama kali membaca judul yang munyulut perdebatan ini, pasti akan bertanya-tanya: ‘Memang ada ulama-ulama homoseksual?’ Namun, setelah mulai membaca paragraf kedua, rupanya penulis mengakui bahwa Al-Qur`an, terutama kitab fikih melarang keras hubungan seks sejenis. Ternyata yang hendak diangkat penulis, adalah adanya diskrepansi (ketidaksesuaian) antara teori dan kenyataan. Yang berarti, meski diharamkan keras, tapi pada praktiknya ada juga ulama yang homoseksual. Lantaran penasaran, saya pun membaca siapa yang dimaksud dengan ulama-ulama homoseksul. Mulai paragraf keenam, pembahasan mengenai ulama-ulama homoseksual dimulai. Lucunya, penulis berapologi dengan memberi tanda petik pada kata ulama, karena katanya bisa jadi akan dipersoalkan sebagian orang. Di sini ia sebenarnya ragu dengan penyebutan kata ulama. Sehingga ia memilih definisi sendiri secara generik, yaitu: Muslim yang berpengetahuan luas dan diakui di zamannya mempunyai kedudukan tertentu. Pertanyaannya, mengapa tanda petik itu tidak disebutkan sejak dalam judul sehingga tidak membingungkan pembaca? Di sini, ada inkonsistensi penulis sehingga bisa menyesatkan pemahaman publik. Baca: LGBT dalam Perspektif Hukum (Islam) Berikut ini adalah nama-nama yang dituduh sebagai ulama-ulama homoseksual oleh MS dan akan dikritisi satu persatu: Ibnu Bajah, Abu Nawas, Abu Sa’id Al-Haditsi, Abu Hatim As-Sijistani. Di antara rujukan andalan MS dalam menjelaskan homoseksualitas mereka adalah buku berjudul: “Nuzhah al-Albâb fîmâ lâ Yûjad fî Kitâb” (Terbitan: 1992) karya Syihabuddin Ahmad At-Tifasyi. Sebelum mengkritisi tuduhan MS, perlu diungkap terlebih dahulu mengenai kitab karya Tifasyi tersebut terkait motif penulisan dan hukum homoseksual (baik gay maupun lesbi) agar pembaca tidak salah paham. Pada halaman 45-50, bila dibaca secara cermat maka akan diketahui dengan jelas motif penulisan buku ini, yaitu: untuk ‘mizâh’ (bercanda) atau hiburan. Di sisi lain, yang tidak kalah penting (pada halaman 50) adalah untuk diambil pelajarannya, bukan untuk diikuti. Mengenai hukum ‘Liwath’ dan ‘Sihâq’ –yang merupakan homoseksual baik gay maupun lesbi- dibahas pada halaman 30-32. Di situ dijelaskan bahwa dalam Islam keduanya jelas-jelas diharamkan. Hal ini perlu dibaca supaya pembaca tidak salah paham terhadap At-Tifasyi. Bisa jadi nanti dengan karyanya ini, beliau dikira mengaffirmasi dan membolehkan tindakan menyimpang tersebut, padahal arahnya bukan ke situ. Sebagai tambahan, pada halaman 245, beliau juga membahas secara khusus mengenai tercelanya perbuatan lesbi. Dengan demikian, untuk membaca kitabnya perlu hati-hati, tidak bisa dibaca secara sepotong-sepotong. Ibnu Bajah Terkait Ibnu Bajah yang disebut homoseksual, MS beralasan dengan perkataan Ibnu Khaqan, penulis kitab “Qala’id al-Iqyan wa Mahasin al-A’yan” pernah dengan nada sinis menyebut Ibnu Bajjah tergila-gila dengan seorang budak berkulit hitam. Bahkan, Ibnu Khaqan sendiri sering disebut-sebut sebagai homo juga. Perlu dicatat, memang antara Ibnu Bajah dan Ibnu Khaqan terjadi permusuhan sengit. Meski demikian, yang menjadi pertanyaan, benarkah Ibnu Khaqan menuduh Ibnu Bajah berbuat homo? Lucunya, MS tidak mau membuktikan benar-tidaknya tuduhan Ibnu Khaqan, seolah lepas tangan begitu saja. Baca: Homoseksual dan Lesbian dalam Perspektif Fikih (1) Ahmad Amin dalam buku “Dhuhr al-Islâm” (2017) jilid III, menyatakan memang ada tuduhan miring dan sinis Ibnu Khaqan terhadap Ibnu Bajah, tapi tidak ditemukan tuduhan homoseksual. Justru tuduhan populer yang disematkan pada Ibnu Bajah adalah tuduhan ateisme. Malah, Ahmad Amin menyebut Ibnu Khaqan sampai menuduh macam-macam kepada Ibnu Bajah arena adalah masalah internal di antara mereka. Terlebih, sebelumnya ada riwayat yang menyatakan tentang pujian Ibnu Khaqan terhadap Ibnu Bajah. Abu Nawas MS juga menukil cerita tentang Abu Nawas dari kitab At-Tifasyi. Katanya, homoseksualitas Abu Nuwas bukan hanya diperoleh dari kesaksian banyak orang, tapi diakuinya sendiri. Tanpa ada kritik, MS menelan begitu saja cerita ini tanpa mencari kisah lain tentang Abu Nawas. Memang benar dalam syair-syair Abu Nawas ada yang membahas tentang hal-hal yang berbau amoral. Namun, menuduhnya berbuat homoseksual butuh pembuktian yang jelas dan nyata, bukan sekadar asal cerita langsung dipercaya. Karena, banyak juga tuduhan-tuduhan miring yang disematkan kepada Abu Nawas. Untuk diketahui, Muhammad bin Abi Umair dalam buku al-Bidâyah wa al-Nihâyah karya Ibnu Katsir (1417 H: 14/74) pernah mendengar Abu Nawas berkata: وَاللَّهِ مَا فَتَحْتُ سَرَاوِيلِي بِحَرَامٍ قَطُّ “Demi Allah, aku tidak pernah sama sekali membuka celana panjangku, untuk sesuatu yang haram.” Dengan demikian, tuduhan miring terhadap Abu Nawas perlu dikajih lebih dalam lagi. Sebab, jika tuduhan ini salah, maka memiliki konsekuensi hukum yang berat dalam Islam. Selain Abu Nawas ada juga yang dituduh homoseksual, yaitu: Abu Sa’id Al-Haditsi. Karena Al-Haditsi tidak jelas apakah ulama apa bukan, maka tidak perlu dikritisi dalam tulisan ini. Abu Hatim As Sijistani Dalam tulisannya yang begitu ramah LGBT ini, MS juga mencatut Abu Hatim As-Sijistani. Katanya, Abu Hatim adalah seorang sufi yang dikenal paling wara’ dan alim di zamannya, mengkhatamkan al-Qur’an setiap minggu, tapi “kana mula’an bil-ghilman” (dia menyukai anak laki-laki). Benarkah demikian? Apakah menyukai anak laki-laki ini dalam pengertian praktik homoseksual? Setelah saya cek dalam kitab At-Tifasyi, pernyataan itu terdapat pada halaman 165. Memang benar ada, tapi MS tidak utuh dalam menyebutkan kalimatnya. Di sini MS tidak jujur, terkesan memotong atau mencomot tulisan sesuai dengan kepentingannya saja. Padahal, kata-kata lengkapnya adalah demikian: وَكَانَ مَوْلَعًا بِالْغِلْمَانِ يَذْهَبُ فِيْهِمْ مَذْهَبَ الْاِسْتِمْتَاعِ بِالنَّظَرِ لَا قَضَاءَ الْوَطَرِ “Dia menyukai anak laki-laki. Pendapatnya mengenai mereka adalah (sekadar) senang melihat, bukan untuk memenuhi kebutuhan (biologis).” Jadi jelas, Abu Hatim hanya senang melihat, bukan mempraktikkan homoseksual. Dari beberapa kritik ini, jelaslah bahwa tulisan MS mengenai “Ulama-Ulama Homoseksual” terlalu dipaksakan dan gagal logika. Ulama-ulama sejati tidak mungkin melakukan tindakan keji tersebut. Kalaupun peristiwa tersebut memang benar-benar terjadi, sehingga menguatkan dugaan MS tentang adanya diskrepansi, maka masih diperdebatkan apakah mereka masuk dalam kategori ulama atau tidak dan sama sekali tidak menggugurkan hukum homoseksual yang sudah mapan. Kesembronoan paling fatal adalah ketika menyebutkan sumber secara tidak utuh untuk mengesankan sesuai pendapatnya, ini jelas-jelas tindakan tidak ilmiah. Semoga kita terhindar dari tuduhan palsu terhadap para ulama. Dalam buku al-Fiqh ‘ala al-Madzâhib al-‘Arba’ah (2003: V/125), Syekh Abdurrahman bin Muhammad ‘Iwadh Al-Jaziri dengan sangat tegas menunjukkan hukum homoseksual. Menurut catatan beliau, imam-imam madzhab sudah sepakat tentang keharaman dosa besar ini karena dalil-dalil yang sudah jelas. Meski demikian, di zaman sekarang –untuk berkompromi dengan LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, Trangender)- masih ada saja penulis muslim liberal yang mencoba menggoyah keyakinan yang sudah mapan ini dengan tulisan ambigu dan membingungkan publik.* Penulis alumni Al Azhar-Kairo dan PKU-Gontor

No comments: