Kisah Cheng Ho dengan Marga Kwee

Shamsudin ( محمود شمس الدين‎ ) Cheng Ho yang umumnya dikenal sebagai Sam Po Kong adalah pelayar Tionghoa yang terkenal diabad 15 Masehi. Beliau memimpin armada raksasa dari Tiongkok menjelajahi perairan Nusantara dan Lautan Hindia sebanyak tujuh kali dizaman Dinasti Ming dari tahun 1405 hingga meninggalnya ditahun 1433. Dalam pelayarannya yang selalu singgah di Nusantara, beliau menjadi katalis penyebaran Islam dengan kedatangan kaum Muslim dari Tiongkok di Jawa, dan juga menjadi pemandu jalan bagi nenek moyang keturunan Tionghoa untuk merantau ke Indonesia.


Patung Cheng Ho di Museum Maritim Quanzhou.


Diantara misi-misi pelayaran Cheng Ho, mungkin yang terutama adalah tujuannya untuk ke Teluk Persia. Cheng Ho diutus oleh Kaisar Ming Yung Le untuk menumpas sisa-sisa kekuatan Mongol yang bangkit sebagai Kerajaan Timur dan juga untuk memburu mantan Kaisar Ming Jian Wen yang dikabarkan telah kabur ke Persia. Sedangkan bagi Cheng Ho sendiri juga berhasrat untuk naik Haji bilamana pelayaran armadanya telah mencapai Hormuz di Teluk Persia.


Armada Cheng Ho berlayar 7 kali dengan tujuan Samudera Barat, yaitu menunjuk lautan dibaratnya Negeri Samudra-Pasai atau Aceh dalam istilah zaman itu, yang sekarang disebut Lautan Hindia. Pada awal pelayarannya, Cheng Ho terbagi perhatiannya dan singgah di Nusantara untuk memberantas perompak diperairan Riau, ini atas permintaan penduduk Tionghoa yang sudah berniaga di Sriwijaya Palembang, kemudian juga untuk bersinggah di Gresik/Surabaya yang beberapa puluh tahun sebelumnya merupakan benteng yang didirikan oleh pasukan Tartar Mongol Kublai Khan sewaktu masa Hayam Wuruk, dan disitu Cheng Ho tersangkut dalam perang saudara Majapahit yang sedang membara, maka Cheng Ho juga mengeluarkan pasukannya untuk membantu membereskannya. Sehingga dalam tiga pelayaran mulanya, sejauh armada menjangkau hanya sampai di Sri Langka. Cheng Ho berhasil mencapai Hormuz pada pelayaran ke-4, namun tanpa hasil yang diharapkan, ini mungkin karena menghadapi halangan bahasa dan pengertian tata bumi di Timur Tengah. Maklumlah, meski Cheng Ho sendiri adalah Muslim Tionghoa keturunan Persia, beliau dan anak buahnya yang asal dari sepanjang Jalur Sutra Utara di Asia Tengah, pada umumnya mereka berbahasa Sogdiana yaitu Uzbekistani, ini lain dari bahasa umum yang digunakan disepanjang Jalur Sutra Maritim dari Teluk Persia sampai Teluk Zaitun di Quanzhou Hokkian yaitu bahasa Urdu atau Farsi, maka sebelum melanjudkan misinya ke Hormuz lagi, mampirlah armada di Quanzhou untuk mendapatkan pemandu dan juru bahasa yang diperlukannya pada pelayaran ke-5.


Mengapa harus di Teluk Zaitun, Quanzhou? Quanzhou terletak di Hokkian Selatan yang telah dibuka sebagai bandar perniagaan Jalur Sutra Maritim sejak masa Kai Yuan pada Dinasti Tang diabad ke-6, disitu juga yang kemudian kedatangan dua Sahabi dari Madinah atas unjuk Nabi Muhammed SAW yang membawa ajaran Islam ke Tiongkok diabad ke-7, dan sampai zaman Dinasti Song diabad 10, Quanzhou telah merupakan bandar landas Jalur Sutra Maritim dari Persia dan Gujarat dan, telah merupakan kota metropolis yang mendatangkan hampir seluruh penghasilan negara Tiongkok dari perniagaan sutra, ceramik dan teh pada zaman itu. Dibekas Pelabuhan Tua Houzhu di Teluk Zaitun merupakan pelabuhan international yang boleh dikata terbesar didunia dengan ratusan kapal asing yang berlabuh pada setiap waktunya disana, dimasa itu layak Alexandria Mesir menurut tuturan Marco Polo yang dirinya pun meninggalkan Tiongkok dua kali dari situ dizaman Mongol Yuan. Dengan demikian Quanzhou telah merupakan tempat peleburan bangsa-bangsa yang terbesar di Asia Timur. Ratusan ribu saudagar dan peranakan Muslim Persia, Arab, Gujarati, Srilangka maupun kaum Jahudi, Armenia, Italia dan Portugis yang semuanya bermukim dan berkembang biak secara damai dan makmur bersama ditanah Tionghoa yang mereka sebut Teluk Zaitun, nama ini adalah dari pohon ci-tong yang berbunga merah yang tumbuh dimana-mana di Quanzhou, bukan zaytun pohon olive, maka boleh dikata teluk tersebut telah menjadi koloni dan tanah air bagi peranakan orang mancanegara chususnya Persia-Arab yang menjadikan Muslim Tionghoa diwaktunya Cheng Ho. Layaklah untuk armada bersinggah disana pada persiapan menuju ke Teluk Persia lagi dipelayaran ke-5 pada tahun 1417.




Lintas Armada Cheng Ho. (gambar diambil dari Google).


Diantara keturunan Tionghoa Indonesia, marga Kwee bukanlah satu marga yang besar, tetapi merupakan satu-satunya marga yang leluhurnya berkait dekat secara pribadi dengan Cheng Ho sebagaimana tertulis dalam himpunan buku silsilah Marga Muslim Kwee kecamatan Baiqi di Teluk Zaitun yang disusun sejak abad 15 Masehi. Ini merupakan catatan sejarah yang sangat berharga yang bersangkutan dengan singgahnya Cheng Ho di Teluk Zaitun Quanzhou dalam pelayaran ke-5 dan ke-6 ditahun 1417 dan 1422.


Sebagai utusan Kaisar, tentunya Cheng Ho sewaktu singgah di Quanzhou sibuk menerima sambutan-sambutan dari para pembesar pimpinan daerah, konglomerat kaum pedagang maupun Muslim setempat, namun juga tidak lupa untuk berziarah di Makam Kramat Dua Sahabi. Konon atas perintah Nabi Muhammad SAW, ‘Utlub il ‘ilma wa law fis-Sin (Menempu ilmu walau sejauh ke Cina), Sahabi Sa’d bin Abi Waqqas dari Madinah datang untuk kedua kalinya atas utusan Kalifat Uthman sebagai duta besar untuk meninjau dan menyebarkan ajaran Islam di Tiongkok pada abad ke-7, beliau disertai dengan 3 Sahabi lainnya tiba di Guangzhou pada tahun 651 (72H), beliau kemudian dimakamkan di Guangzhou, Sahabi ke-2 Imam Urwah bin Abi Uththan melanjutkan misinya ke Yangzhou, sedangkan Sahabi ke-3 Imam Abi Waqqas bin al-Harith dan ke-4 Imam Waqqas bin Hudhafah menjadi pengajar Islam di Teluk Zaitun yang dikebumikan di Makam Kramat Lingshan Quanzhou tersebut. Disana Cheng Ho meletakkan batu prasasti atas kunjungannya yang ditegakkan oleh Walikota Quanzhou Muslim Bo He-re/Po Ho Jit yang masih sepupu dengan Cheng Ho dan kemudian juga ikut ke Hormuz pada pelayaran ke-5 ini.


Sebagai Muslim yang taat, Cheng Ho beribadah di Masjid Ashab di Quanzhou. Masjid tersebut merupakan masjid yang tertua yang masih tertinggal disana sampai hari ini.

Bangunannya berdasarkan corak Damascus yang didirikan demi memperingati para Sahabi oleh kaum Muslim Teluk Zaitun pada zaman Song ditahun 1009 (430H), kemudian diperluas oleh Hajji Ahmad Ibn Muhammed al-Quds dari Shiraz Iran pada zaman Mongol Yuan ditahun 1310 (731H), sayang terjadi kerusakan besar atas bencana gempa bumi pada zaman Qing ditahun 1607 yang terus dibiarkan, tetapi masih berfungsi sebagai tempat ibadah kaum Muslim dari seluruh Tiongkok dan dunia sampai saat ini. Mantan Presiden Almarhum Abdurrahman Wahid dan Almarhum Bapak Taufiq Kiemas juga pernah berkunjung di Masjid tersebut. Dalam rangka peringatan ke 1000 tahun berdirinya, atas sumbangan dari Kerajaan Oman, dibangunlah masjid baru disampingnya yang berdasarkan corak yang semula pada tahun 2009 (1430H).


Setelah selesai beribadah Jum’at, Cheng Ho disertai salah satu juru tulisnya Hasan untuk menemui sang kyai masjid dan mengutarakan maksudnya untuk mencari ahli bahasa demi menyertainya ke Teluk Persia, disanalah diperkenalkannya dengan Bapak Guo Zhong-yuan (Kwee Tiong Gwan) dan anak-anaknya dari Kecamatan Muslim Baiqi diseberang Teluk Zaitun yang juga sedang beribadah. Kwee Tiong Gwan adalah cucu dari Ibn Quds Daqqaq Nam, yang mana Quds Daqqaq pernah menjabat gubernur urusan orang asing dan shahbandar di Teluk Zaitun pada zaman Mongol Yuan diabad sebelumnya, dan bernama Tionghoa: Guo Te-guang (Kwee Tek Gong). Dengan perkenalan ini menjadilah persahabatan antara Cheng Ho dan keluarga besar Kwee di Baiqi.


Atas undangan Kwee, Cheng Ho datang di Baiqi yang terletak ditebing timur Teluk Zaitun dan disambut oleh seluruh warga di Pendapa Batu yang dibangun didepan desa, bangunan batu tersebut masih berdiri sampai sekarang. Setelah bersinggah di Baiqi, beliau mengetahui keadaan penghidupan didaerah tersebut sangat sulit, Kwee hanya berternak bebek untuk mata pencahariannya dan pula desa Baiqi terisolasi oleh perairan teluk yang mengelilinginya, maka Cheng Ho mengeluarkan 500 pasukannya untuk membangun dua bendungan air sehingga memungkinkan memberi tanah pertanian di Baiqi yang juga masih ada disana sampai hari ini.


Dari warga Kwee di Baiqi ini Cheng Ho mendapatkan juru bahasanya Haji Guo Chong-li/Kwee Djiong Lie yang diperlukan. Anggauta marga lainnya Guo Wen/Kwee Boen juga diutus untuk ke Siam, dan mungkin banyak lagi anggauta marga Kwee yang mengikuti pelayaran diarmadanya.


Cheng Ho singgah lagi di Baiqi sekembalinya dari pelayaran ke-6 dalam tahun 1422, beliau bermain catur di Pendapa Batu dan berunding menata perkawinan antara anak bungsu Kwee ke-5 Guo Shi-zhao/Kwee Sie Tiauw dengan putri kesayangan Panglima Quanzhou yang semulanya mengalami rintangan dari pihak mempelai prempuan, halangan inipun dibereskan oleh Cheng Ho. Itu merupakan pertemuan yang terachir antara Cheng Ho dan Kwee, karena sekembalinya Cheng Ho dari pelayaran kali ini, cukong Kaisar Yung Le meninggal dunia dan armada segera dibubarkan oleh Kaisar baru yang selalu menentangnya, dan Cheng Ho diberi tugas pembangunan makam kaisar Ming Tomb di Beijing selama 6 tahun, juga Kwee Tiong Gwan pun meninggal dunia pada tahun pertemuan terachir itu.



Pendapa Batu Cheng Ho di Baiqi Teluk Quanzhou. (foto Anthony Tjio).


Cheng Ho dalam misi-misi terachirnya, masih tidak berhasil menemukan dimana jatuhnya buronan Mantan Kaisar Jian Wen, juga pun tidak berhasil menjalankan Umroh. Boleh dikata ini merupakan penyesalan dari hidupnya.

Pada pelayaran yang terachir ditahun 1433, keadaan kesehatan beliau telah memburuk, armada telah mencapai Hormuz dan para anak buah termasuk ketiga juru tulis Ma Huan, Fei Xin dan Gong Zhen telah siap-siap menumpang kapal kecil untuk meneruskan ke Mecca untuk berjemaah Haj. Sedangkan pada saat itu Cheng Ho mengingat dirinya sebagai seorang kasim yang tubuhnya tidak lengkap dan kesehatannya yang tidak sempurna merasa tidak hormat untuk menampilkan dirinya di Tanah Suci, beliau kemudian melepaskan hasratnya untuk perjalanan itu, dan dengan genangan airmata sambil memandang anak buahnya bertolak, memutuskan untuk tidak menunaikan wajib Muslim dirinya . Dalam pelayaran kembalinya, pada bulan April sewaktu dipantai Malabar dekat Kalkuta India beliau meninggal dunia, menurut peraturan pelayaran, jenazahnya segera diturunkan dilaut dengan peradatan Islam. Dua makam prasasti adat Muslim kemudian juga didirikan di Tiongkok.

Dengan demikian, kesinggahan di Teluk Zaitun Quanzhou ini, Cheng Ho telah membuka jalan bagi perantauan orang Tionghoa pada umumnya dan warga Muslim Tionghoa seperti beberapa Sunan Wali Songo dan leluhur Gus Dur pada chususnya ke Nusantara, diantaranya adalah marga Kwee asal Baiqi yang tercatat juga ada yang ke Penang dan Jawa sejak abad 15 Masehi.


Sampai sekarang masih ada sedikit-dikitnya sepuluh ribu penduduk warga Kwee yang tersebar disekitar 9 desa di Kecamatan Muslim Baiqi Hokkian dari keturunan Ibn Quds Daqqaq Nam dan cucunya, Guo Zhong-yuan/Kwee Tiong Gwan. Tercatat pula dalam buku silsilah yang setebal 4000 halaman, tak terkirakan banyaknya warga Kwee Baiqi yang telah menyebar keseluruh wilayah Hokkian, Taiwan dan Asia Tenggara dalam tempo kurang lebih 600 tahun yang silam. Walaupun tidak berarti semua Guo atau Kwee berasal keturunan dari Baiqi, namun boleh dibilang bahwa cabang marga Kwee ini bisa jadi merupakan leluhur dari kebanyakan warga Kwee di Taiwan, Malaysia, Thailand, Pilipina dan Jawa, yang sekarang pun telah tersebar diseluruh dunia, sebagai Guo, Kwee, Kwik, Kwok, Kok, Keh, Kuo, Quok, Quack, Quay, Que dan sebagainya. Baiqi Guo atau Kwee berasal al-Quds atau Koos yaitu Kudus, dan juga adalah nama tua dari Kota Jerusalem.



Batu Nisan Ibn Quds Daqqaq Nam di Museum Muslim Quanzhou. (foto Anthony Tjio).


Referensi:




  • Buku Silsilah Marga Muslim Kwee Baiqi (edisi 2000). (Bahasa Tionghoa Klasik).





  • Wang Pei Yun (2005): Zheng He. Ocean Press Beijing. (Bahasa Tionghoa).





  • Jacob D’Ancona, David Selbourne penterjemah(2009): The City of Light. Little, Brown and Company (UK) London. (Bahasa Inggris).
  • Anthony Hocktong Tjio

    No comments: