Mahzab Hanbali, Hadits Dhaif dan Air Kencing Unta

Mahzab Hanbali, Hadits Dhaif dan Air Kencing Unta
Mazhab Hanbali dimasukkan sebagai aliran Ahlu al-Hadits. Ia terkenal sangat ketat dan teguh dalam menggunakan dasar sunnah
PENDIRI Mazhab Hanbali adalah Al-Imam Abu Abdillah Ahmad bin Hanbal bin Hilal az- Zadahili as-Syaibani. Ulama yang lahir di Bagdad tahun 164 H dan wafat tahun 241 H ini hafal al-Qur’an pada pada usia 15 tahun. Setelah itu belajar fiqih secara khusus kepada Abu Yusuf, murid terkemuka sekaligus sahabat Abu Hanifah.

Setelah mempelajari fiqih, ia menimba ilmu Hadits. Untuk mendapatkan ilmu ini, ia melanglang buana dari satu negeri Islam ke negeri lainnya.  Gurunya terbilang sangat banyak, mencapai 414 guru. Beberapa gurunya yang terkenal, di antaranya Ismail bin Ja’far, Abbad bin Abbad Al-Ataky, Umari bin Abdillah bin Khalid, Husyaim bin Basyir bin Qasim bin Dinar As-Sulami, Imam Syafi’i, Waki’ bin Jarrah, Ismail bin Ulayyah, Sufyan bin `Uyainah, Abdurrazaq, serta Ibrahim bin Ma’qil.

Salah seorang guru yang paling dicintainya yaitu Imam Syafi’i. Ia begitu bangga dengan  kemampuan sang guru yang luar biasa dalam ilmu fiqih ini. Selama 40 tahun ia selalu mendoakan Imam Syafi’i dalam shalatnya.  (Manaqib As Syafi’i lil Baihaqi, 2/254)

Padahal antara Imam Ahmad dan Imam Syafi’i pernah terjadi perdebatan dalam masalah hukum meninggalkan shalat. Imam Ahmad berpendapat bahwa orang yang meninggalkan shalat adalah kafir. Hal ini diluruskan oleh Imam Syafi’i bahwa keislaman atau kekafiran seseorang ditentunkan oleh dua kalimat syahadat, bukan shalat. (Thabaqat As Syafi’iyah, 2/6).

Namun demikian Imam Syafi’i bersaksi bahwa di Bagdad tak ada orang yang lebih terpuji, lebih saleh, dan yang lebih berilmu daripada Imam Ahmad bin Hanbal. (al-Mathla’ ‘Ala Abwabi Fiqih, 1/423).

Kepandaian Imam Hanbali dalam ilmu Hadis tak diragukan lagi. Beliau hafal 700.000 Hadis di luar kepala. Hadis sebanyak itu kemudian diseleksinya secara ketat dan ditulis kembali dalam kitabnya al-Musnad berjumlah 40.000 Hadits berdasarkan susunan nama-nama sahabat yang meriwayatkan.


Dengan kemampuan dan kepandaiannya, banyak ulama yang berguru kepadanya semisal Imam Bukhari, Imam Muslim dan Imam Abu Daud (Manaqib Imam Ahmad bin Hanbal).

Setelah mencurahkan waktunya selama 40 tahun menimba ilmu agama, Imam Ahmad bin Hanbal pun menjadi ulama yang berpengaruh. Ia menduduki jabatan penting dalam masyarakat Islam saat itu, yakni sebagai mufti.

Pada mulanya ia mengikuti mazhab gurunya, yaitu Imam Syafi’i. Tetapi setelah mampu berijtihad, ia membentuk mazhab sendiri. Imam Hanbali telah melakukan improvisasi dan pengembangan dari mazhab-mazhab sebelumnya.

Dasar-dasar hukum yang dijadikan sumber dalam istinbath hukum  yaitu Al-Qur’an dan Hadist. Bila tidak ada dalam al-Qur’an dan Hadits baru berpegang teguh pada ijma’. Kemudian mengambil fatwa sahabat selama tidak ada yang menentangnya. Jika terdapat beberapa pendapat sahabat dalam suatu masalah, yang diambil pendapat yang lebih dekat kepada Kitab dan Sunnah.

Hadits Dhaif

Mazhab Hanbali dimasukkan sebagai aliran Ahlu al-Hadits. Ia terkenal sangat ketat dan teguh dalam menggunakan dasar sunnah. Tak mengherankan dalam berbagai literatur, madzhab ini juga sering disebut dengan nama fiqh as-Sunnah. Imam Ahmad berpendapat bahwa barang siapa yang menolak hadits Rasulullah, maka sesungguhnya dia telah berada di tepi kehancuran. (Ibnul Jauzi, 182).

Dalam mengambil hukum, Mazhab Hanbali mendahulukan hadits walaupun dhaif  daripada ra’yu. Hadist  dhaif , dipakai jika tidak berlawanan dengan suatu atsar atau pendapat seorang sahabat.  Ia berpendapat Hadits dhaif  lebih disukai daripada pendapat menggunakan qiyas. (Muḥammad ibn ʻAlī ibn Ādam Ibn Mūsá, Mashāriq al-Anwār al-wahhājah…. 2/157).

Sebagai contoh, Imam Ahmad mengambil sabda Rasulullah tentang larangan menebang pohon sidrah (Riwayat Abu Daud). Hadits ini di mata Imam Ahmad termasuk dhaif . Karena tidak ada yang lain, hadits tersebut diterima.

Ketika tidak ditemukan hadist dhaif  yang tidak terlalu kedhaif annya, yakni yang tidak diriwayatkan oleh pembohong, baru Imam Ahmad menggunakan ra’yu. Ini dilakukan dalam kondisi darurat.

Namun sebagai mujtahid terkadang Imam Ahmad tidak mengambil sepenuhnya hadits shahih. Sebab tidak semua hadits Sahih di mata para fuqaha sifatnya qath’i dilalah meski qath’i tsubut.  Misalnya Hadits tentang larangan mendahulukan puasa menjelang Ramadhan dengan satu atau dua hari yang ada dalam riwayat Bukhari dan Muslim. Mayoritas fuqaha memakruhkan, namun Mazhab Hanbali justru membolehkan berpuasa sehari atau dua hari sebelum Ramadhan asal sebelumnya sudah berpuasa. (Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, 3/17).

Meski mazhab ini dikenal kokoh dalam memegang hadits, namun dalam beberapa produk hukumnya lebih ringan dibanding mazhab lainnya.


Misalnya dalam hal bersentuhan laki-laki dan perempuan, menurut mazhab ini tidak membatalkan wudhu. Demikian juga dalam hukum benda yang keluar dari tubuh hewan yang halal dimakan, baik lewat kemaluan depan atau belakang tidak termasuk najis. Ini didasarkan riwayat bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassallam mengizinkan seorang shahabatnya minum air kencing unta sebagai obat untuk penyembuhan. (Riwayat Bukhari dan Muslim).

Sedang Mazhab Asy-Syafi’iyah dan Al-Hanafiyah mengatakan najis berdasar hadits Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassallam  ketika diberi tiga benda untuk bersuci yang dua diambil karena keduanya batu dan satunya dibuang karena tahi yang sudah kering. (Riwayat Bukhari).

Dibandingkan dengan madzhab-madzhab fiqih lain, perkembangan pengikut Madzhab Hanbali bisa dibilang yang paling lambat. Ini disebabkan rata-rata ulama Madzhab Hanbali enggan duduk dalam pemerintahan, seperti menjadi qadhi (hakim) atau mufti. Baru pada beberapa abad akhir-akhir ini Mazhab Hanbali resmi menjadi mazhab pemerintah Saudi Arabiya. Daerah-daerah yang yang menganut Mazhab Hanbali adalah Libia, Mesir, Indonesia, Saudi  Arabia, Palestina, Suriah, Iraq, Jazirah Arab.

Ulama-ulama yang berjasa mengembangkan Mazhab Hanbali antara lain Abu ‘l-Qasim al-Karkhi (wafat tahun 881 M), Abdu ‘l-Aziz Ja’far (wafat tahun 910 M), Ibnu Qudamah (wafat tahun 1164 M), Ibnu Taymiah (wafat 20 Syawal tahun 749 H [15] / 1273 M) dan Ibnu Qayyim (wafat tahun 1296 M).*

Penelitin Insititut Pemikiran dan Peradaban Islam (InPAS) Surabaya, Sekretaris MIUMI Jawa Timur

No comments: