Hubungan Sihir dan Yahudi

Hubungan Sihir dan Yahudi
ilustrasi
DALAM hukum Islam, sihir termasuk dosa besar (al-kabair) yang diancam dengan siksa yang sangat pedih. Ia bahkan tergolong perbuatan kufur yang bisa mengeluarkan pelakunya dari agama Islam.
Sejumlah ayat dan hadits menjelaskan tentang hukum perbuatan tersebut. Ketetapannya jelas, ia adalah terlarang, hukumnya haram, dan pelakunya diganjar dosa jika tetap mengerjakannya.
Dalam Al-Quran Allah berfirman;
“Dan setelah datang kepada mereka seorang Rasul dari sisi Allah yang membenarkan apa (Kitab) yang ada pada mereka, sebahagian dari orang-orang yang diberi kitab (Taurat) melemparkan kitab Allah ke belakang (punggung)nya, seolah-olah mereka tidak mengetahui (bahwa itu adalah kitab Allah). Dan mereka mengikuti apa yang dibaca oleh syaitan-syaitan pada masa kerajaan Sulaiman (dan mereka mengatakan bahwa Sulaiman itu mengerjakan sihir). Padahal Sulaiman tidak kafir (tidak mengerjakan sihir), hanya syaitan-syaitanlah yang kafir (mengerjakan sihir). Mereka mengajarkan sihir kepada manusia dan apa yang diturunkan kepada dua orang malaikat di negeri Babil yaitu Harut dan Marut, sedang keduanya tidak mengajarkan (sesuatu) kepada seorangpun sebelum mengatakan: Sesungguhnya kami hanya cobaan (bagimu), sebab itu janganlah kamu kafir. Maka mereka mempelajari dari kedua malaikat itu apa yang dengan sihir itu, mereka dapat menceraikan antara seorang (suami) dengan isterinya. Mereka itu (ahli sihir) tidak memberi mudharat dengan sihirnya kepada seorangpun, kecuali dengan izin Allah. Dan mereka mempelajari sesuatu yang tidak memberi mudharat kepadanya dan tidak memberi manfaat. Dan sesungguhnya mereka telah meyakini bahwa barangsiapa yang menukarnya (kitab Allah) dengan sihir itu, tiadalah baginya keuntungan di akhirat, dan amat jahatlah perbuatan mereka menjual dirinya dengan sihir, kalau mereka mengetahui. Sesungguhnya kalau mereka beriman dan bertakwa, (niscaya mereka akan mendapat pahala), dan sesungguhnya pahala dari sisi Allah adalah lebih baik, kalau mereka mengetahui.” (Surah al-Baqarah [2]: 101-103).
Oleh Mufassir Syeikh Muhammad Ali ash-Shabuni, penjelasan ayat di atas diungkap dengan bahasa yang sangat indah ketika menerangkan kisah Nabi Sulaiman dan sihir. Sensasi lathaif at-tafsir (kehalusan tafsir) tersebut penulis kutip dari dari kitab Tafsir Ayat al-Ahkam Min Al-Qur’an (Cetakan Dar ash-Shabuni, Kairo: 2007, cetakan ke-1, halaman 52-54).
Berikut penjelasannya:
Pertama; Ayat di atas menceritakan perilaku busuk orang-orang Yahudi yang tidak pernah luput dari kejahatan dan niat yang buruk. Menurut ash-Shabuni, sihir belum dikenal kecuali muncul pertama kali dari kalangan orang Yahudi. Merekalah yang merusak akal manusia dan menjerumuskan ke jurang kebencian dan permusuhan. Olehnya sangat pantas jika orang-orang Yahudi digelari sebagai biang keburukan dan kejahatan di dunia ini.
Kedua; Ayat ini menggabungkan dua perkara sekaligus. Antara ancaman dan motivasi serta peringatan dan berita gembira. Hal itu tergambar ketika Allah menerangkan dua perilaku ang bertolak belakang. Orang Yahudi yang mencampakkan hukum-hukum Allah digambarkan dengan “nabadza fariqun min al-ladzina utu al-kitaba kitaballahi wara`a dzuhurihim”.
Sedang setelahnya Allah langsung menawarkan kebaikan dan pahala melipat bagi orang-orang beriman dan bertakwa. Allah berfirman, “wa lau annahum wattaqau lamatsubah min ‘indillahi khairun.”
Ketiga; Kalimat “an-nabdzu wara`a adz-dzuhr” dianggap oleh ash-Shabuni sebagai gambaran yang sangat pas terhadap kejahatan orang-orang Yahudi. Sebab hal itu bermakna mencampakkan kitab Allah ke belakang punggung-punggung mereka. Mereka tidak sekedar mengingkari al-Qur’an, namun juga berani melecehkan dan menghina al-Qur’an. Orang-orang Yahudi telah berpaling dari al-Qur’an dan lebih mempercayai omong kosong para tukang sihir pembual tersebut.
Keempat; Penyebutan kata “syaitan” dan “sihir” dalam ayat ini menunjukkan korelasi yang kuat di antara mereka. Bahwa perbuatan sihir tersebut tak bisa terlepas dari bantuan syaitan dan jin. Ironis, sebab tak sedikit manusia yang terpedaya dan percaya dengan klaim syaitan yang mengaku mengerti perkara-perkara ghaib.
Kelima; Ayat ini menggambarkan perbuatan sihir dengan kata “kufur”. Hal ini mengisyaratkan dampak besar dari perbuatan sihir. Seorang Muslim hendaknya berhati-hati dalam perkara sihir karena bisa menjerumuskan seseorang ke dalam jurang kekufuran dan syirik kepada Allah. Firman Allah, “innama nahnu fitnah fa la takfur” (sesungguhnya kami hanya cobaan (bagimu), sebab itu janganlah kamu kafir (karena mengerjakan sihir).
Keenam; Jika ada yang bertanya, apa maksud perkataan Nabi dalam haditsnya bahwa “Sesungguhnya keindahan bayan (bahasa) itu termasuk sihir”? Maka sejatinya yang dimaksud dalam perkatan tersebut bersifat majazi (bahasa kiasan). Terkadang dengan kemampuan menggubah bahasa yang indah, seorang penyair atau orator ulung sanggup “menyihir” orang-orang yang mendengarnya dengan ungkapan-ungkapan yang indah dan bahasa yang halus. Sebagaimana para penyihir sanggup membelokkan hati dan fikiran orang yang disihirnya.
Ketujuh; Jika ada yang bertanya, mengapa ada dua malaikat yang mengajarkan sihir kepada manusia, bukankah ia dosa dan sesuatu yang terlarang?
Jawabannya, mereka mengajari manusia tentang sihir bukan untuk dipercayai lalu diamalkan. Sebaliknya, orang boleh mempelajari sihir untuk mengetahi keburukan dan kejahatannya. Sikap selanjutnya, sihir harus dihindari bahkan diperangi atau dimusnahkan. Seorang penyair berkata, aku mengetahui keburukan bukan untuk (tujuan) yang buruk, tapi agar aku bisa menjauhinya. Dan sesiapa yang tak mengenali keburukan, dikhawatirkan justru akan terperosok ke dalam keburukan tersebut.*/Masykur Abu Jaulah

No comments: