Tabir-Tabir Kelam: Kisah G30/S/PKI
Dari judulnya sudah terkesan melankolis. Tapi saya memang akan menguak kisah pemberontakan G30/S/PKI lebih manusiawi atas dasar rasa kemanusiaan dan keadilan. Mungkin sampai saat ini,kita banyak terlupa bahwa kisah PKI dan kudetanya lebih dilihat sebagai kisah politik,penumpasan orang komunis,kesaktian Pancasila atau masa transisi yg kelam dari pemerintahan Orde Lama ke Orde Baru.Terlepas dari kontroversi mengenai fakta-fakta sejarah tersebut,kita di lupakan atau seolah-olah melupakan kalau kisah G30/S/PKI adalah kisah yg paling keji,kejam dan tidak manusiawi yg tercatat ‘Merah‘ di dalam sejarah politik bangsa Indonesia. Pada saat itu, rakyat Indonesia menjelma menjadi suku bar-bar yang haus akan darah.Darah yang mereka anggap suci dan halal jika dibunuh.
Pembantaian massal tahun 1965-1966 dilakukan atas perintah dan inisiatif Jendral Soeharto setelah terjadinya pembunuhan 6 perwira tinggi Indonesia. Pembantaian di mulai di Jakarta pada Oktober tahun 1965. Mereka orang-orang komunis atau yang ‘dituduh’ komunis harus menerima bahwa kematiannya ditentukan oleh sebuah bayonet,parang ataupun samurai.Tindakan vigilante ini menyebar ke provinsi-provinsi di Indonesia seperti Jawa Tengah,Jawa Timur, Bali dan Sumatera. Beratus-beratus orang mati mengenaskan. Wikipedia menggambarkan peristiwa mengerikan ini :
“Para korban dibunuh dengan cara ditembak, dipenggal, dicekik, atau digorok oleh angkatan bersenjata dan kelompok Islam. Pembantaian dilakukan dengan cara “tatap muka”, tidak seperti proses pembantaian massal oleh Khmer Merah di Kamboja atau oleh Jerman Nazi di Eropa“.
Irosnisnya,mereka yang terbunuh bukanlah seratus persen orang komunis ! Banyak diantara mereka yang bahkan tidak tahu menahu soal PKI,apalagi memiliki jiwa revolusioner ala Marxis-Lenninis. Tidak ada bukti yang mengatakannya. Dan yang lebih membuat bulu kuduk kita berdiri adalah dimana para anggota ormas-ormas agama yang juga ikut melakukan pembunuhan tidak manusiawi ini.Menurut Wikipedia , Di wilayah seperti Kediri,Gerakan Pemuda Ansor Nahdlatul Ulama menyuruh orang-orang komunis berbaris. Mereka lalu menggorok leher orang-orang tersebut, lalu jenazah korban dibuang ke sungai. Pembantaian ini mengosongkan beberapa bagian desa, dan rumah-rumah korban dijarah atau diserahkan ke angkatan bersenjata. Tentu saja, bukan hanya ormas NU yang melakukannya.Muhammadiyah dan pelajar Katolik di Djogjakarta juga dengan ’senang hati’ menumpas PKI.Hal ini memang bukan tanpa alasan, proganda yang mengatakan orang PKI anti-tuhan dan anti-agama telah berhasil membutakan mata para orang-orang agamawis yang terdidik secara moral agama.
Kisah pembersihan politik tahun 1965-1966 tidak saja dilihat dari perang ideologi dan ‘agama’. Isu rasial juga disertakan dalam kisah ini,yang menambah intrik G30/S/PKI. Orang-orang keturunan Tionghoa yg di pandang sebagai simpatisan PKI tidak luput dibersihkan. Di Kalimantan Barat, sekitar delapan belas bulan setelah pembantaian di Jawa, orang-orang Dayak mengusir 45.000 warga keturunan Tionghoa dari wilayah pedesaan. Ratusan hingga ribuan di antara mereka tewas dibantai.Lengkap sudah rasanya drama G30/S/PKI.Dan lengkap juga penderitaan mereka yang menjadi korban.
Mereka yang harusnya di adili dan mendapatkan proses hukum tidak berdaya melawan kebringasan ‘manusia-manusia Indonesia’ saat itu. Negara yang seyogyanya melindungi rakyatnya sudah tidak lagi mendapatkan tempatnya. Pancasila yang ‘katanya’ menjadi pedoman hidup manusia Indonesia juga sudah tidak eksis. Sila pertama yang berbunyi,”Ketuhan yang Maha Esa” di kalahkan oleh jihad yg suci dan berpahala.Mereka yang saat itu merasa dirinya bertuhan,harusnya menujukan sikap moralitasnya. Tentu, membunuh orang tanpa dalil yang kuat bukanlah sikap orang agamawis sejati.Dan sila kedua yang berbunyi,”Kemanusiaan yang Adil dan Beradab” juga tidak tampak ke permukaan. Penangkapan tanpa proses hukum,pembantaian di bawah bayonet, dan tidak di adili jelas bukan cerminan sila kedua.saya terniang lirik lagu’ Blowing in the Wind’ dari Bob Dylan :
Yes, how many times must a man look up
Before he can see the sky?
Yes, how many ears must one man have
Before he can hear people cry?
Yes, how many deaths will it take till he knows
That too many people have died?
Kekejaman masa lalu dalam kisah pedih G30/S/PKI mungkin tidak akan terjadi lagi di masa depan.Bagaimanapun, untuk kedepannya kita harus mampu meresapi sejarah dari sudut pandang yang lebih baik dan manusiawi. Agar kita,manusia-manusia Indonesia mampu mengamalkan Pancasila dalam kehidupan sehari-hari. Manusia bertuhan yang adil serta beradab.
Ahmad M
Pembantaian massal tahun 1965-1966 dilakukan atas perintah dan inisiatif Jendral Soeharto setelah terjadinya pembunuhan 6 perwira tinggi Indonesia. Pembantaian di mulai di Jakarta pada Oktober tahun 1965. Mereka orang-orang komunis atau yang ‘dituduh’ komunis harus menerima bahwa kematiannya ditentukan oleh sebuah bayonet,parang ataupun samurai.Tindakan vigilante ini menyebar ke provinsi-provinsi di Indonesia seperti Jawa Tengah,Jawa Timur, Bali dan Sumatera. Beratus-beratus orang mati mengenaskan. Wikipedia menggambarkan peristiwa mengerikan ini :
“Para korban dibunuh dengan cara ditembak, dipenggal, dicekik, atau digorok oleh angkatan bersenjata dan kelompok Islam. Pembantaian dilakukan dengan cara “tatap muka”, tidak seperti proses pembantaian massal oleh Khmer Merah di Kamboja atau oleh Jerman Nazi di Eropa“.
Irosnisnya,mereka yang terbunuh bukanlah seratus persen orang komunis ! Banyak diantara mereka yang bahkan tidak tahu menahu soal PKI,apalagi memiliki jiwa revolusioner ala Marxis-Lenninis. Tidak ada bukti yang mengatakannya. Dan yang lebih membuat bulu kuduk kita berdiri adalah dimana para anggota ormas-ormas agama yang juga ikut melakukan pembunuhan tidak manusiawi ini.Menurut Wikipedia , Di wilayah seperti Kediri,Gerakan Pemuda Ansor Nahdlatul Ulama menyuruh orang-orang komunis berbaris. Mereka lalu menggorok leher orang-orang tersebut, lalu jenazah korban dibuang ke sungai. Pembantaian ini mengosongkan beberapa bagian desa, dan rumah-rumah korban dijarah atau diserahkan ke angkatan bersenjata. Tentu saja, bukan hanya ormas NU yang melakukannya.Muhammadiyah dan pelajar Katolik di Djogjakarta juga dengan ’senang hati’ menumpas PKI.Hal ini memang bukan tanpa alasan, proganda yang mengatakan orang PKI anti-tuhan dan anti-agama telah berhasil membutakan mata para orang-orang agamawis yang terdidik secara moral agama.
Kisah pembersihan politik tahun 1965-1966 tidak saja dilihat dari perang ideologi dan ‘agama’. Isu rasial juga disertakan dalam kisah ini,yang menambah intrik G30/S/PKI. Orang-orang keturunan Tionghoa yg di pandang sebagai simpatisan PKI tidak luput dibersihkan. Di Kalimantan Barat, sekitar delapan belas bulan setelah pembantaian di Jawa, orang-orang Dayak mengusir 45.000 warga keturunan Tionghoa dari wilayah pedesaan. Ratusan hingga ribuan di antara mereka tewas dibantai.Lengkap sudah rasanya drama G30/S/PKI.Dan lengkap juga penderitaan mereka yang menjadi korban.
Mereka yang harusnya di adili dan mendapatkan proses hukum tidak berdaya melawan kebringasan ‘manusia-manusia Indonesia’ saat itu. Negara yang seyogyanya melindungi rakyatnya sudah tidak lagi mendapatkan tempatnya. Pancasila yang ‘katanya’ menjadi pedoman hidup manusia Indonesia juga sudah tidak eksis. Sila pertama yang berbunyi,”Ketuhan yang Maha Esa” di kalahkan oleh jihad yg suci dan berpahala.Mereka yang saat itu merasa dirinya bertuhan,harusnya menujukan sikap moralitasnya. Tentu, membunuh orang tanpa dalil yang kuat bukanlah sikap orang agamawis sejati.Dan sila kedua yang berbunyi,”Kemanusiaan yang Adil dan Beradab” juga tidak tampak ke permukaan. Penangkapan tanpa proses hukum,pembantaian di bawah bayonet, dan tidak di adili jelas bukan cerminan sila kedua.saya terniang lirik lagu’ Blowing in the Wind’ dari Bob Dylan :
Yes, how many times must a man look up
Before he can see the sky?
Yes, how many ears must one man have
Before he can hear people cry?
Yes, how many deaths will it take till he knows
That too many people have died?
Kekejaman masa lalu dalam kisah pedih G30/S/PKI mungkin tidak akan terjadi lagi di masa depan.Bagaimanapun, untuk kedepannya kita harus mampu meresapi sejarah dari sudut pandang yang lebih baik dan manusiawi. Agar kita,manusia-manusia Indonesia mampu mengamalkan Pancasila dalam kehidupan sehari-hari. Manusia bertuhan yang adil serta beradab.
Ahmad M
No comments:
Post a Comment