Hukuman Rajam pada Masa Rasulullah
KEBERADAAN hukuman rajam dalam Rancangan Qanun (Raqan) Jinayat Aceh (usulan DPRA 2004-2009), tampaknya mulai menemui jalan buntu. Hal ini setidaknya terlihat dalam Raqan Jinayat terbaru yang diekspos Serambi pada September 2014 lalu, pasal hukuman keras tersebut sudah tidak muncul lagi. Satu sebab akademisnya adalah perbedaan dalam pemaknaan keberadaan rajam dalam hadis-hadis Nabi, terutama kaitannya dengan hukuman cambuk dalam Alquran (Surah an-Nur: 2) hanya memuat cambuk, tidak ada rajam.
Ini bukan masalah baru. Imam Syaibani, misalnya, sempat bertanya kepada Abdullah bin Abi Aufa, seorang sahabat Nabi; “Apakah rajam pada masa Rasulullah sebelum atau sesudah turun Surat an-Nur itu?” Abi Aufa menjawab: “Tidak tahu.” Karena itu, Khawarij dan sebagian Muktazilah menolak hukuman rajam ini.
Di Indonesia, Hasbi Ash Shiddieqy dan Hazairin juga menolak hukuman dengan pelemparan batu ini, karena melebihi sanksi yang ada dalam Alquran. Mereka cenderung yakin bahwa rajam sudah digantikan oleh cambuk dalam Alquran. Tetapi, yang jelas, Nabi pernah mempraktikkan rajam. Masalahnya, apakah praktik itu harus diikuti apa adanya atau tidak? Tulisan ini tidak hendak mempertanyakan otoritas atau keshahihan hadis-hadis rajam tersebut; sebagian besar hadis praktik rajam dapat dibuktikan shahih. Artinya, rajam benar-benar pernah dipraktikkan Nabi dan sahabatnya. Tulisan ini akan memaparkan bagaimana fakta praktik itu dan tawaran cara memaknainya.
Praktik rajam
Dalam buku-buku hadis ditemukan ada enam kasus praktik rajam pada masa Nabi Muhammad, lalu masing-masing satu kasus pada masa Umar, Usman, dan Ali. Kasus pertama menimpa pelaku zina beragama Yahudi. Orang Yahudi yang meminta Nabi menyelesaikan kasus ini, lalu Nabi memerintahkan merajam pasangan mesum itu berdasarkan ketentuan yang ada di dalam Taurat --kitab suci mereka sendiri.
Kasus kedua dialami oleh Maiz bin Malik yang mengaku telah berzina dengan Fatimah, seorang budak Hazzal. Ia mengakui perbuatannya kepada Abu Bakar, lalu Umar, tetapi keduanya menganjurkan agar menutupi aib itu dan memintanya untuk bertobat. Tetapi karena tidak puas dengan solusi itu, atas anjuran Hazzal, Maiz lalu mengaku di hadapan Nabi yang waktu itu sedang bersama sahabat-sahabatnya di dalam masjid. Intinya, ia minta disucikan. Namun, Nabi memalingkan wajahnya dari Maiz sampai 3-4 kali dan menyuruhnya pulang untuk bertobat.
Tetapi karena Maiz terus memaksa, lalu terjadilah dialog antara Maiz dan Nabi yang disaksikan para sahaba. Dialognya sangat rinci. Nabi meneliti kesadaran Maiz; sedang mabuk atau tidak. Nabi juga menanyakan kalau-kalau Maiz cuma mencium, meraba, menyentuh, atau melihat pasangannya. Bahkan, Nabi sampai menanyakan: “Apakah sampai `milikmu’ terbenam ke dalam `miliknya’, seperti tali timba masuk ke dalam sumur?” Semua pertanyaan Nabi dijawabnya dengan: “Ya.” Nabi pun kemudian memerintahkan untuk merajam Maiz.
Saat dieksekusi, Maiz lari, tetapi dapat ditangkap lalu rajam sampai ia meninggal. Menanggapi kejadian itu, Nabi berkata: “Mengapa kalian tidak melepaskannya saja? Barangkali ia akan bertobat dan Allah pun akan mengampuninya.” Jenazah Maiz memang tidak dishalatkan. Tetapi, tiga hari pasca eksekusi itu, Nabi bersabda: “Maiz telah bertobat yang jika tobatnya itu dibagikan kepada umat ini, itu sudah cukup buat mereka.” Nabi juga mengatakan hal yang sama pada kasus wanita Ghamidiah dan Juhainah. Bahkan Nabi menshalatkan jenazah keduanya.
Hindari hukuman rajam
Ada beberapa alternatif pemaknaan yang dapat dilakukan terhadap hadis-hadis rajam. Di sini dikemukakan tiga saja: Pertama, Nabi dan para sahabat cenderung menghindari hukuman rajam. Pelaku diperintahkan pulang untuk bertobat. Zina dianggap aib yang harus ditutupi, tidak boleh diekspos. Kepada Hazzal yang mengajurkan Maiz mengaku, Nabi berkata: “Kalau kamu merahasiakannya, itu lebih baik bagi kamu.” Banyak hadis lain mendukung hal ini; Nabi memerintahkan agar aib diri atau orang lain tidak diceritakan kepada orang lain. Dalam Alquran (Surah al-Hujarat: 12) dikemukakan perintah menjauhi kebanyakan prasangka, mencari-cari kesalahan orang lain, dan menggunjingkannya.
Nabi saw sendiri dengan tegas menyatakan: “Hindarilah hudud dari orang-orang muslim sesanggup yang kamu lakukan. Sekiranya ada jalan keluar, maka bebaskanlah ia (pelaku kejahatan), karena sesungguhnya imam kalau tersalah dalam memaafkan lebih baik daripada tersalah dalam menghukum.” Hukuman rajam yang dijatuhkan Nabi kepada para pelaku sangat terkait dengan pengakuan mereka di depan umum.
Kedua, tujuan pelaku mengakui perbuatannya di hadapan Nabi adalah untuk mensucikan diri. Ini tampak sekali pada Maiz, wanita Ghamidiah, dan Juhainah. Mereka minta agar agar disucikan dari dosa. Ini memang terkait erat dengan janji Nabi yang menyatakan bahwa hukuman di dunia akan membebaskan seseorang dari hukuman di akhirat, sementara azab di akhirat lebih berat daripada hukuman dunia. Tampaknya doktrin ini sangat memengaruhi sikap pelaku untuk menyerahkan dirinya dihukum. Pernyataan Nabi terhadap tobat Maiz, Ghamidiah, dan Juhainah tentang itu memang sangat jelas. Jadi, rajam diberlakukan karena permintaan pelaku; pemerintah hanya sebagai fasilitator saja.
Ketiga, semua praktik rajam pada masa Nabi didasarkan pada bukti pengakuan pelaku, bukan karena kesaksian. Dua kasus pengaduan juga dieksekusi karena pengakuan. Satu-satunya rajam karena kesaksian adalah pada kasus pelaku Yahudi yang didasarkan pada Taurat. Pembuktian dengan kesaksian memang sangat sulit; empat orang laki-laki dewasa harus melihat peristiwa zina itu seperti melihat matahari terbenam di ufuk Barat.
Ulama fikih mensyaratkan saksi itu harus orang yang benar-benar saleh. Masalahnya, siapa orang saleh sekelas Teungku Chik yang mau bersaksi seperti itu, padahal Alquran dan Nabi melarangnya walaupun sekadar mengintip? Jadi, pembuktian zina dengan kesaksian yang demikian berat adalah mustahil, kecuali perbuatan itu dilakukan di siang hari, pada tempat umum atau persimpangan jalan raya.
Syarat kesaksian
Syarat kesaksian sebetulnya bukan sekadar membuktikan terjadinya zina, tetapi untuk melindungi seseorang dari tuduhan berzina (kadzaf). Dengan jalan seperti ini, kehormatan seseorang akan tetap terjaga dan terlindungi. Zina dan kadzaf adalah ibarat dua sisi satu keping mata uang. Kalau zina tidak terbukti, maka pelaku kadzaf dihukum, sementara jika saksi-saksi yang diajukan pelaku kadzaf dapat membuktikan tuduhannya, maka hukuman zina yang diberlakukan.
Pembuktian zina dengan kehamilan tidak ditemukan dalam hadis Nabi. Seorang perempuan memang pernah ditangkap di pasar karena menggendong bayi, padahal ia belum menikah. Ia tidak dihukum karena bungkam ketika ditanyai Nabi saw perihal bapak si bayi itu. Yang dirajam justru laki-laki yang mengaku sebagai bapak anak itu. Artinya, rajam dilakukan karena pengakuan, bukan kesaksian atau kehamilan.
Dengan demikian, praktik rajam yang awalnya adalah ajaran Taurat telah mengalami modifikasi dan tujuan di dalam praktik masa Nabi. Pelaksanaannya terkait dengan kondisi sosial dan moral pada masyarakat Arab di Semenanjung Arabia abad ke-7 Masehi. Karakter sebagian orang Arab memang suka terus terang mengekpos kejahatannya (mujahir); di samping waktu itu mereka boleh memiliki budak dengan jumlah tak terbatas yang bebas digauli, dan bentuk-bentuk hukuman untuk peradaban masa itu memang keras.
Atas dasar itu, hadis-hadis rajam dapat dipahami hanya berlaku temporal atau terbatas pada masa Nabi dan sahabat, tidak berlaku selamanya (eternal). Kalaupun harus diberlakukan atas nama sunnah Nabi, maka harus dilakukan atas dasar permintaan pelaku dan pemerintah bersedia menjadi fasilitator rajam.
Begitulah yang sunah. Yang paling aman dan terhindar dari perdebatan akademik adalah berpedoman kepada hukuman cambuk yang sudah jelas dan pasti (QS. An-Nur: 2). Namun demikian, seperti dikemukakan di atas, Alquran juga memberi syarat pembuktian yang sangat ketat dan sangat sulit dipenuhi, kecuali dalam keadaan yang luar biasa.
* Ali Abubakar, Dosen Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam UIN Ar-Raniry, Darussalam, Banda Aceh. Email: aliamannabila@yahoo.co.id
Ini bukan masalah baru. Imam Syaibani, misalnya, sempat bertanya kepada Abdullah bin Abi Aufa, seorang sahabat Nabi; “Apakah rajam pada masa Rasulullah sebelum atau sesudah turun Surat an-Nur itu?” Abi Aufa menjawab: “Tidak tahu.” Karena itu, Khawarij dan sebagian Muktazilah menolak hukuman rajam ini.
Di Indonesia, Hasbi Ash Shiddieqy dan Hazairin juga menolak hukuman dengan pelemparan batu ini, karena melebihi sanksi yang ada dalam Alquran. Mereka cenderung yakin bahwa rajam sudah digantikan oleh cambuk dalam Alquran. Tetapi, yang jelas, Nabi pernah mempraktikkan rajam. Masalahnya, apakah praktik itu harus diikuti apa adanya atau tidak? Tulisan ini tidak hendak mempertanyakan otoritas atau keshahihan hadis-hadis rajam tersebut; sebagian besar hadis praktik rajam dapat dibuktikan shahih. Artinya, rajam benar-benar pernah dipraktikkan Nabi dan sahabatnya. Tulisan ini akan memaparkan bagaimana fakta praktik itu dan tawaran cara memaknainya.
Praktik rajam
Dalam buku-buku hadis ditemukan ada enam kasus praktik rajam pada masa Nabi Muhammad, lalu masing-masing satu kasus pada masa Umar, Usman, dan Ali. Kasus pertama menimpa pelaku zina beragama Yahudi. Orang Yahudi yang meminta Nabi menyelesaikan kasus ini, lalu Nabi memerintahkan merajam pasangan mesum itu berdasarkan ketentuan yang ada di dalam Taurat --kitab suci mereka sendiri.
Kasus kedua dialami oleh Maiz bin Malik yang mengaku telah berzina dengan Fatimah, seorang budak Hazzal. Ia mengakui perbuatannya kepada Abu Bakar, lalu Umar, tetapi keduanya menganjurkan agar menutupi aib itu dan memintanya untuk bertobat. Tetapi karena tidak puas dengan solusi itu, atas anjuran Hazzal, Maiz lalu mengaku di hadapan Nabi yang waktu itu sedang bersama sahabat-sahabatnya di dalam masjid. Intinya, ia minta disucikan. Namun, Nabi memalingkan wajahnya dari Maiz sampai 3-4 kali dan menyuruhnya pulang untuk bertobat.
Tetapi karena Maiz terus memaksa, lalu terjadilah dialog antara Maiz dan Nabi yang disaksikan para sahaba. Dialognya sangat rinci. Nabi meneliti kesadaran Maiz; sedang mabuk atau tidak. Nabi juga menanyakan kalau-kalau Maiz cuma mencium, meraba, menyentuh, atau melihat pasangannya. Bahkan, Nabi sampai menanyakan: “Apakah sampai `milikmu’ terbenam ke dalam `miliknya’, seperti tali timba masuk ke dalam sumur?” Semua pertanyaan Nabi dijawabnya dengan: “Ya.” Nabi pun kemudian memerintahkan untuk merajam Maiz.
Saat dieksekusi, Maiz lari, tetapi dapat ditangkap lalu rajam sampai ia meninggal. Menanggapi kejadian itu, Nabi berkata: “Mengapa kalian tidak melepaskannya saja? Barangkali ia akan bertobat dan Allah pun akan mengampuninya.” Jenazah Maiz memang tidak dishalatkan. Tetapi, tiga hari pasca eksekusi itu, Nabi bersabda: “Maiz telah bertobat yang jika tobatnya itu dibagikan kepada umat ini, itu sudah cukup buat mereka.” Nabi juga mengatakan hal yang sama pada kasus wanita Ghamidiah dan Juhainah. Bahkan Nabi menshalatkan jenazah keduanya.
Hindari hukuman rajam
Ada beberapa alternatif pemaknaan yang dapat dilakukan terhadap hadis-hadis rajam. Di sini dikemukakan tiga saja: Pertama, Nabi dan para sahabat cenderung menghindari hukuman rajam. Pelaku diperintahkan pulang untuk bertobat. Zina dianggap aib yang harus ditutupi, tidak boleh diekspos. Kepada Hazzal yang mengajurkan Maiz mengaku, Nabi berkata: “Kalau kamu merahasiakannya, itu lebih baik bagi kamu.” Banyak hadis lain mendukung hal ini; Nabi memerintahkan agar aib diri atau orang lain tidak diceritakan kepada orang lain. Dalam Alquran (Surah al-Hujarat: 12) dikemukakan perintah menjauhi kebanyakan prasangka, mencari-cari kesalahan orang lain, dan menggunjingkannya.
Nabi saw sendiri dengan tegas menyatakan: “Hindarilah hudud dari orang-orang muslim sesanggup yang kamu lakukan. Sekiranya ada jalan keluar, maka bebaskanlah ia (pelaku kejahatan), karena sesungguhnya imam kalau tersalah dalam memaafkan lebih baik daripada tersalah dalam menghukum.” Hukuman rajam yang dijatuhkan Nabi kepada para pelaku sangat terkait dengan pengakuan mereka di depan umum.
Kedua, tujuan pelaku mengakui perbuatannya di hadapan Nabi adalah untuk mensucikan diri. Ini tampak sekali pada Maiz, wanita Ghamidiah, dan Juhainah. Mereka minta agar agar disucikan dari dosa. Ini memang terkait erat dengan janji Nabi yang menyatakan bahwa hukuman di dunia akan membebaskan seseorang dari hukuman di akhirat, sementara azab di akhirat lebih berat daripada hukuman dunia. Tampaknya doktrin ini sangat memengaruhi sikap pelaku untuk menyerahkan dirinya dihukum. Pernyataan Nabi terhadap tobat Maiz, Ghamidiah, dan Juhainah tentang itu memang sangat jelas. Jadi, rajam diberlakukan karena permintaan pelaku; pemerintah hanya sebagai fasilitator saja.
Ketiga, semua praktik rajam pada masa Nabi didasarkan pada bukti pengakuan pelaku, bukan karena kesaksian. Dua kasus pengaduan juga dieksekusi karena pengakuan. Satu-satunya rajam karena kesaksian adalah pada kasus pelaku Yahudi yang didasarkan pada Taurat. Pembuktian dengan kesaksian memang sangat sulit; empat orang laki-laki dewasa harus melihat peristiwa zina itu seperti melihat matahari terbenam di ufuk Barat.
Ulama fikih mensyaratkan saksi itu harus orang yang benar-benar saleh. Masalahnya, siapa orang saleh sekelas Teungku Chik yang mau bersaksi seperti itu, padahal Alquran dan Nabi melarangnya walaupun sekadar mengintip? Jadi, pembuktian zina dengan kesaksian yang demikian berat adalah mustahil, kecuali perbuatan itu dilakukan di siang hari, pada tempat umum atau persimpangan jalan raya.
Syarat kesaksian
Syarat kesaksian sebetulnya bukan sekadar membuktikan terjadinya zina, tetapi untuk melindungi seseorang dari tuduhan berzina (kadzaf). Dengan jalan seperti ini, kehormatan seseorang akan tetap terjaga dan terlindungi. Zina dan kadzaf adalah ibarat dua sisi satu keping mata uang. Kalau zina tidak terbukti, maka pelaku kadzaf dihukum, sementara jika saksi-saksi yang diajukan pelaku kadzaf dapat membuktikan tuduhannya, maka hukuman zina yang diberlakukan.
Pembuktian zina dengan kehamilan tidak ditemukan dalam hadis Nabi. Seorang perempuan memang pernah ditangkap di pasar karena menggendong bayi, padahal ia belum menikah. Ia tidak dihukum karena bungkam ketika ditanyai Nabi saw perihal bapak si bayi itu. Yang dirajam justru laki-laki yang mengaku sebagai bapak anak itu. Artinya, rajam dilakukan karena pengakuan, bukan kesaksian atau kehamilan.
Dengan demikian, praktik rajam yang awalnya adalah ajaran Taurat telah mengalami modifikasi dan tujuan di dalam praktik masa Nabi. Pelaksanaannya terkait dengan kondisi sosial dan moral pada masyarakat Arab di Semenanjung Arabia abad ke-7 Masehi. Karakter sebagian orang Arab memang suka terus terang mengekpos kejahatannya (mujahir); di samping waktu itu mereka boleh memiliki budak dengan jumlah tak terbatas yang bebas digauli, dan bentuk-bentuk hukuman untuk peradaban masa itu memang keras.
Atas dasar itu, hadis-hadis rajam dapat dipahami hanya berlaku temporal atau terbatas pada masa Nabi dan sahabat, tidak berlaku selamanya (eternal). Kalaupun harus diberlakukan atas nama sunnah Nabi, maka harus dilakukan atas dasar permintaan pelaku dan pemerintah bersedia menjadi fasilitator rajam.
Begitulah yang sunah. Yang paling aman dan terhindar dari perdebatan akademik adalah berpedoman kepada hukuman cambuk yang sudah jelas dan pasti (QS. An-Nur: 2). Namun demikian, seperti dikemukakan di atas, Alquran juga memberi syarat pembuktian yang sangat ketat dan sangat sulit dipenuhi, kecuali dalam keadaan yang luar biasa.
* Ali Abubakar, Dosen Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam UIN Ar-Raniry, Darussalam, Banda Aceh. Email: aliamannabila@yahoo.co.id
No comments:
Post a Comment