Tuah Hatta-Sjahrir di Tanah Naira

Tuah Hatta-Sjahrir di bekas pengasingannya diyakini memberi inspirasi bagi warga.
Gedung Sekolah Tinggi Perikanan Hatta-Sjahrir serta Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan Hatta-Sjahrir serasa menyapa siapa pun yang singgah di Pulau Naira, Banda Naira. Dua kampus yang berdiri tepat di pintu masuk Pelabuhan Naira itu jadi pengingat Mohammad Hatta dan Sutan Sjahrir, dua tokoh bangsa yang pernah diasingkan di sana.

Dua lembaga pendidikan itu di bawah Yayasan Warisan dan Budaya Banda yang didirikan mendiang Des Alwi, warga Banda Naira. Sejak didirikan pada 2001, Sekolah Tinggi Perikanan Hatta-Sjahrir meluluskan sembilan angkatan. Adapun Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan Hatta-Sjahrir yang berdiri 2009 mewisuda dua angkatan.

Pembantu ketua I di kedua kampus itu, Budiono Senen, mengatakan, pendirian Sekolah Tinggi Perikanan Hatta-Sjahrir serta Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan Hatta-Sjahrir tidak sekadar menampung lulusan sekolah menengah atas atau sederajat di Banda Naira, tetapi lebih dari itu. Kedua sekolah tinggi ini juga merupakan penghormatan khusus terhadap jasa Hatta dan Sjahrir yang berkontribusi besar memajukan sumber daya manusia masyarakat Banda Naira.

Warga setempat bangga, Hatta, orang buangan Belanda, yang pernah hidup di kampung mereka, akhirnya menjadi proklamator kemerdekaan RI dan wakil presiden pertama RI. Begitu juga, Sjahrir yang pernah menjadi Perdana Menteri RI.

Jika kebanyakan rakyat Indonesia hanya mengenal kedua guru bangsa itu melalui pemikiran atau kisah dari mulut ke mulut, masyarakat Banda Naira, khususnya Pulau Naira, mengenal langsung kedua tokoh tersebut.

Deliar Noer dalam buku Mohammad Hatta, Biografi Politik (1990) mengungkapkan, setelah diasingkan di Boven Digoel, Papua, Hatta dan Sjahrir dipindahkan ke Banda Naira pada Desember 1935 sebelum akhirnya dibawa ke Sukabumi, Januari 1942. Dibandingkan dengan Digoel, pengasingan Banda Naira jauh lebih manusiawi.

Di Banda Naira, Hatta mendapat uang saku lebih besar, sekitar 75 gulden per bulan, yang dapat digunakan untuk menyewa rumah agak besar yang kemudian ia gunakan untuk mengajar. Sebelumnya, di Digoel ia hanya menerima 2,50 gulden per bulan.

Pendidikan

Selama menjalani masa pembuangan di Banda Naira, Hatta membuka sekolah sore untuk anak-anak setempat di rumah pengasingannya. Ia memberikan pemahaman tentang kondisi Banda dan Indonesia saat itu yang dikuasai penjajah. Doktrin tentang nasionalisme Indonesia ia berikan untuk melawan konsep status quo yang disajikan sekolah Belanda (Europeesche Lagere School/ELS) di sana.
Mata pelajaran yang paling ditekankan Hatta adalah Bahasa Belanda yang saat itu menjadi syarat untuk melanjutkan studi ke jenjang lebih tinggi. Hatta juga mengajarkan ilmu koperasi kepada tiga pelajar asal Minangkabau yang dikirim ke sana. Sebagian murid juga meminta pelajaran yang lebih praktis, seperti tata buku, ekonomi, dan persoalan perdagangan.

Tuah di bekas pengasingan itu, kata Budiono, diyakini memberi inspirasi bagi warga, terutama anak-anak yang memiliki cita-cita tinggi. "Kalau kita menghayati betul, ada kekuatan besar di sana yang memberi energi untuk kita," ujar Budiono.

Banyak anak sekolah yang sengaja datang sore hari untuk sekadar merasakan atmosfer di rumah pengasingan Hatta. Pilihan waktu sore itu disesuaikan dengan waktu Hatta dulu mengajar anak-anak Banda Naira.

Tempat itu inspirasi bagi warga agar serius mengenyam pendidikan pada era yang sudah bebas seperti saat ini. Pendidikan ialah hak setiap orang, tak ada lagi tekanan seperti yang dialami Hatta dan anak-anak Banda Naira ketika itu.

Jejak peninggalan Hatta masih terpelihara di rumah pengasingannya yang kini telah menjadi obyek wisata. Setiap bulan, lebih dari 50 wisatawan datang ke tempat yang dikelola Yayasan Warisan dan Budaya Banda itu.

Kenangan yang tersisa di sana antara lain tujuh meja dan bangku belajar di belakang rumah. Pada permukaan papan tulisnya masih terbaca bekas tulisan tangan Hatta dengan huruf tali berbunyi: "Sedjarah Perdjoeangan Indonesia Setelah Soempa Pemoeda di Batavia Pada Tahun 1928".

Oleh manajemen Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan Hatta-Sjahrir, tempat itu dijadikan laboratorium Program Studi Sejarah. Salah satu mata kuliah yang jadi kekhasan ialah sejarah Banda Naira yang materi pembelajarannya antara lain tentang Hatta dan Sjahrir.

La Ima La Ade (76), tokoh masyarakat Banda Naira, mengatakan, kehadiran Hatta dan Sjahrir telah mengubah wajah Banda yang hancur akibat nafsu serakah pemburu rempah-rempah, para penjajah.

Rempah-rempah resmi diburu secara kasar oleh penjajah mulai 1512 dengan kedatangan tim ekspedisi asal Portugis di bawah pimpinan d'Abrau dan Serrao. Mereka mencari pala (Myristica fragrans) dan cengkeh (Syzygium aromaticum) yang beredar luas di pasar dunia sejak zaman Romawi, seperti ditulis Des Alwi dalam bukunya, Sejarah Banda Naira (2010).

Generasi Banda Naira terancam dihabisi melalui pembunuhan ribuan orang kaya dan orang-orang berpengaruh oleh Belanda. Rempah-rempah yang menjadi kekayaan Banda Naira malah menimbulkan petaka.

Kendati dalam kondisi tertekan, menurut La Ima, pendidikan yang diberikan Hatta dan Sjahrir menghasilkan generasi emas Banda Naira yang kemudian turut memberikan kontribusi bagi Indonesia. Salah satunya adalah Des Alwi.

Saat disekolahkan Hatta dan Sjahrir ke Inggris, Des sempat terlibat dalam Konferensi Meja Bundar di Den Haag, 1949. Des juga berperan dalam pemulihan hubungan antara Indonesia dan Malaysia setelah konfrontasi.

"Tanpa Hatta dan Sjahrir, Banda tidak punya generasi sehebat almarhum Pak Des. Mungkin Banda Naira hanya dikenal dengan rempah-rempahnya saja," kata La Ima. 

(Fransiskus Pati Herin/Harian Kompas)

No comments: