Mengenal Abu Nuwas Ibn Hani

Sejak berabad-abad, setidaknya sejak berpuluh tahun sepanjang yang pernah kita dengar dan kita baca dalam literatur Melayu dan Indonesia, nama Abu Nuwas ibn Hani yang sering disebut dengan Abu Nawas dikenal sebagai tokoh lucu yang cerdik. Tidak hanya itu, asosiasi orang pun jadi terpengaruh. Demikian besar pengaruhnya, sehingga baru namanya saja disebut, orang sudah mau tertawa. Begitu pula bila terjadi suatu peristiwa yang tak masuk akal, karena kebodohan atau karena kepintarannya, orang lalu mengaitkannya kepada Abu Nawas. Demikian pula maksud orang mengaitkan perilaku seseorang dengan tokoh Abu Nawas bisa dalam arti pujian, bahkan terkadang bisa pula dalam arti cemoohan. Begitu lekat citra yang dapat kita tangkap dari sang tokoh Abu Nawas di negeri kita dalam dongeng atau pada buku-buku cerita. Lalu siapakah sebenarnya tokoh ini? Apakah tokoh ini merupakan tokoh rekaan para pengarang hikayat pada jaman dahulu, yang selalu dikaitkan dengan raja Harun ar-Rasyid, salah seorang khalifah dari dinasti Abasiyah ? Apakah tokoh Abu Nawas itu hanya cerita seribu satu malam atau memang pernah hidup ?

Abu Nawas, yaitu seorang jenaka atau pandai melucu dan banyak akalnya, bahkan kadang kala berlaku “konyol”. Sehingga berhasil memperdaya raja Bagdad (Khalifah Harun ar-Rasyid). Alih-alih dijatuhi hukuman, tetapi pada akhirnya malah mendapatkan hadiah uang dari raja, karena akal bulusnya dapat menyelamatkan nasibnya dari perangkap raja. Alkisah, raja selalu saja berusaha mencari akal untuk menjerat Abu Nawas agar raja memiliki alasan menghukum Abu Nawas.

Tokoh ini sebenarnya jelas sekali sejarahnya. Dalam literatur berbahasa Arab dan beberapa literatur berbahasa Barat, baik dalam penulisan sejarah sastra Arab atau biografi, tokoh ini dikenal hanya dengan satu sebutan, sebagai penyair besar dengan gaya yang khas. Abu Nawas atau sering pula disebut dengan nama Abu Nuwas, penyair Arab termasyhur pada masa Khalifah Harun ar-Rasyid (786-809M) dari Dinasti Abasyiyah. Nama lengkapnya adalah Abu Nuwas al-Hasan bin Hani al-Hakami. Ayahnya seorang anggota tentara Marwan bin Muhammad, khalifah terahir Dinasti Bani Umayah di Damascus. Ibunya, Jelleban, adalah seorang wanita Persia yang bekerja sebagai pencuci kain wol (bulu domba). Ketika ia masih kecil ayahnya meninggal dan kemudian ibunya membawanya ke Basra. Disana ia belajar bahasa dan sastra Arab, belajar agama (hadis dan al-Quran), sejak masih kecil sudah menampakan bakat dalam sastra terutama syair Arab. Berkat kepandaiannya dan bakat kepenyairannya, kemudian membawanya ke Ahwaz dan setelah itu ke Kufah.

Di kota Kufah ia belajar kepada penyair Arab, Khalaf al-Ahmar, yang kemudian menyuruhnya pergi berdiam di pedalaman padang pasir bersama orang Arab Badui untuk mendalami bahasa Arab selama setahun. Setelah itu pindah ke Bagdad dan berkumpul bersama para penyair di kota itu. Ia pun berhubungan dengan beberapa amir dan menggubah puisi pujian (madh) bagi mereka.

Berita tentang kepandaiannya dalam berpuisi sampai ke istana Harun al-Rasyid, khalifah Dinasrti Abasiyah, ia dipanggil untuk menjadi penyair istana dengan tugas menggubah puisi pujian untuk khalifah. Pada suatu ketika ia melantunkan puisi yang menghina kabilah Arab Mudar sehingga Khalifah murka kepadanya dan memenjarakannya. Setelah bebas, ia berpaling dari Khalifah dan mengabdi kepada pembesar istana dari keluarga Barmak. Ia meninggalkan Bagdad setelah keluarga Barmak dibinasakan oleh Kalifah pada tahun 803 M. Ia pergi ke Mesir dan menggubah puisi untuk gubernur Mesir, Khasib bin Abdul Hamid al-Ajami. Setelah Khalifah Harun al-Rasyid meninggal dunia ia kembali ke Bagdad dan menjadi penyair istana bagi Khalifah al-Amin. Pada masa tuanya, ia cenderung meninggalkan kesenangan dunia dan menjalani hidup zuhud (bertapa).

Puisi-puisi Abu Nawas (Abu Nuwas) terdiri atas beberapa tema: pujian (madh), satire (hija’), kehidupan zuhud (zuhdiyat), penggambaran khamar (khumrayat), wanita dan cinta (gazaliyat), lelucon dan senda gurau (mujuniyat). Puisi khumrayat-nya membuat dia dikenal sebagai “penyair khamar” karena ia yang pertama kali mengangkat khamar, minuman haram, sebagai tema puisi. Dalam khumrayat, dia memberikan kelezatan dan keburukan khamar, tentang buah anggur, pemerasannya dan pengolahannya, rasa khamar, warna dan baunya serta para peminumnya yang mabuk. Ia memperolok hadis yang melarang minum khamar karena menurutnya khamar dapat menyenangkan hati yang risau dan gundah, dan dapat bersenang-senang dengan wanita-wanita cantik yang menuangkan khamar ke dalamgelas. Tetapi pada masa menjelang ahir hayatnya, ia menggubah puisi zuhdiyat, mengungkapkan rasa penyesalannya dan taubat atas kesalahan dan dosa yang telah diperbuatnya dibarengi dengan keinginan untuk hidup zuhud. (Riwayat hidup Abu Nuwas (Abu Nawas) dikutip dari Ensiklopedi Islam, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1993: 45,46)

Mengenai tahun meningalnya, banyak versi yang saling berbeda. Ada yang menyebutkan tahun 190 H/806 M, ada pula yang 195H/810 M, atau 196 H/811 M. Sementara yang lain tahun 198 H/813 M dan tahun 199 H/814 M. Konon Abu Nawas meninggal karena dianiaya oleh seseorang yang disuruh oleh keluarga Nawbakhti – yang menaruh dendam kepadanya. Ia dimakamkan di Syunizi di jantung Kota Baghdad.

Dalam dunia pendidikan, kisah Abu Nuwas yang sudah familiar di telinga masyarakat kita dapat menjadikan sosok Abu Nuwas sebagai tauladan yang mana banyak sekali hal-hal luar biasa terjadi padanya. Perjalanan hidup Abu Nuwas yang diawali dengan terjebak dalam gemerlapnya kemaksiatan. Seperti dibahas dalam buku yang berjudul “Teologi Negatif Abu Nuwas ibn Hani” yang ditulis oleh Moh. Hanif Anwari: Abu Nuwas tersohor sebagai penyair yang jenaka, cerdik, peduli sesama, jujur, rendah hati, akan tetapi dia juga dianggap sebagai zindiq. Begitu Abu Nuwas dituduh zindiq karena banyak melecahkan Tuhan, mempelajari ilmu perdukunan, dan ilmu-ilmu kuno dari India dan Roma, serta hilang kepercayaan dan menembus batas-batas agama, ia justru sangat gencar mempelajarinya.

Kita bisa mengambil pelajaran dari kisah hidupnya yang menarik, unik, dan penuh makna. Pertama, manusia hidup di dunia ini dilahirkan tidak sama keadaan, bentuk, rupa, kepribadian, serta nasib dan takdir. Bahkan anak yang terlahir kembar pun tak mungkin sama persis antara satu dengan yang lainnya. Kedua, potensi manusia pada dasarnya adalah sama yaitu potensi menjadi muslim. Akan tetapi lingkungan mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan seseorang. Manusia yang dilahirkan dalam keadaan lingkungan muslim maka akan tumbuh menjadi manusia muslim pula, dan apabila dilahirkan dalam keadaan non muslim maka akan tumbuh menjadi seperti lingkungannya.

Ketiga, setiap makhluk menjalani hidup dengan cerita suka dan duka masing-masing. Yang mana cerita masing-masing orang itu sangat unik dan indah. Cerita Abu Nuwas mengandung pelajaran tentang orang yang pernah melakukan berbagai kesalahan akan tetapi dalam hatinya terdapat iman kepada Allah yang begitu besar. Abu Nuwas pernah menyatakan bahwa semua dosa itu diampuni kecuali dosa syirik. Setelah Abu Nuwas melakukan semua perbuatan yang dianggapnya benar di usia senja ia sadar bahwa apa yang dilakukan selama ini salah. Ia menyesali semua kesalahannya dan menempuh jalan orang-orang yang alim. tubat Abu Nuwas adalah  contoh yang berarti bagi manusia, bahwa sebesar apapun dosa manusia pengampunan Allah lebih besar darinya. akan tetapi jangan kita sekali-kali berpikir untuk melakukan dosa sepuas-puasnya dengan meremehkan syari’at islam yang ada dengan alasan bahwa Allah Maha Pengampun dosa. Akan lebih baik apabila kita berjalan di atas jalan syari’ah dan iman yang kuat kepada-Nya karena sungguh yang manusia cari adalah Ridlo dari Allah SWT.

Pertaubatan Abu Nuwas dapat dilihat dari syair-syair gubahannya di masa tua. Di antara syair-syair Abu Nuwas yang terkenal adalah:

إِلهِي لََسْتُ لِلْفِرْدَوْسِ أَهْلاَ# وَلاَ أَقوى عَلَى النّارِ الجَحِيم

Ilaahii lastu lil firdausi ahlaan wa laa aqwaa ‘alaa naaril jahiimi

Wahai Tuhanku…Aku bukanlah ahli surga, tapi aku tidak kuat dalam neraka Jahim

فهَبْ لِي تَوْبَةً وَاغْفِرْ ذنوبِي # فَإنّكَ غَافِرُ الذنْبِ العَظِيْم

Fa hablii taubatan waghfir zunuubii fa innaka ghaafirudzdzambil ‘azhiimi

Maka berilah aku taubat (ampunan) dan ampunilah dosaku, sesungguhnya engkau Maha Pengampun dosa yang besar

ذنوبِي مِثلُ أَعْدَادٍ الرّمَالِ # فَهَبْ لِي تَوْبَةً يَاذَاالجَلاَل

Dzunuubii mitslu a’daadir rimaali fa hablii taubatan yaa dzaaljalaali

Dosaku bagaikan bilangan pasir, maka berilah aku taubat wahai Tuhanku yang memiliki keagungan

وَعُمْرِي نَاقِصٌ فِي كُلِّ يَوْمٍ # وَذنْبِي زَائِدٌ كَيفَ احْتِمَالِي

Wa ‘umrii naaqishun fii kulli yaumi wa dzambii zaa-idun kaifah timaali

Umurku ini setiap hari berkurang, sedang dosaku selalu bertambah, bagaimana aku menanggungnya

َإلهي عَبْدُكَ العَاصِي أَتَاكَ # مُقِرًّا بِالذنوبِ وَقَدْ دَعَاك

Ilaahii ‘abdukal ‘aashii ataaka muqirran bidzdzunuubi wa qad da’aaka

Wahai, Tuhanku…Hamba Mu yang berbuat dosa telah datang kepada Mu dengan mengakui segala dosa, dan telah memohon kepada Mu

َفَإِنْ تَغْفِرْ فَأنْتَ لِذاك أَهْلٌ # فَإنْ تَطْرُدْ فَمَنْ نَرْجُو سِوَاك

Fa in taghfir fa anta lidzaaka ahlun wa in tathrud faman narjuu siwaaka

Maka jika engkau mengampuni, maka Engkaulah yang berhak mengampuni,

Jika Engkau menolak, kepada siapakah lagi aku mengharap selain kepada Engkau?


Anie Laa

No comments: