Meneladani Bagindo AzizChan, Pahlawan Nasional dari Kota Padang
Setiap Bangsa Indonesia memperingati Hari Pahlawan yang jatuh pada tanggal 10 November, terselip rasa bangga dihati saya akan kakek saya Bagindo Azizchan, Pahlawan Nasional dari Kota Padang yang gugur ditembak tentara Belanda pada tahun 1947, semasa menjabat Walikota Padang, Sumatera Barat.
Beliau dengan gagah berani telah mempertaruhkan jiwa dan raganya untuk mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia di Kota Padang menjelang agresi militer Belanda pertama pada 21 Juli 1947. Pemerintah Inggris kala itu mengumumkan akan menarik pasukannya dari seluruh wilayah Indonesia pada 1946. Sementara itu pihak Belanda atau lebih dikenal dengan sebutan NICA (Netherland Indies Civil Administration) yang semula membonceng pendaratan pasukan Sekutu (Inggris) ke Indonesia untuk melucuti serdadu Jepang yang kalah perang, mengambil alih kekuasaan di daerah-daerah yang ditinggalkan pasukan sekutu tersebut. Di antara yang diambil alih itu ialah kota Padang. Di kota yang dipenuhi pasukan asing inilah Bagindo Azizchan ditugaskan sebagai Walikota oleh Pemerintah Republik Indonesia. Sungguh sebuah tugas yang sangat beresiko dan membutuhkan keberanian tinggi. Tentara Belanda kala itu ingin menguasai Kota Padang, namun pemerintah Republik Indonesia berjuang mempertahankan kedaulatannya walaupun dengan mengorbankan jiwa dan raga sekalipun. Bahkan Azizchan sebagai Walikota Padang bersumpah: “Langkahi mayat saya terlebih dahulu, baru Belanda bisa meluaskan daerah kekuasaan ke Kota Padang”.
Sebelum menduduki daerah Sumatera Barat lewat agresi militer pertama yang dilakukan serentak di Jawa, Madura dan Sumatera tersebut, Belanda merasa perlu melumpuhkan kekuatan Republik dengan menyingkirkan sejumlah pimpinan di Kota Padang. Kota Padang sebagai ibukota Sumatera Barat tentunya menjadi pintu gerbang yang sangat menguntungkan dan bernilai strategis bagi Belanda. Sementara itu Bagindo Azizchan yang dikenal sebagai Walikota yang idealis, pemberani, dan memegang teguh kebenaran, menolak diajak bekerjasama oleh tentara Belanda. Maka Belandapun menggunakan taktik perang klasik untuk menghilangkan pemimpin dari pengikutnya sehingga warga kota menjadi panik. Tepat pada tanggal 19 Juli 1947, dua hari sebelum Belanda melancarkan agresi militer pertamanya, Walikota Padang Bagindo Azizchan dihabisi nyawanya. Kematiannya menimbulkan guncangan hebat dikalangan para pejuang. Namun pada saat bersamaan, kematian Bagindo Azizchan bagi kaum Republikein di Minangkabau, merupakan martir dan simbol yang justru memperkokoh tekad mereka untuk meneruskan perjuangan melawan kekuasaan kolonial dalam mempertahankan NKRI. Maka bukan kebetulan jika Pemerintah Republik Indonesia kemudian memberikan penghargaan tertinggi kepada Bagindo Azizchan sebagai Pahlawan Nasional (dengan Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No.082/TK/2005 tanggal 7 November 2005) dan Bintang Mahaputera Adipradana.
Dalam kata sambutannya pada buku ‘Satu Abad Bagindo Azizchan’, Gamawan Fauzi yang pada tahun 2007 menjabat Gubernur Sumatera Barat mengatakan bahwa Bagindo Azizchan merupakan tokoh kebanggaan masyarakat Sumatera Barat, yang telah mampu memberikan keteladanan dan mewariskan nilai-nilai kepahlawanan kepada seluruh masyarakat. Oleh karena itu, Pemerintah Provinsi Sumatera Barat setiap tanggal 19 Juli menggelar upacara bendera yang dipimpin oleh Gubernur, dalam rangka memperingati hari wafatnya Bagindo Azizchan. Upacara dilanjutkan dengan berziarah ke Taman Makam Pahlawan Bukit Tinggi, tempat beliau dimakamkan.
Tentunya bagi kita semua generasi penerus yang sudah menikmati kemerdekaan, memperingati Hari Pahlawan seyogyanya bukan hanya sekedar mengikuti upacara ataupun ziarah ke Taman Makam Pahlawan saja. Marilah kita bersama-sama memanfaatkan momen ini untuk meneladani nilai-nilai luhur, idealisme, keberanian, semangat cinta tanah air, semangat membela kebenaran, yang telah ditunjukkan dan dicontohkan oleh para pahlawan bangsa, termasuk Bagindo Azizchan. Saya pribadi memanfaatkan momen ini untuk melakukan refleksi diri, karena dibalik rasa bangga saya terhadap kakek, terselip tanggung jawab moral yang besar karena nilai-nilai yang beliau tanamkan harus menjadi inspirasi dan suri tauladan dalam menjalani kehidupan saya sehari-hari. Akhirnya, doa saya untuk kakek tercinta, semoga beliau mendapat tempat terbaik disisi Allah SWT, Aamiin.
(referensi: buku ‘Bagindo Azizchan 1910-1947’, 2007, oleh Mestika Zed)
Jeanne
Beliau dengan gagah berani telah mempertaruhkan jiwa dan raganya untuk mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia di Kota Padang menjelang agresi militer Belanda pertama pada 21 Juli 1947. Pemerintah Inggris kala itu mengumumkan akan menarik pasukannya dari seluruh wilayah Indonesia pada 1946. Sementara itu pihak Belanda atau lebih dikenal dengan sebutan NICA (Netherland Indies Civil Administration) yang semula membonceng pendaratan pasukan Sekutu (Inggris) ke Indonesia untuk melucuti serdadu Jepang yang kalah perang, mengambil alih kekuasaan di daerah-daerah yang ditinggalkan pasukan sekutu tersebut. Di antara yang diambil alih itu ialah kota Padang. Di kota yang dipenuhi pasukan asing inilah Bagindo Azizchan ditugaskan sebagai Walikota oleh Pemerintah Republik Indonesia. Sungguh sebuah tugas yang sangat beresiko dan membutuhkan keberanian tinggi. Tentara Belanda kala itu ingin menguasai Kota Padang, namun pemerintah Republik Indonesia berjuang mempertahankan kedaulatannya walaupun dengan mengorbankan jiwa dan raga sekalipun. Bahkan Azizchan sebagai Walikota Padang bersumpah: “Langkahi mayat saya terlebih dahulu, baru Belanda bisa meluaskan daerah kekuasaan ke Kota Padang”.
Sebelum menduduki daerah Sumatera Barat lewat agresi militer pertama yang dilakukan serentak di Jawa, Madura dan Sumatera tersebut, Belanda merasa perlu melumpuhkan kekuatan Republik dengan menyingkirkan sejumlah pimpinan di Kota Padang. Kota Padang sebagai ibukota Sumatera Barat tentunya menjadi pintu gerbang yang sangat menguntungkan dan bernilai strategis bagi Belanda. Sementara itu Bagindo Azizchan yang dikenal sebagai Walikota yang idealis, pemberani, dan memegang teguh kebenaran, menolak diajak bekerjasama oleh tentara Belanda. Maka Belandapun menggunakan taktik perang klasik untuk menghilangkan pemimpin dari pengikutnya sehingga warga kota menjadi panik. Tepat pada tanggal 19 Juli 1947, dua hari sebelum Belanda melancarkan agresi militer pertamanya, Walikota Padang Bagindo Azizchan dihabisi nyawanya. Kematiannya menimbulkan guncangan hebat dikalangan para pejuang. Namun pada saat bersamaan, kematian Bagindo Azizchan bagi kaum Republikein di Minangkabau, merupakan martir dan simbol yang justru memperkokoh tekad mereka untuk meneruskan perjuangan melawan kekuasaan kolonial dalam mempertahankan NKRI. Maka bukan kebetulan jika Pemerintah Republik Indonesia kemudian memberikan penghargaan tertinggi kepada Bagindo Azizchan sebagai Pahlawan Nasional (dengan Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No.082/TK/2005 tanggal 7 November 2005) dan Bintang Mahaputera Adipradana.
Dalam kata sambutannya pada buku ‘Satu Abad Bagindo Azizchan’, Gamawan Fauzi yang pada tahun 2007 menjabat Gubernur Sumatera Barat mengatakan bahwa Bagindo Azizchan merupakan tokoh kebanggaan masyarakat Sumatera Barat, yang telah mampu memberikan keteladanan dan mewariskan nilai-nilai kepahlawanan kepada seluruh masyarakat. Oleh karena itu, Pemerintah Provinsi Sumatera Barat setiap tanggal 19 Juli menggelar upacara bendera yang dipimpin oleh Gubernur, dalam rangka memperingati hari wafatnya Bagindo Azizchan. Upacara dilanjutkan dengan berziarah ke Taman Makam Pahlawan Bukit Tinggi, tempat beliau dimakamkan.
Tentunya bagi kita semua generasi penerus yang sudah menikmati kemerdekaan, memperingati Hari Pahlawan seyogyanya bukan hanya sekedar mengikuti upacara ataupun ziarah ke Taman Makam Pahlawan saja. Marilah kita bersama-sama memanfaatkan momen ini untuk meneladani nilai-nilai luhur, idealisme, keberanian, semangat cinta tanah air, semangat membela kebenaran, yang telah ditunjukkan dan dicontohkan oleh para pahlawan bangsa, termasuk Bagindo Azizchan. Saya pribadi memanfaatkan momen ini untuk melakukan refleksi diri, karena dibalik rasa bangga saya terhadap kakek, terselip tanggung jawab moral yang besar karena nilai-nilai yang beliau tanamkan harus menjadi inspirasi dan suri tauladan dalam menjalani kehidupan saya sehari-hari. Akhirnya, doa saya untuk kakek tercinta, semoga beliau mendapat tempat terbaik disisi Allah SWT, Aamiin.
(referensi: buku ‘Bagindo Azizchan 1910-1947’, 2007, oleh Mestika Zed)
Jeanne
No comments:
Post a Comment