Menelusuri Sejarah Islam di Negeri Yaman

Yaman
Yaman

Situasi  di Yaman belakangan ini kian memanas lantaran krisis politik yang melanda negeri itu sejak 2011. Negara republik yang terletak di selatan Jazirah Arab itu kini terlibat perang saudara, menyusul kudeta politik yang dilakukan kelompok pemberontak Houthi terhadap pemerintahan yang sah dalam beberapa bulan terakhir.

Perebutan kekuasaan yang disertai pertumpahan darah tersebut layak membuat kita prihatin, mengingat Yaman sendiri memiliki sejumlah catatan penting dalam sejarah peradaban Islam di masa lalu. Negeri itu pernah menjadi wilayah peredaran dakwah Nabi Muhammad SAW. Bahkan, Yaman juga pernah memainkan peranan krusial dalam penyebaran Islam di dunia, tak terkecuali Indonesia.

Islamisasi YamanAwal masuknya Islam ke Yaman bermula pada 630. Kala itu, Nabi Muhammad SAW mengutus saudara sepupu yang juga menantunya, Ali bin Abi Thalib RA, ke Sana'a dan sekitarnya untuk menyampaikan syiar Islam. Pada waktu itu, Yaman merupakan wilayah yang paling maju di Semenanjung Arabia. Bani Hamdan tercatat sebagai kabilah Yaman pertama yang menerima Islam. Di samping itu, Rasulullah SAW juga pernah mengutus Mu'adz bin Jabal RA ke al-Janad—yang hari ini dikenal sebagai daerah Taiz—untuk menyampaikan surat dakwah kepada para pemimpin suku di sana.

Selama periode risalah Nabi SAW, negeri Yaman tidak mempunyai kekuasaan yang terpusat, melainkan diperintah oleh sejumlah suku yang memegang kendali otonomi di daerah mereka masing-masing.Beberapa suku terkemuka di Yaman, termasuk Bani Himyar, mengirim delegasi ke Madinah antara 630-631 untuk menyatakan kesediaan mereka menerima Islam.

Kendati demikian, sejumlah orang Yaman sudah ada yang lebih dulu menjadi Muslim sebelum kedatangan delegasi tersebut. Beberapa di antaranya adalah Ammar bin Yasir RA, al-Ala'a al-Hadrami RA, Miqdad bin Aswad RA, Abu Musa al-Asy'ari RA, dan Syurahbil bin Hasanah RA. Para delegasi Yaman itu lantas meminta Rasulullah SAW supaya mengirimkan sejumlah guru untuk mengajarkan Islam kepada masyarakat Arabia Selatan.

Untuk memenuhi permintaan tersebut, Nabi SAW menugaskan sekelompok sahabat yang berkompeten, dan menunjuk Mu'adz bin Jabal sebagai amir (pemimpin) mereka.Dalam sebuah riwayat dikisahkan, sebelum Mu’adz berangkat ke Yaman, Rasulullah bersabda “Wahai Mu’adz, mungkin engkau tidak akan menjumpaiku lagi setelah ini.

Mungkin ketika engkau kembali (ke Madinah), engkau hanya akan mendapati masjid dan makamku saja,”Mendengar penuturan Nabi tersebut, Muadz pun menangis. Para sahabat yang ikut diutus ke Yaman bersamanya juga menangis. “Perasaan sedih mengharu biru di hati Mu’adz saat harus berpisah dari kekasihnya, Nabi Muhammad SAW,” tulis Abdul Wahid Hamid dalam bukunya, Companions of The Prophet, Voume 1.

Firasat Nabi ternyata benar. Rasulullah SAW wafat sebelum Mu’adz kembali dari Yaman. Untuk kesekian kalinya, air mata Mu’adz kembali tumpah ketika sampai di Madinah dan mendapati bahwa Nabi sudah meninggalkan dunia yang fana ini.
Suasana kota tua Sanaa, Yaman, setelah berkecamuk perang.
Suasana kota tua Sanaa, Yaman, setelah berkecamuk perang.

Sepeninggal Rasulullah SAW, negeri Yaman berada dalam kondisi stabil selama era pemerintahan Khulafa ar-Rasyidun. Masyarakat di negeri itu bahkan memberikan kontribusi besar dalam perkembangan Islam sepeninggal Rasulullah SAW.

“Suku-suku Yaman memainkan peranan penting dalam penaklukan Islam di Mesir, Irak, Persia dan sekitarnya, Anatolia, Afrika Utara, Sisilia, hingga  Andalusia,” ungkap Wilferd Madelung dalam karyanya, The Succession to Muhammad: A Study of the Early Caliphate.

Tak hanya itu, suku-suku Yaman yang menetap di Suriah, juga memberikan kontribusi signifikan terhadap penguatan kekuasaan Dinasti Umayyah, terutama pada masa pemerintahan Khalifah Marwan I.

Beberapa emirat yang didirikan di Afrika Utara dan Andalusia semasa Umayyah, dipimpin oleh orang-orang keturunan Yaman. Ketika Bani Abbasiyah berkuasa, Muhammad bin Abdullah bin Ziyad mendirikan Dinasti Ziyadiyah di Tihama pada 818.
Negara baru yang dibangun oleh dinasti tersebut membentang dari Haly—yang hari ini merupakan bagian dari wilayah Arab Saudi—di utara,  sampai ke Aden di selatan. Secara normatif, Dinasti Ziyadiyah mengakui kekhalifahan Abbasiyah di Baghdad.

“Namun pada praktiknya, mereka memiliki kekuasaan yang independen di Yaman dan menjadikan Zabid sebagai ibu kota kerajaan Ziyadiyah,” ujar Paul Wheatley dalam The Places Where Men Pray Together: Cities in Islamic Lands, Seventh Through the Tenth Centuries.

Sejak abad kesebelas, negeri Yaman berulangkali mengalami suksesi atau pergantian kepemimpinan dari satu penguasa ke panguasa lainnya. Mulai dari  Dinasti Sulayhiyah (1047 – 1138), Rasuliyah (1229 – 1454), Tahiriyah (1454 – 1517), hingga Turki Ottaman.

No comments: