Saksi Zina, Siapa Berani?

MENURUT Ensiklopedi Islam Indonesia, jilid 4, zina ialah suatu persetubuhan di luar pekawinan yang sah yang dilakukan laki-laki dan perempuan, baik masing-masing terikat perkawinan yang sah, sudah pernah hubungan kelamin dalam ikatan nikah yang sah dan sekarang menjadi duda atau janda, maupun janda atau gadis. Raqan juga akan menampung aspirasi atas kejahatan yang di ‘bawah level’ atau mirip dengan zina. Diperluas di sini ikhtilat (bermesraan, berpelukan, berciuman, bukan sama muhrimnya), pelecehan seksual (perbuatan cabul), pemerkosaan (melakukan seks dengan kekerasan), qadzaf (menuduh orang berzina tanpa bukti), liwath (hubungan seks sesama laki-laki), dan musahaqah (hubungan seks sesama perempuan).

Semua kejahatan (kriminal) berbahaya dan membahayakan saudara lain, apalagi penuduhan zina (jinayat qadzaf) atas wanita dan pria yang baik-baik, tanpa alasan yang jelas. Firman Allah Swt: “Seandainya mereka tidak dapat mendatangkan empat saksi atas tuduhannya itu, maka saat itulah mereka disebut orang-orang yang bohong di hadapan Allah.” (QS. An-Nur: 23). Allah juga berfirman: “Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita suci (berzina), kemudian mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera dan janganlah kamu terima kesaksian mereka untuk selama-lamanya. Dan mereka itulah orang-orang yang fasik.” (QS. An-Nur: 4).

Dua ayat tersebut di atas mengisyaratkan mesti empat saksi dalam qadzaf. Fardhu ‘ain atas orang Islam, memberi kesaksian jika dibutuhkan, dan sebaliknya jika naik saksi padahal bohong, atau kurang saksi (terlanjur menuduh), kitalah si pendusta itu, karena duluan membohongi Allah, di samping mencemarkan nama baik saudara kita.

 Empat saksi
Kemutlakan empat saksi dalam penuduhan zina antara lain karena, hudud bagi penzina sangat berat: rajam jika pelaku sudah nikah (muhshan), atau jilid 100 kali kalau pelaku belum nikah ghairu muhshan). Dalam Qanun Jinayat, bagi pelaku pemerkosa, yang korbannya anak-anak hukuman cambuknya paling sedikit 150 kali cambuk dan paling banyak 200 kali cambuk.

Sungguh, amat berat menghadirkan empat saksi dalam aksi memalukan itu, yang Allah mengisyatkan dalam QS Al-Isra’ ayat 32, “Jangan kita dekati zina, sungguh itu keji, sungguh ia sejahat-jahat jalan pelampiasan syahwati.” Jika mengandalkan alat canggih seperti sekarang, sebagaimana untuk nikah jarak jauh, cerai via sms, itu pun jadi ajang perdebatan, dan sarat penipuan. Ini mengisyaratkan keinsafan. Seakan, jika ibu `anak tak berayah’ itu taubat nashuha, betul-betul insaf, tanpa membuka aibnya pada manusia pun, insya Allah akan ampuni.

Dalam lima mazhab yang saya kaji di Perpustakaan UIN Ar-Raniry, misalnya karya Ali Bakar Ali ar-Razy al-Jashash, Ahkam al-Qur‘an juz 3; Kamaluddin Ibnu al-Humam, Syarh Fath al-Qadir juz 4; Al-Qurthuby, Al-Jami’ li Ahkam al-Qur‘an juz 5; ‘Alauddin al-Hanafy, Mu’in al-Hukkam (Hanafiyah); Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid juz 1-2; Ibnu ‘Araby, Ahkam al-Qur‘an juz 3; Az-Zarqany, Syar Az-Zarqany juz 7 (Malikiyah); Imam an-Nawawy, Al-Majmu’Syarah al-Muhazzab juz 20; dan sejumlah kitab lainnya, umumnya mensyaratkan empat saksi itu, laki-laki yang Islam, berakal (bukan gila, jawai, pikun, dan pelupa), melihat langsung (bukan buta dan kabur), baligh, dan merdeka. Sama saja untuk penuduhan liwath, menurut Syafi’iyah, mesti empat saksi. Malikiyah dan Ahmad menerima saksi anak-anak atas perlukaan, pencederaan, dan pendarahan saja, bukan zina.

Bahkan Ibu Katsir, dalam Tafsir Ibnu Katsir, memaknakan ayat 282 dari QS Al-Baqarah, “...dari mereka (saksi-saksi) yang kamu ridhai...” masuk syarat tak emosional dan sentimental. Dalam Fiqh Sunnah ditambah juga, syarat agar tak ada tuhmah (tendensius, dendam, kasihan, dan kepentingan pribadi). Maka hanya Hanafiyah yang membolehkan suami masuk saksi empat itu, sedangkan Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah, empat saksi itu, selain suami. Ahmad, Zahiri, Anas, Syuraih, dan Zurarah bin Aufa menerima kesaksian hamba atas hamba sahaya. Ibnu Sirin menerima saksi sahaya atas tuannnya, dulu. Zahiri membelohkan saksi wanita untuk zina, tapi delapan orang (gantian empat pria).

Syarat lainnya, bisa berbicara, menurut Syafi’iyah dan Malikiyah. Orang bisu, tak bisa jadi saks zina, tapi bisa diterima dalam kesaksian nikah, ila’ (sumpah-serapah tak mau bergaul dengan istri, tapi ke ranjang itu juga), dan zihar (menyamakan anggota badan istri dengan muhrimnya). Orang buta juga tak bisa, kecuali untuk kasus kematian, kelahiran, keturunan, kepemilikan, waqaf, dan kontrak (akad). Syaratnya pula, kasus zina itu tak kadaluarsa, alias ‘hangat’. Saksi juga bukan yang sekunder (mendengar dari saksi primer). Persaksian dalam satu lokasi, tidak beda informasinya, atau kompak dalam kabarannya. Dan yang paling sulit kini di Aceh, adalah syarat si penuduh bisa muruah (terpercaya, akhlak baik, dan menjaga marwahnya). Kita yang tak dinilai muruah, misal makan di pinggir jalan, berjalan membuka kepala (dalam situasi tertentu), berpelukan dengan istri di hadapan kahalayak, main catur, dan banyak canda (Mughny a-Muhtaj, juz 4, hal.427).

 Saling menunjang
Lebih dari sekadar hukum dan sanksi. Semua qanun, fiqh, dan antara elemen syariat itu saling menunjang, bukan hanya yang ‘mata ke bawah’. Sedangkan yang ‘mata ke atas’ diperlambatkan, seperti korupsi. Maka perlu seiring sejalan antara qanun muamalah dengan jinayat, misalnya. Kejahatan marak, karena ketidakadilan dan ketimpangan dari saudara kita yang kaya mendadak di sebelah saudaranya, yang belum tahu, menu apa nanti siang. Qanun pendidikan sejalan dengan misalnya jinayat (qadzaf). Keenakannya warga, termasuk kita yang kabarnya berpendidikan, mengumpat, menuduh tanpa dalil, dan menghakimi ‘tanpa pegang palu’ (bukan hakim), lantaran pendidikan akhlak dan tauhid yang rendah. “Siapa yang beriman akan Allah dan Hari Kiamat, hendaklah ia berkata benar, atau diam,” ajak Nabi Muhammad Saw. Sarannya pula, “Siapa yang menutup (‘aib) saudaranya di dunia, niscaya Allah akan menutup (‘aib)nya di akhirat.” (HR. Muslim).

Sejujurnya, yang lebih tinggi dari sekadar qanun adalah kemaafan jika terlanjur menzalimi saudara lain. Langkah yang agung ialah mohon ampun, sesegera mungkin sebelum malaikat kiri mencatat, atau tutup rapat aib saudara kita yang baik-baik --yang menjual diri memang sudah terbuka duluan. Kasus masa Rasulullah, hanya hukuman zina dijatuhkan, karena ikrar, bukan atas dasar kesaksian. Ada wanita hamil, masa Nabi di Madinah, mengadu soal mandul, hasil zina. Rasulullah menangkap hasrat keinsafan dan spirit taubatnya. Nabi tak merajam, tapi memintanya pulang hingga lahir anak suci itu.

Usai wiladah (pascamelahirkan), ibu malang ini kembali, Nabi menunda rajam, hingga usai menyusui. Baru dirajam, usai menyusui, dan muncratan ‘darah taubat’-nya seakan menyaingi iman sahabat waktu itu, jawab Nabi atas komplain dan penilaian sahabat --saat Umar ra merasa tersinggung dengan darah yang mengenakan kainnya. Pada masa Khalifah Umar, misalnya, juga dihukum atas dasar pengakuan. Jika ada yang didera atas dasar kesaksian, justru yang menuduh yang didera 80 kali, sebab kejahatan qadzah itu.

Dalam Qanun Aceh terkait Jinayat ini, juga mengenakan hukuman 80 kali cambuk bagi qadzaf. Juga bisa dipenjara paling lama 40 bulan, bagi penuduh yang gagal membawa saksi lain ke mahkamah. Selain dua jenis hukuman tersebut, pelaku qadzaf juga bisa dikenakan denda atau uqubat kompensasi/ganti kerugian paling banyak 400 gram emas murni. Terlepas dari sanksi, kasus masa awal Islam, semua terbukti atas dasar kesadaran, juga pengakuan, bukan kesaksian. Nah, siapa berani menjadi saksi zina? Wallahu a’lam bish-shawab.

* Muhammad Yakub Yahya, Sekretaris Umum WH (September 2003-Mei 2004), Subbag Informasi dan Humas Kanwil Kemenag Aceh, dan Direktur TPQ Plus Baiturrahman. Email: m.yakubyahya@kemenag.go.id

No comments: