Kisah Hegemoni Mataram dan Munculnya Budaya Tanding


Kerajaan Mataram Islam, yang dirintis oleh Ki Ageng Pemanahan dan kemudian secara resmi didirikan oleh Panembahan Senopati pada tahun 1588 merupakan kerajaan yang pernah sangat jaya pada zamannya. Kejayaannya mencapai puncak pada era kekuasaan Sultan Agung Hanyokrokusumo pada tahun 1613 - 1645, dengan wilayah mencapai sebagian besar Jawa dan Madura. Kekuasaan yang besar itu diperoleh dengan berbagai perang dan penaklukan. Berbagai strategi digunakan, bukan hanya strategi kekerasan, namun juga strategi non kekerasan yang kisahnya dapat dibaca dalam Babad Tanah Jawa. Kisah-kisah penaklukan tersebut sebagian besar terjadi pada era Panembahan Senopati, sementara pada masa Sultan Agung, konsentrasi sepertinya terpecah dengan kehadiran VOC di Batavia, sehingga invasi tidak lagi menjadi fokus pemerintahannya. Namun demikian, perluasan wilayah juga masih terjadi dengan pengakuan berbagai wilayah terhadap kekuasaan Mataram, sehingga wilayah itu rela menjadi bagian Mataram.

Kisah-kisah penaklukan tanpa kekerasan misalnya terjadi dengan pengepungan untuk menghentikan pasokan bahan pokok, pemindahan aliran air yang menyebabkan kekeringan, maupun strategi yang melibatkan hati yaitu dengan asmara. Kisah penaklukan dengan pengepungan misalnya terjadi pada penaklukan Kadipaten Madiun, yang akhirnya menyerah menjadi wilayah Mataram setelah dikepung sekian lama.  Salah satu putri Adipatinya, yaitu Retno Dumilah malahan kemudian menjadi permaisuri kedua Panembahan Senopati. Diambilnya putri Madiun menjadi permaisuri ini memicu ketidakpuasan Adipati Pragola di Pati, yang kakaknya saat itu menjadi permaisuri pertama Panembahan Senopati. Ketidakpuasan ini akhirnya memicu pemberontakan meskipun kemudian dapat dipadamkan.

Penaklukan dengan asmara terjadi misalnya dalam kisah penaklukan Ki Ageng Mangir di daerah selatan Yogyakarta, atau saat ini menjadi wilayah Kabupaten Bantul. Tokoh yang terkenal sakti dan tidak mau tunduk kepada Mataram itu akhirnya menyerah dengan strategi asmara dengan ‘mengumpankan’ Pembayun, putri Panembahan Senopati untuk menarik perhatian Ki Ageng Mangir. Setelah mampu memincut hati tokoh sakti itu, yang kemudian menikahinya, sang putri mengaku bahwa dia adalah putri dari Panembahan Senopati yang merupakan musuh besarnya. Dengan berat hati akhirnya Ki Ageng Mangir mengikuti permintaan Pembayun untuk menghadap ayahandanya, yang akhirnya menjadi hari kematiannya. Dalam kisah-kisah yang banyak dipentaskan dalam kethoprak diceritakan bagaimana Ki Ageng Mangir dibenturkan kepalanya ketika sedang sungkem kepada mertuanya itu, dengan seluruh pusaka yang dimilikinya dilucuti, sehingga dia kehilangan kesaktiannya. Karena statusnya yang setengah keluarga Mataram itu, maka jasadnya dikuburkan di batas makam raja-raja Mataram, dengan separuh badan berada di luar pagar makam. Sungguh sebuah strategi penaklukan dan kisah cinta yang bagi saya tidak terimajinasikan terjadi pada zaman ini.

Kisah-kisah penaklukan itu akhirnya menjadi cerita turun temurun, dengan berbagai versi dan mungkin juga kepentingannya sendiri. Mataram sebagai pemegang hegemoni tentu menyusun cerita sebagai dasar pembuktian kebesarannya, dengan menonjolkan aspek kebesaran kekuasaaan dan kecanggihan strategi penaklukan. Sementara sebagian wilayah yang ditaklukkan mencatat strategi-strategi penaklukan itu sebagai sebuah kecurangan dan ketidakbesaran hati, yang kemudian diceritakan dengan kebanggaan sebagai wilayah yang sebenarnya tidak pernah benar-benar ditaklukkan. Tentu cerita itu tidak pernah beredar sebagai cerita utama yang dipentaskan dalam berbagai tonil tradisional seperti kethoprak, yang cenderung mengabarkan cerita berdasarkan sudut pandang pemenang.

Berbagai cerita tandingan itu masih muncul hingga saat ini, misalnya yang diceritakan beberapa teman yang kebetulan berasal dari daerah Mangiran, asal Ki Ageng Mangir, kemudian Madiun dan juga Pati, yang masing-masing memiliki cerita bernuansa kebanggaan atas kisah masa lalunya. Teman dari Mangiran itu dengan setengah berkelakar menyatakan bahwa dirinya masih masih keturunan Ki Ageng Mangir, jadi jangan macam-macam. Kemudian temen dari Madiun mengatakan cerita orang-orang tua dahulu, yang entah mengapa ceritanya menjadi sedikit berbeda dengan kenyataan, yang menyatakan bahwa para laki-laki Madiun tidak pernah kalah adu fisik, tapi kalah kalau dilawankan dengan perempuan. Entah apa yang mendasari cerita itu dapat terusun dan beredar. Kemudian teman yang istrinya orang Pati menyatakan bahwa orang Mataram, atau Yogya saat ini tidak ada yang berani beristri orang Pati, karena ‘kalah awune’ atau kalah derajadnya. Mungkin ini dapat ditelusur dari sejarah bahwa Putri Pati adalah permaisuri pertama Panembahan Senopati, yang kemudian menurunkan raja-raja selanjutnya.

Demikianlah, budaya tanding semacam itu dapat muncul dan tumbuh subur dari berbagai daerah yang mungkin dari persepsi pemegang kekuasaan telah terkalahkan. Namun masing-masing daerah tentunya memiliki kebanggaan yang tercermin dari persepsi dan cerita-cerita yang dibuat untuk menonjolkan kebanggaan itu. Dan tidak ada yang salah dengan hal itu, karena semua orang berhak memiliki sudut pandang ceritanya masing-masing. Juga mereka yang oleh para pemenang dimaknai sebagai orang yang terkalahkan.

Andi K

No comments: