Hakikat Ajaran Syiah Part 2
3. Orang Syiah Rafidhah
Tidak Menggunakan Riwayat Ahlussunnah
Dengan kata lain, Syiah
tidak menggunakan hadis-hadis Ahlussunnah –yang merupakan referensi kedua
setelah Alquran– dalam membangun agama mereka. Ini merupakan konsekuensi yang
timbul dari poin kedua karena mereka mengafirkan para sahabat yang menjadi periwayat
as-sunnah/al-hadis. Ini adalah satu kenyataan yang tidak akan ditolak kecuali
mereka yang (maaf) bodoh terhadap agama Syiah dengan kebodohan yang teramat
sangat, atau mereka yang sedang menjalankan strategi taqiyyah. Mungkinkah
mereka (Syiah) akan mengambil riwayat dari orang yang telah mereka katakan
murtad (sahabat nabi) dari agamanya?!
Syiah mempunyai sumber-sumber hadis tersendiri seperti Al-Kaafi, Man La Yahdhuruh Al-Faqih, Tahdzib
Al-Ahkam, Al-Istibshar, dan yang lainnya.
Jika mereka mengambil referensi
ahlussunnah, maka itu hanyalah mereka lakukan ketika berbicara kepada
Ahlussunnah, dan mereka ambil yang kira-kira dapat mendukung akidah mereka atau
menghembuskan syubhat-syubhat kepada Ahlussunnah.
Mau dikemanakan sabda Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam,
أوصيكم بتقوى الله والسمع والطاعة وإن عبد حبشي فإنه من يعش منكم
يرى اختلافا كثيرا وإياكم ومحدثات الأمور فإنها ضلالة فمن أدرك ذلك منكم فعليكم
بسنتي وسنة الخلفاء الراشدين المهديين عضوا عليها بالنواجذ
“Aku nasihatkan kepada kalian untuk bertakwa kepada Allah,
mendengar dan taat walaupun (yang memerintah kalian) seorang budak Habsyi.
Orang yang hidup di antara kalian (sepeninggalku nanti) akan menjumpai banyak
perselisihan. Waspadailah hal-hal yang baru, karena semua itu adalah kesesatan.
Barangsiapa yang menjumpainya, maka wajib bagi kalian untuk berpegang teguh
kepada sunahku dan sunah Al-Khulafa
Ar-Rasyidin yang
mendapatkan petunjuk. Gigitlah ia erat-erat dengan gigi geraham.” (HR. Ahmad 4:126-127, Abu Dawud,
no.4607, dan yang lainnya; shahih)?
4. Orang Syiah
telah berbuat ghuluw (melampaui batas) terhadap imam-imam
mereka, dan bahkan sampai pada tingkat ‘menuhankan’ mereka.
Al-Kulaini membuat bab dalam kitab Al-Kaafi:
بَابُ أَنَّ الْأَئِمَّةَ ( عليهم السلام ) إِذَا شَاءُوا أَنْ
يَعْلَمُوا عُلِّمُوا
“Bab: Bahwasannya para imam (‘alaihissalam) apabila ingin mengetahui, maka mereka
akan mengetahui.”
Terdapat tiga
hadis/riwayat. Saya sebutkan satu di antaranya:
عَنْ أَبِي عَبْدِ اللَّهِ ( عليه السلام ) قَالَ إِنَّ الْإِمَامَ
إِذَا شَاءَ أَنْ يَعْلَمَ أُعْلِمَ
Dari Abu Abdillah (‘alaihissalam), ia berkata, “Sesungguhnya seorang
imam jika ia ingin mengetahui, maka ia akan mengetahui.” (Al-Kaafi, 1:258).
Inilah riwayat dusta yang disandarkan kepada ahlul bait – dan ahlul
bait berlepas
diri dari riwayat dusta tersebut.
Bab yang lain dalam
kitab Al-Kaafi:
بَابُ أَنَّ الْأَئِمَّةَ ( عليهم السلام ) يَعْلَمُونَ عِلْمَ مَا
كَانَ وَ مَا يَكُونُ وَ أَنَّهُ لَا يَخْفَى عَلَيْهِمُ الشَّيْءُ صَلَوَاتُ
اللَّهِ عَلَيْهِمْ
“Bab: Bahwasannya para imam (‘alaihissalam) mengetahui ilmu yang telah terjadi
maupun yang sedang terjadi. Tidak ada sesuatu pun yang luput dari merekashalawatullah
‘alaihim.”
Pada bab ini terdapat
enam hadis/riwayat, yang salah satunya adalah sebagai berikut:
عَنْ سَيْفٍ التَّمَّارِ قَالَ كُنَّا مَعَ أَبِي عَبْدِ اللَّهِ (
عليه السلام )…… فَقَالَ وَ رَبِّ الْكَعْبَةِ وَ رَبِّ الْبَنِيَّةِ ثَلَاثَ
مَرَّاتٍ لَوْ كُنْتُ بَيْنَ مُوسَى وَ الْخَضِرِ لَأَخْبَرْتُهُمَا أَنِّي
أَعْلَمُ مِنْهُمَا وَ لَأَنْبَأْتُهُمَا بِمَا لَيْسَ فِي أَيْدِيهِمَا لِأَنَّ
مُوسَى وَ الْخَضِرَ ( عليه السلام ) أُعْطِيَا عِلْمَ مَا كَانَ وَ لَمْ
يُعْطَيَا عِلْمَ مَا يَكُونُ وَ مَا هُوَ كَائِنٌ حَتَّى تَقُومَ السَّاعَةُ وَ
قَدْ وَرِثْنَاهُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ ( صلى الله عليه وآله ) وِرَاثَةً
Dari Saif At-Tammar, ia berkata, “Kami pernah bersama Abu Ja’far
(‘alaihissalam),
…..kemudian ia berkata, ‘Demi Rab Ka’bah dan Rab Baniyyah –tiga kali-,
seandainya aku berada di antara Musa dan Khidlir, akan aku kabarkan kepada
mereka berdua bahwasannya aku lebih mengetahui daripada mereka berdua. Dan akan
aku beritahukan kepada mereka berdua sesuatu yang tidak mereka ketahui. Karena
Musa dan Khidlir (‘alaihimassalam) diberikan ilmu tentang apa yang telah terjadi, namun tidak
diberikan ilmu mengenai yang sedang terjadi dan akan terjadi hingga hari
kiamat. Dan sungguh kami telah mewarisi pengetahuan ini dari Rasulullah (shallallahu
‘alaihi wa alihi wa sallam)
dengan satu warisan.” (Al-Kaafi, 1:260-261).
Perhatikan penjelasan
Dr. Al-Qazwini berikut:
Ia (Dr. Al-Qazwiini) pada menit 0:44–0:53 mengatakan, “Allah Ta’ala Maha Mengetahui segala isi hati. Dan
imam dalam riwayat ini juga mengetahui segala isi hati. Ilmu imam berasal dari
Allah….. [selesai].
Dimanakah posisi firman Allah Ta’ala,
قُلْ لا أَقُولُ لَكُمْ عِنْدِي خَزَائِنُ اللَّهِ وَلا أَعْلَمُ
الْغَيْبَ وَلا أَقُولُ لَكُمْ إِنِّي مَلَكٌ إِنْ أَتَّبِعُ إِلا مَا يُوحَى
إِلَيَّ
“Katakanlah: Aku tidak mengatakan kepadamu, bahwa perbendaharaan
Allah ada padaku, dan tidak (pula) aku mengetahui yang ghaib dan tidak (pula)
aku mengatakan kepadamu bahwa aku seorang malaikat. Aku tidak mengikuti kecuali
apa yang diwahyukan kepadaku.” (QS. Al-An’aam: 50)?
Dan kalaupun Allah memberikan sebagian kabar gaib –baik yang telah
lalu maupun yang kemudian– kepada para hamba-Nya dari kalangan manusia, maka
itu AllahTa’ala berikan kepada para Nabi dan Rasul-Nya,
وَمَا كَانَ اللَّهُ لِيُطْلِعَكُمْ عَلَى الْغَيْبِ وَلَكِنَّ
اللَّهَ يَجْتَبِي مِنْ رُسُلِهِ مَنْ يَشَاءُ فَآمِنُوا بِاللَّهِ وَرُسُلِهِ
“Dan Allah sekali-kali tidak akan memperlihatkan kepada kamu
hal-hal yang ghaib, akan tetapi Allah memilih siapa yang dikehendaki-Nya di
antara rasul-rasul-Nya. Karena itu berimanlah kepada Allah dan rasul-rasul-Nya.” (QS. Ali ‘Imran: 179).
Tidak ada dalam ayat di atas kata ‘imam’, akan tetapi menyebut
kata ‘rasul’.[3]
Orang Syiah mengatakan bahwa imam lebih tinggi kedudukannya dari
para Nabi (selain Nabi Muhammad shallallaahu
‘alaihi wa sallam).
Ayatullah Al-Udhmaa
Ar-Ruhani –semoga Allah mengembalikannya kepada kebenaran– pernah ditanya
sebagai berikut,
هل تعتقدون أن علياً كرم الله وجهه أفضل من الأنبياء؟
“Apakah engkau meyakini bahwasannya Ali karamallaahu wajhah lebih utama daripada para Nabi?”
Ia (Ar-Ruhani) menjawab,
اسمه جلت اسمائه
هذا
من الامور القطعية الواضحة
“Dengan menyebut
nama-Nya yang Maha Agung,…. Ini termasuk perkara-perkara yang pasti lagi jelas
(yaitu Ali lebih utama daripada para Nabi)” (sumber:
http://www.alrad.net/hiwar/olama/rohani/r16.htm).[4]
Bahkan seandainya seluruh Nabi berkumpul, niscaya mereka tidak
akan mampu berkhutbah menandingi khutbah Ali radhiallaahu
‘anhu. Ini dikatakan
oleh salah seorang ulama Syiah yang sangat tersohor Sayyid Kamal Al-Haidari:
Dasar riwayatnya (bahwa Ali
lebih utama dibandingkan para Nabi, selain Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam)
tertulis di video ini:
Bukankah ini merupakan penghinaan terhadap para Nabi dan para
rasul? Apakah mereka sama sekali tidak menganggap firman Allah Ta’ala,
تِلْكَ الرُّسُلُ فَضَّلْنَا بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ مِنْهُمْ
مَنْ كَلَّمَ اللَّهُ وَرَفَعَ بَعْضَهُمْ دَرَجَاتٍ
“Rasul-rasul itu Kami
lebihkan sebagian mereka atas sebagian yang lain. Di antara mereka ada yang
Allah berkata-kata (langsung dengan dia) dan sebagiannya Allah meninggikannya
beberapa derajat.” (QS. Al-Baqarah: 253)?
Pelampauan keutamaan
sebagian Rasul (termasuk Nabi) hanya dilakukan oleh sebagian (Rasul) yang lain.
Allah tidak mengatakan bahwa pelampauan itu dilakukan oleh orang yang bukan
Nabi atau Rasul.
No comments:
Post a Comment