Mahar Tanpa Pengantin: Akar Konflik Yahudi-Muslim di Palestina Zionisme memang sejak awalnya merupakan sebuah ide dan gerakan yang sangat rentan dari sisi moralitas
Mahar Tanpa Pengantin: Akar Konflik Yahudi-Muslim di Palestina
Pengusiran warga Palestina setelah pendirian 'negara palsu israel' tahun 1948


PEMUDA asal Eropa itu mengamati keadaan Kota Yerusalem (Baitul Maqdis) pada suatu musim gugur di tahun 1922. Hujan turun hampir setiap hari, tetapi tidak menghalangi pandangannya atas persekitaran kota tua itu. Jalan-jalannya yang berliku serta gang-gang yang terpahat batu tampak di banyak penjuru. Di kejauhan, Masjid al-Aqsa dengan menara batu di tengah-tengahnya berdiri penuh keagungan. Sementara di luar tembok kota lama terbentang bebukitan yang tandus dan di beberapa tempat ditumbuhi pohon-pohon zaitun.

Dari teras atap rumah batu milik pamannya, pemuda Yahudi kelahiran Austro-Hunggaria itu, Leopold Weiss (1900-1992), mengamati orang-orang Arab yang lalu lalang. Orang-orang itu dalam pandangannya “penuh dengan gerakan spontan dan keagungan tindak-tanduk … yang sejak mula pertamanya mengesankan dalam kesadaran saya sebagai orang-orang negeri itu, penduduk yang telah diasuh oleh tanah dan sejarah mereka dan merupakan satu kesatuan dengan udara sekitar mereka.”

Tak berhenti di situ, saat mengamati seorang Arab Badui dengan tulang pipi menonjol dan janggut coklat kemerahan yang berdiri di atas sebuah jembatan lengkung, lamunannya pergi ke beberapa abad silam. Seolah yang dilihatnya itu adalah prajurit pengikut Daud yang melarikan diri dari terpaan rasa iri Thalut. Beberapa saat kemudian ia tersadar bahwa yang dilihatnya itu adalah seorang Arab, sama sekali bukan keturunan Yahudi seperti Nabi Daud dan bangsa yang dipimpinnya. Bagaimanapun, seperti yang ditulisnya dalam The Road to Makkah,sesuatu kemudian terlintas di dalam benaknya:

“Namunkeheranan saya hanya sebentar saja; karena segera pula saya tahu, dengan kecerahan yang kadang-kadang terungkap dalam diri kita bagaikan kilat yang menerangi dunia selama sedenyut jantung, bahwa Daud dan jaman Daud, seperti Ibrahim dan jaman Ibrahim, orang Arab lebih dekat ke sumbernya – dan demikian halnya dengan orang Badui masa kini – daripada orang Yahudi di masa sekarang, yang bersikeras bahwa merekalah keturunannya.”

Hanya lima tahun sebelumnya, 1917, Foreign Secretary Inggris, Arthur James Balfour (1848-1930), mengeluarkan suatu deklarasi yang menetapkan Palestina sebagai national home bagi bangsa Yahudi. Deklarasi tersebut asalnya merupakan sepotong surat dari Arthur Balfour yang mewakili pemerintah Inggris kepada Lionel Walter Rothschild (1868-1937), seorang bankir berpengaruh serta pemimpin komunitas Yahudi Inggris. Surat itu menjadi sumber legitimasi yang digunakan oleh gerakan Zionisme untuk menjalankan keinginannya mendirikan negara Yahudi di Palestina.

Proyek pemindahan orang-orang Yahudi dari berbagai negeri ke wilayah Palestina, yang sudah berjalan sejak akhir abad ke-19, kini semakin gencar dilakukan. Jumlah imigran Yahudi pun meningkat secara signifikan. Pelonjakan jumlah imigran Yahudi segera memicu konflik antara penduduk Muslim setempat dengan para pendatang ini. Yakin bahwa Palestina adalah tanah leluhur mereka yang sah, para pendukung gerakan Zionis tak merasa ragu untuk membalas atau berinisiatif menyerang penduduk Palestina.

Deklarasi Balfour – sebuah ikrar yang menurut Aljazeera “secara umum dilihat sebagai katalisator utama pembersihan etnis Palestina pada tahun 1948 serta penciptaan negara zionis Israel” – tentu tidak muncul begitu saja tanpa adanya lobi yang kuat dari tokoh-tokoh Zionis di Inggris. Salah satu tokoh penting ini adalah Chaim Weizmann (1874-1952), seorang Yahudi asal Rusia dan pimpinan gerakan zionis yang kelak menjadi presiden pertama negara Israel.


Sekitar dua tahun sebelum keluarnya deklarasi itu, Weizmann menyuarakan kepentingan zionis dengan begitu meyakinkan hingga Balfour, yang ketika itu belum menjabat sebagai Foreign Secretary, menangis haru dan berjanji untuk membantu mewujudkan mimpi zionis. Setahun setelah Deklarasi Balfour, Weizmann ditunjuk oleh pemerintah Inggris sebagai kepala Komisi Zionis yang dikirim ke Palestina untuk menjadi penasehat bagi menentukan nasib negeri itu ke depannya.

Pada tahun 1922, ketika Weizmann sedang dalam satu kunjungannya ke Palestina, Leopold Weiss yang sedang berada di negeri itu berjumpa dengannya di rumah seorang kawan Yahudi-nya. “Seseorang tidak mungkin tak terkesima oleh semangat yang tiada batas dari orang ini,” tulis Weiss dalam The Road to Makkah, “… dan oleh kekuatan intelek yang tampak pada jidatnya yang lebar dan tatapan matanya yang menusuk.” Tetapi ia berseberangan pandangan dengan pemimpin Zionis ini. Ia menentang zionisme sejak awalnya dan bersimpati pada orang-orang Arab, yang menurut pengamatannya ketika itu jumlahnya di Palestina lima kali lipat dibandingkan orang-orang Yahudi. Dalam pertemuan itu, ia mengkritik moralitas zionisme yang mengabaikan kepentingan orang-orang Arab-Palestina.

Bagi Weizmann pandangan itu tak bisa diterima, terlebih dari seorang keturunan Yahudi seperti Weiss. Baginya Palestina adalah negeri Yahudi yang perlu diambil kembali setelah mereka terusir dari sana. Bagaimanapun Weiss terus mengejarnya, bahwa dengan argumen yang sama orang-orang Arab bisa saja mengklaim kembali Spanyol, karena mereka pernah memerintah di sana selama 7 abad dan baru kehilangannya selama 5 abad, sementara orang-orang Yahudi hanya memerintah di Palestina selama sekitar 5 abad dan telah meninggalkannya selama dua milenium.

“Omong kosong,” jawab Weizmann tak sabar, “Orang-orang Arab hanya menaklukkan Spanyol; negeri itu tidak pernah menjadi tanah leluhur mereka yang asli ….”

Leopold Weiss pun memberi bantahan yang panjang atas pandangan Chaim Weizmann tersebut. “… orang-orang Yahudi juga datang sebagai penakluk Palestina. Jauh sebelum mereka ada banyak suku semit dan non-semit yang tinggal di sana …. Suku-suku ini tetap tinggal di sini pada masa kerajaan-kerajaan Israel dan Yudea. Mereka terus tinggal di sini setelah orang-orang Romawi mengusir keluar nenek moyang kita. Mereka masih tinggal di sini pada masa sekarang ini.”

Mereka ini menurut Weiss berkawin campur dan ter-arab-kan saat kekuatan Islam masuk ke wilayah itu. Secara gradual mereka menjadi Muslim, sementara sisanya tetap memeluk Kristen. “Tapi bisakah kamu membantah bahwa sejumlah besar penduduk Palestina, yang berbicara dengan bahasa Arab, baik Muslim ataupun Kristen, merupakan garis langsung keturunan dari penduduk asli tersebut;asli dalam arti telah tinggal di negeri ini berabad-abad sebelum orang-orang Yahudi datang?”


Chaim Weizmann hanya tersenyum sopan dan mengalihkan pembicaraannya ke topik yang lain.

Sikap Zionis sendiri terhadap orang-orang Arab-Palestina bukannya seragam dan tanpa perubahan. Ini dijelaskan dengan pemaparan yang tajam dalam buku The Invention of the Jewish people karya Shlomo Sand, seorang profesor bidang Sejarah di Tel Aviv University.

Saat terbit pada tahun 2008, buku ini menjadi best-sellerselama 19 minggu di Israel saja, tetapi isinya segera mengundang kontroversi karena menggugat banyak hal mendasar dalam sejarah Yahudi, seperti otentisitas asal-usul Yahudi dari Nabi Ibrahim, realitashistoris kerajaan Yudea dan Israel, hingga kenyataan sebenarnya tentangdiaspora Yahudi.

Sand menunjukkan bahwa banyak orang Yahudi yang sebenarnya tetap tinggal di Palestina dan tidak keluar dari negeri itu, khususnya saat negeri itu berada di bawah kekuasaan Romawi. Bahkan pada perkembangannya, agama Yahudi tersebar secara cukup signifikan di kalangan etnis non-Yahudi. Orang-orang Yahudi tetap ada di sana hingga akhir masa pemerintahan Romawi dan tampaknya menjadi bagian integral dari masyarakat baru yang hidup di bawah pemerintahan Islam selama lebih dari satu milenium berikutnya

Shlomo Sand mendiskusikan perubahan pandangan kalangan Zionis tentang orang-orang Arab yang ada di Palestina. Pada tahun 1918, dua tokoh zionis menulis sebuah buku berjudul Eretz Israel in the Past and in the Present yang menurut Sand berbasis penelitian mendalam serta rujukan yang luas. Kedua tokoh itu, David David Ben-Gurion dan Itzhak Ben-Zvi, masing-masing kelak menjadi perdana menteri dan presiden Israel, berpandangan bahwa kaum petani Arab-Palestina yang biasa disebut fellahin sebenarnya bukan keturunan Arab. Mereka adalah keturunan Yahudi dari masa lalu yang terserap dalam budaya Arab Muslim yang mendominasi kawasan itu sejak abad ke-7 Masehi. Ben-Gurion dan Ben-Zvi, sebagaimana diterangkan Sand, “dengan penuh keyakinan”menulis:
“Kaum fellahin bukan keturunan para penakluk Arab, yang menguasai Eretz Israel dan Suriah pada abad ke-7 Masehi. Para pemenang Arab tidak menghancurkan populasi petani yang mereka jumpai di negeri itu. Mereka hanya mengeluarkan para penguasa asing Byzantium dan tidak menyentuh populasi lokal. Orang-orang Arab juga tidak masuk menetap. Bahkan pada tempat tinggal mereka sebelumnya, orang-orang Arab tidak terlibat dalam pertanian ….Alasan sejarah mengindikasikan bahwa penduduk yang bertahan sejak abad ke-7 berasal dari kelas petani Yudea yang didapati oleh para penakluk Arab saat mereka mencapai negeri itu. Argumen bahwa setelah penaklukkan Yerusalem oleh Titus dan kegagalan pemberontakan Bar Kokhba orang-orang Yahudi sepenuhnya tak lagi bercocok tanam di tanah Eretz Israel adalah sebuah demonstrasi kebodohan total akan literatursejarahdan kontemporer Israel …. Walaupun mengalami represi dan penderitaan, populasi pedesaan tetap tidak berubah.”
Kedua tokoh ini menerbitkan buku mereka yang optimistik terhadap resepsi penduduk Arab-Palestina atas kehadiran imigran Yahudi hanya satu tahun setelah kemunculan Deklarasi Balfour. Mereka percaya bahwa peralihan para petani Yahudi ini menjadi Muslim bukanlah sebuah pengkhianatan, melainkan semata didorong oleh faktor-faktor materi. Bertahannya mereka di negeri itu sebenarnya merupakan sebuah bentuk loyalitas terhadap tanah leluhur mereka. Kedua tokoh zionis ini juga melihat Islam sebagai sebuah agama yang demokratis, beda dengan Kristen. Orang-orang yang masuk Islam diperlakukan sebagai saudara tanpa ada perbedaan status sosial. Pada intinya, David Ben-Gurion dan Ben-Zvi yakin bahwa penduduk Palestina yang memiliki akar Yahudi ini akan menerima kedatangan saudara-saudara jauh merekayang kembali dari diaspora.


Deklarasi ‘negara palsu israel’ dan pengangkatan David Ben Gurion jadi PM pertama, gambar atas: Foto pendiri zionisme Theodor Herzl [Newsweek]
Realita yang terjadi setelah itu ternyata berbeda. Keputusan Inggris menjadikan Palestina sebagai national home bagi bangsa Yahudi sama sekali bukan sebuah jalan yang menyatukan dua saudara jauh di negeri leluhur Yahudi. Keputusan itu justru menjadi sumber konflik berpanjangan di antara kedua belah pihak, Muslim dan Yahudi, yang belum pernah disaksikan oleh sejarah pada masa-masa sebelumnya. Tangis simpati Arthur Balfour di hadapan bujuk rayu Chaim Weizmann berlanjut dengan tangis darah penduduk asli Palestina. Mimpi yang terealisasikan bagi zionis Israel menjadi mimpi buruk yang panjang bagi masyarakat Arab-Palestina, Muslim dan Kristen.

Penduduk Palestina tidak menyambut baik kehadiran para pendatang Yahudi yang diorganisasikan oleh para pendukung Zionis. Orang-orang Arab-Palestina yang merasa dimarjinalisasi oleh Inggris dan terancam oleh gelombang besar kedatangan orang-orang Yahudi pasca Deklarasi Balfour melakukan serangan terhadap para imigran Yahudi. Para pendatang Yahudi pun membalas menyerang. Konflik mengalami ekskalasi pada masa-masa berikutnya dan tidak pernah selesai hingga hari ini.
Kenyataan itu mengubah pandangan zionis pada masa-masa berikutnya terhadap masyarakat Arab-Palestina. Penduduk Palestina tidak lagi dilihat sebagai saudara jauh yang memiliki akar keyahudian, atau setidaknya sebagai calon tetangga yang akan menerima dengan tangan terbuka kehadiran kaum imigran Yahudi. Bahkan orang-orang Palestina ini hendak dihapuskan dari lembaran sejarah.
Wacana utama yang dikembangkan di kalangan zionis selepas itu adalah bahwa para fellahin baru bermigrasi ke wilayah Palestina pada abad ke-19, sementara negeri itu dianggap nyaris kosong sebelumnya. Migrasi ini terus berjalan pada abad ke-20, didorong oleh daya tarik ekonomi zionis yang memerlukan banyak tenaga kerja baru di wilayah itu. Islam yang menguasai wilayah itu pada abad ke-7, kini, tidak lagi dianggap telah mengonversi penduduk Yahudi, melainkan justru mengusir mereka keluar dari wilayah itu.
Gagasan bahwa Palestina adalah sebuah negeri yang kosong sebenarnya bukannya sama sekali baru bagi kalangan zionis. Sebagian mereka, yang kelihatannya mendapat pengaruh dari Evangelis Kristen abad ke-19, sudah mengusung hal ini sejak sebelum Deklarasi Balfour. Konflik yang berpanjangan dengan masyarakat Arab setempat membuat gagasan ini menjadi lebih menarik untuk diterima oleh kalangan zionis dan terus disebarluaskan hingga ke masa yang belakangan.
Kini kaum zionis bukan hanya berusaha menguasai negeri Palestina yang mereka klaim sebagai tanah leluhur, tetapi juga menegasikan sepenuhnya eksistensi masyarakat Arab setempat di masa lalu. Mereka tak lagi tertarikdengan ide penyatuan masyarakat imigran Yahudi dengan penduduk Arab-Palestina. Yang tersisa hanya keinginan untuk “menikahkan” antara bangsa Yahudi yang tak punya negeri dengan tanah Palestina yang dianggap tak bertuan.
Bicara tentang “pernikahan” antara bangsa tak bertanah dengan tanah tak berbangsa, pada tahun 1914 Chaim Weizmann menulis dalam salah satu suratnya yang dihimpun dalam buku The Letters and papers of Chaim Weizmann:
“… ada satu negeri yang disebut sebagai Palestina, satu negeri tanpa penduduk, dan, pada sisi lain, ada bangsa Yahudi, dan mereka tidak memiliki negeri. Apa lagi yang diperlukan, karenanya, dibandingkan meletakkan batu permata ke cincinnya, untuk menyatukan bangsa ini dengan negeri tersebut? Para pemilik negeri tersebut, karenanya, harus dibujuk dan diyakinkan bahwa pernikahan ini menguntungkan, bukan hanya bagi bangsa dan negeri itu, tetapi juga bagi mereka sendiri.”
Para pemilik negeri yang dimaksud oleh Weizmann dalam surat itu tampaknya Turki Utsmani. Bagaimanapun, pada akhirnya zionis jelas hanya mencari keuntungan bagi diri mereka sendiri. Tak ada keuntungan bagi Turki maupun bagi penduduk Arab di Palestina.
Sejak awal Zionis memang hanya menginginkan tanah negeri itu bagi mereka. Mereka tak tertarik untuk hidup berdampingan dengan penduduk setempat. Karena itu eksistensi Arab-Palestina perlu dihapus dari atas peta dan ingatan sejarah. Dalam “pernikahan” itu, kaum Zionis Yahudi hanya menginginkan maharnya (tanah Palestina) dan tidak menghendaki pengantinnya (penduduk Arab Palestina). Hal ini kadang diekspresikan tanpa malu-malu oleh para pemimpin Zionis.
Tak lama setelah perang tahun 1967, misalnya,Golda Meir (1898-1978) mendiskusikan masa depan wilayah yang baru dikuasai dengan Perdana Menteri Israel, Levi Eshkol (1895-1969). Meir,sebagaimana diceritakan oleh The New York Times, ingin tahu apa yang akan dilakukan Eshkol terhadap lebih dari satu juta orang Arab yang tinggal di wilayah itu. Eshkol dengan ringan mencandai Meir, “Saya tahu, Anda menginginkan maharnya, tetapi Anda tidak suka dengan pengantinnya!”
Golda Meir, yang dua tahun setelah itu menjadi Perdana Menteri Israel, menjawab, “Jiwa saya mendambakan mahar itu, dan biarkan orang lain mengambil pengantinnya.”
Sebenarnya mereka bukan hanya menghendaki mahar tanpa pengantin. Mereka sesungguhnya telah memperkosa hak-hak penduduk Palestina dan kemudian merampas satu-satunya mahar yang dimilik bangsa Palestina: tanah negeri itu.
Zionisme memang sejak awalnya merupakan sebuah ide dan gerakan yang sangat rentan dari sisi moralitas. Seratus tahun sudah berlalu sejak Deklarasi Balfour dan tak ada tanda-tanda Yahudi Israel berusaha memperbaiki cacat moral mereka, kalau tidak malah dikatakan semakin memburuk.
Bagaimanapun, beberapa orang Yahudi yang masih mendengarkan suara hatinya telah menolak Zionisme sejak awalnya dan memilih untuk berpihak pada masyarakat Palestina. Demikian halnya dengan Leopold Weiss yang diceritakan di awal tulisan ini. Weiss yang belakangan masuk Islam dan berganti nama menjadi Muhammad Asad memilih untuk “menikah” dengan bangsa Arab Muslim secara tulus, tanpa mengharapkan sebarang mas kawin dari mereka. Hal ini agaknya karena ia sepenuhnya sadar, bahwa legitimasi moral jauh lebih kuat dan mendasar dibandingkan legitimasi yang ditopang oleh kekuasaan.*
Jakarta, 30 Desember 2017
Penulis doktor dalam bidang Ilmu Sejarah di International Islamic University Malaysia (IIUM). Mudir Pesantren for the Study of Islamic Thought and Civilizations (PRISTAC)
Daftar Pustaka
Asad Muhammad. 2004. The Road to Makkah. New Delhi: Islamic Book Service.
Sand, Shlomo. 2009. The Invention of the Jewish People (terj. Yael Lotan). London: Verso.
Weizmann, Chaim. 1983. The Letters and papers of Chaim Weizmann: August 1898 –July 1931 (ed. Barnet Litvinoff). Jerusalem: Transaction Books, dikutip dari books.google.co.id

No comments: